assalamu'alaikum

Assalamu'alaikum

Semua yang ada disini adalah hasil Reportase dari dulur dulur Jamaah Maiyah yang ada di manapun Baik dari Kenduri Cinta(KC) Obor Ilahi(OI) BangBang wetan (BBW) Mocopat syafaat (MS) gambang Syafaat (GS) dan maiyah maiyah lain yng sulit sayaa sebutkan,
Blog ini juga memuat syair ataupun puisi Terutama Milik Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).
Blog ini Juga menampung saran dan kritik juga tidak berkeberatan apabila ada saudara atau pengunjung atau teman bahkan musuh sekalipun yang ingin menuangkan ide dan tulisan tulisanya...

29/08/11

yaa Nabi salam alaika....(agung W-Note FB)


allohuma sholi wassalim alaa sayidina wa maulana wa habibina muhammad...

allohuma sholi wassalim alaa sayidina wa maulana wa habibina muhammad...

allohuma sholi wassalim alaa sayidina wa maulana wa habibina muhammad...

Kudengar batuh batu merintih menangis dan berteriak teriak..
daun daun pun tak sanggup berpijak pada tangkai tangkai pada dahan dahanya....
air sungai pun seolah enggan mengalir....
semua seperti tak biasa....
semua seolah menyembulkan makna....

ada apa di bumi ini....
tanah bergerak....
langit terpecah...
hanya memuja satu nama...
hanya menyebut satu nama...

sosok lelaki berjalan dengan menundukan wajahnya..
rambut ikal wajah teduh sendu mata sayu merindu....
ia tersenyum..... pada batu...
ia tersenyum pada daun...
pada ranting pohon....
pada tanah....
pada air.....
dan semua hening....

Seorang lelaki beratap mendung dikala mentari sedang terik teriknya....
Duhai Kekasih Dambaan penebar cahaya....
Kami tak sanggup Membuktikan Cinta....

Duhai kekasih Penuntun dan Penentram kegelisahan Jiwa....
Kami tak sanggup , Kami munafik Dalam Laku mengaku cinta....
Duhai kekasih Pembawa Berita Gembira dari langit.....

yaa Nabi salam alaik...
Penyejuk Hati yang tercabik cabik
Penentram dan pengobat Hati kami yang sakit...

Ya habibi Ya musthofa.....
Izinkan kami berjalan dibelakngmu....
Belajar mengikutimu...
Walau dalam Ragu....
Walau penuh Lusuh dan Debu.......

Balada Seorang Guk dan Group Kentrungnya (em syuhada)


DALAM sebuah acara mengenang seratus hari wafatnya seorang tokoh ternama negeri ini, seorang Gus diundang untuk memberikan ceramah keagamaan. Disamping Gus, diundang juga seorang Guk lengkap dengan grup kentrungnya. Seperti biasa, Guk kita ini mendapat giliran pertama untuk mengantarkan acara. Maka, diantarkan jama'ah pada situasi bahwa malam hari itu adalah malam yang sangat wingit, karena tokoh yang telah dipanggil keharibaannya adalah bukan sembarang manusia. Ia bukan hanya seorang syech, tapi Maula.

Maka, tak ada kemungkinan lain bagi jamaah yang hadir selain harus menyiapkan situasi mental yang prima demi menyambut kehadiran tokoh yang eksistensinya telah tak terikat ruang dan waktu. Bahkan, menurut Guk, kehadiran tokoh yang diperingati malam hari itu diantarkan langsung oleh para malaikat, dan tentu saja diiringi Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Alhasil, acara malam hari itu berlangsung sangat gayeng dan khusyuk. Meski sesekali diselingi gelak tawa akibat joke-joke segar yang dilontarkan Guk, terutama terkait keberadaan wakil kepala daerah sebuah propinsi, yang sebelumnya memberikan kata sambutan. Namun, acara yang berlangsung malam hari itu terasa sangat menembus ruang batin, terlebih ketika serangkaian sholawat dan wirid yang dilantunkan Grup Kentrung yang membuat jamaah yang hadir larut dalam suasana yang sakral.

Ketika beberapa waktu merasa cukup mengantarkan acara, si Guk kemudian mempersilahkan Gus untuk memberikan cipratan ilmu kepada jamaah, terkait dengan keberadaan tokoh yang setelah wafatnya, bahkan mampu menyedot perhatian seluruh manusia di seantero dunia.

Dalam ceramahnya, Gus kita ini memaparkan beberapa hal terkait keberadaan sang tokoh. Menurutnya, si Tokoh yang saat ini telah wafat, terbukti mampu mempraktekkan sebuah hadits dari kanjeng Nabi, bahwa orang islam yang baik adalah yang memberikan makanan bagi orang yang membutuhkan. Dan tokoh kita ini, selama hidup telah melaksanakan ajaran tersebut, disamping juga hal-hal kebaikan lainnya. Ia bukan seorang petinju yang senantiasa menggenggamkan tangannya (idiom bagi orang kikir), tapi pesilat yang telapak tangannya selalu terbuka (simbol bagi orang yang dermawan).

Maka tak heran, ketika wafat, tokoh kita ini memanen perbuatanya ketika masih hidup. Wafatnya begitu menarik perhatian jutaan orang dari semua kalangan, dari dalam dan luar negeri. Dari kenyataan itulah, Gus kita ini memberikan kesimpulan, bahwa ciri waliyullah, disamping istiqomah dalam iman, tauhid, serta perilaku, juga keramat ketika hidup, keramat tatkala mati, dan keramat sesudah mati. Alhasil, masih menurut Gus, kalau kemudian ada manusia yang keramat ketika hidup, tapi tak keramat ketika mati, maupun sesudah mati, itu adalah sebagian tanda bahwa manusia yang bersangkutan adalah seorang pendusta. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, si Gus melontarkan pernyataan,"kari ndeleng wae si Guk kuwi mengko matine piye, apa ya keramat atau tidak."

Menanggapi hal tersebut, Guk kita yang kembali memegang mike ketika ceramah si Gus telah berakhir menanggapi dengan cerdas, tapi juga sangat menohok.
"Gus, tokoh kita ini adalah orang yang sangat besar, bahkan sangat buesar. Jadi jangan dibuat untuknggedeni saya. Kalau ada seribu satu, tokoh kita ini bukan hanya sejuta satu, bahkan semilyar satu karena saking besarnya. Maka, kebesaran tokoh kita ini, sekali lagi jangan disepadankan dengan diri saya. Tokoh kita ini bom, sedangkan saya semut. Maka, jangan jadikan bom itu untuk menge-bom saya. Nyuwun sewu. Saya ini orang kecil, jangan harapkan memiliki keramat. Keramat itu karamah. Karamah itu hak wali. Kalau Nabi memiliki hak wahyu. Sementara saya, dan juga jamaah yang hadir paling banter hanya mempunyai hak ma'unah, fadhilah, atau bahkan hanya ilham. Bagi saya, karamah itu hanya Kanjeng Nabi Muhammad SAW."

"Maka nyuwun sewu, jangan tunggu keramat saya. Bahkan, ketika nanti saya mati, semoga yang menziarahi hanya anak istri, dan juga dulur-dulur saya. Bahkan saya berdoa, ketika saya mati, tak ada seorang manusiapun yang mengetahui. Hidup mati saya tidak tergantung dari seberapa banyak manusia yang menziarahi kuburan saya, tapi hidup mati saya ditentukan oleh amal-amal saya di hadapan Allah SWT. Maka nyuwun sewu, Gus. tidak usah menunggu keramat saya. Sebagai manusia, saya tidak berani memiliki apa-apa. Jangankan keramat, bahkan diri saya sendiri saya tak pernah memiliki. Ada tidaknya saya di dunia ini tak ada bedanya. Yang ada hanya Allah dan Rasululullah. Dan saya bersedia tidak ada, asalkan Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad tetap ada dalam kandungan batin sedulur-sedulur saya. Jadi ojo nggedeni aku. Mergo aku cilik"

Begitulah, acara malam hari itu menyulutkan ilmu baru dalam diri saya. Bahwa jika tidak hati-hati, bahkan seorang kiai pun dengan sangat mudah terjebak pada kibriya'. Itulah sebabnya, Guk kita ini pada akhir acara, setelah bersama-sama jamaah melantunkan sholawat indal qiyam, mengajak jamaah yang tersisa agar bersama-sama memohon kepada Allah agar dianugrahi tawadlu'.

Tak rugi kiranya, jika melakukan perjalanan menembus belantara dalam pekatnya malam, hanya untuk bertatap bersitatap dengan kesejatian, demi Allah dan juga Kanjeng Nabi Muhammad SAW.***

Sebagian transkrip rekaman padhangmbulan (EM Syuhada/ 23-09)




“Saat ini, diperlukan tak hanya Sunan Kalijaga, tapi Sunan Kalijaga plus untuk memperbaiki Republik Indonesia. Hal ini terkait dengan kondisi Indonesia yang semakin hari tidak semakin baik, bahkan semakin berada pada ambang kehancuran. Gak diapak-apakno, Indonesia iku bakal hancur dewe. Sama seperti keadaan Majapahit zaman dahulu.” Demikian ditegaskan oleh Cak Nun pada padhang mbulan lalu (23/09).

“Sama sekali tidak benar jika hancurnya Majapahit karena diserbu oleh Demak. Sebab, tanpa diserbu sekalipun, Majapahit akan hancur dengan sendirinya. Kehancuran Majapahit lebih disebabkan oleh kondisinya sebagai Negara Kesatuan yang sebenarnya pesisir, tapi pusat ibukotanya berada di pedalaman dengan basis ekonominya pertanian. Sedangkan waktu itu sedang terjadi keretakan lempengan bumi dan semburan lumpur di daerah Canggu sekitar 1450-an,” Cak Nun menambahkan.

 Atas dasar itulah, Sunan Ampel akhirnya mengutus kepada Sunan Kalijaga untuk membantu Majapahit yang berada di ambang kehancuran. Majapahit sendiri bersedia menerima karena Sunan Kalijaga membantu Majapahit di akhir-akhir kekuasaannya dari serbuan Kerajaan Kediri yang diperintah Prabu Girindrawardana. Oleh Sunan Kalijaga, Majapahit diajak melakukan transformasi dari Negara Kesatuan Mojopahit berbasis pertanian menuju Negara Demak Federal di Daerah Glagah Wangi yang merupakan Negara Federasi berbasis ekonomi internasional maritim perdagangan.

Putra-putra Prabu Brawijaya pun diserahi kekuasaan sendiri yang disebut dengan Tanah Perdikandengan gelar Ki Gede atau Ki AgengMulai dari Ki Ageng Mangir, Ki Gede Menoreh, dan lain-lain. Kekuasan yang diberikan kepada putra-putra Brawijaya meliputi NTB hingga Denpasar, Madura, Pamekasan, Sumenep, Makasar, Borneo, sampai Palembang. Semuanya memang putra Brawijaya yang berjumlah 147 orang. Dari Betoro Katong Ponorogo, Syech Bela Belu Parangtritis, Ki Ageng Mangir Yogja Selatan, Handayaningrat, Prabu Denpasar, dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan transformasi dari Majapahit sebagai hasil reformasi yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.

Ketika disuruh oleh Sunan Ampel agar mengatasi masalah yang ada di Majapahit, Sunan Kalijaga berpendapat, bahwa Majapahit tidak akan bisa menerima kehancuran jika tidak mengenal nilai-nilai islam. Sebab, hanya orang-orang yang mengenal nilai-nilai tasawuf islamlah yang akan terhindar dari kehancuran. Didalam tasawuf  tidak ada kehancuran, apalagi hanya sekedar penderitaan. Maka, jalan satu-satunya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah “mengislamkan” Majapahit agar memiliki sikap hidup dan pandangan yang berbeda.

Yang pertama kali didakwai agar mengenal islam adalah TNInya Majapahit, yaitu Empu Supo dan anaknya Supo Anom, lantas DPR/MPRnya, baru kemudian keluarga istana dan anak-anaknya, meskipun pada tahap ini ada beberapa orang yang tidak bersedia masuk islam, yang kemudian pergi ke daerah selatan. Intinya, sebagai konsekuensi dari dakwahnya Sunan Kalijaga adalah terbentuknya tiga golongan dengan sikap dan paradigma yang berbeda.

Golongan pertama adalah golongan santri yang berjumlah sekitar 3000 orang. Oleh Sunan Kalijaga, golongan pertama ini diantarkan pergi ke daerah utara mulai Mojoagung hingga Demak dengan dikawal oleh Sunan Kudus. Sementara golongan kedua adalah Golongan Tengah, yaitu keluarga istana dan para kerabatnya. Berbeda dengan golongan pertama, untuk golongan tengah ini adalah islam abangan yang bersedia masuk islam tapi tidak mau berpakaian islam karena pertimbangan budaya. Bersedia naik haji tapi juga korupsi. Selingkuh, tapi kalau mati juga ditahlili, dan lain sebagainya. Golongan tengah ini dipimpin sendiri oleh Sunan Kalijaga dibawa ke Ngawi, yang kemudian disebut Mukswa.

Setelah beres dua golongan itu, Sunan Kalijaga kemudian tidak lantas membiarkan golongan ketiga yang pergi ke selatan karena tidak bersedia masuk islam, yang didalamnya juga terdapat adik dan anak-anak Prabu Brawijaya V. Golongan ketiga inilah yang disebut Sabdopalon Noyogenggong yang berjanji 500 tahun lagi akan kembali, meskipun hingga saat ini tidak ada kejadian apa-apapergi ke daerah Denpasar hingga Purwakarta. Oleh Sunan Kalijaga, Golongan ketiga ini didatangi satu persatu dalam waktu yang cukup lama, meskipun pada tahap itu tidak semuanya berhasil.

Sedemikian berat dan berliku tugas yang diemban oleh Sunan Kalijaga itupun gagal. Gagal dalam arti, bahwa Demak yang semula digadang-gadang bisa merepresentasikan dirinya sebagai kerajaan pesisir dibawah sinar islam dengan bimbingan wali sanga ternyata tidak berumur panjang karena perebutan kekuasaan dan pertarungan intern diantara umat islam sendiri. Dari Sunan Prawoto, Ratu Kalinyamat, Arya Penangsang, Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya, dan lain sebagainya. Arya Penangsang itu muridnya Sunan Kudus, sedangkan Mas Karebet muridnya Sunan Kalijaga.

Karena hal tersebut, Demak yang merupakan kerajaan pesisir bergeser ke pedalaman lagi menuju Pajang, hingga Mataram. Ketika berada di Mataram, Sunan Kalijaga sudah sangat tua, sehingga yang merupakan murid Sunan Kalijaga langsung adalah bapaknya Sutowijoyo, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan temannya yang strategi perang, yaitu Ki Mondoroko atau Ki Juru Mertani. Sedangkan Raja Mataram yang pertama, yaitu Panembahan Senopati bukan murid Sunan Kalijaga langsung, meskipun berada pada aliran yang sama.

Alhasil, disitulah lahir Republik Indonesia. Yaitu situasi dimana terjadi kegagalan menangani konflik sehingga Demak bergeser ke tengah lagi di daerah Kertasura (Pajang), bergeser lebih ke selatan ke Yogjakarta, yaitu di Kota Gede. Maka bisa dimengerti kalau kemudian konsep tentang walisongo mulai ditinggalkan digantikan Nyai Roro Kidul. Bahkan, sampai hari ini, Presiden Indonesia pun tetap memakai konsep yang sama. Yaitu tetap ke wali, meskipun pada saat yang sama juga ke penguasa Pantai Selatan. Sejak Panembahan Senopati inilah, Islam abangan mendapat legitimasi secara peradaban jawa.

Tak ada jalan lain, hari-hari ini diperlukan Sunan Kalijaga lagi untuk membawa Indonesia yang kesatuan menuju Demak yang federal berbasis maritim perdagangan. Sampai 2014 keatas harus benar-benar ada peran seperti Sunan Kalijaga, bahkan lebih, yaitu Sunan Kalijaga plus yang tidak anti Nyai Roro Kidul, yang akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran.

Lantas, sebuah pertanyaan yang patut untuk untuk menjadi perenungan bersama. Siapa dan dimanakah Sunan Kalijaga itu sekarang berada?(*)

28/08/11

9 PESAN IDULFITHRI 1432-H dari Cak Nun ;



Teman2 Maiyah senusantara, asswrwb.

1. Minal 'aidin walfaizin, selamat Idul Fithri 1432-H. Mohon maaf lahir batin, halal bihalal fiddunya walakhirah.
Sesungguhnya puasa tak nunggu Ramadlan, berhari raya tak nunggu Idulfithri.
Selamat meneguhkan istiqamah peradaban inti di keluarga masing2.

2. Pesan utama Maiyah utk ummat manusia penghuni zaman ultra-jahiliyah sekarang ini: "Keutuhan keluarga2 kecil manusia adalah faktor utama penjaga keseimbangan peradaban. Sebab utama turunnya adzab Allah adalah hancurnya keluarga2 manusia".
Jamaah☼Maiyah tidak tertipu, terjebak atau terperdaya oleh godaan2 dan fatamorgana apapun yg menyertai perjuangan pengutuhan keluarga.

3. Selamat menikmati kemenangan Idulfitri, yg bisa berupa kegembiraan, kerukunan, rizqi dan harapan; tapi bisa juga berupa keprihatinan, kesedihan, ujian, pengabdian atau peningkatan kesabaran.

4. Keadaan apapun saja, gembira atau menderita, miskin atau kaya, sulit atau mudah, rumit atau sederhana, jika Allah yg menghendakinya, dan diterima dg ikhlas dalam taqwa dan tawakkal -- tidak akan membuahkan apapun kecuali berkah dan hikmah, rizqi dan hidayah -- bagi keluarga hingga anak cucu Maiyah.

5. Dunia bergulir, dan Maiyah bergerak, di maqamnya masing2.
Dunia tak berlangsung di Maiyah, tapi Maiyah berlangsung di sebagian Dunia.
Antara Dunia dan Maiyah terdapat perbedaan utk sebagian hal dan pertentangan utk sebagian hal lain.
Berbeda dan bertentangan pada niat di iradah qalbunya, pada aqidah dan ideologinya, pada skala pandang dan cara berpikirnya, pada sistem analisis dan pola kelolanya.

6. Juga berbeda dan bertentangan pada pilihan jalan Syariatnya, cara berjalan Thariqatnya, titik tuju Haqiqatnya, maupun makrifat Subyek Muwajjahahnya.
Pun berbeda dan bertentangan mapping konstelasi nilainya, tinggi rendahnya, penting tidaknya, primer sekundernya, bumi langitnya.

7. Dunia tidak mengerti perbedaan dan pertentangan itu, karena Dunia adalah pihak yang ditolong, dientas, diselamatkan dan dibangkitkan.
Semantara Maiyah mengerti perbedaan dan pertentangan itu, karena Maiyah adalah pihak yang menolong, mengentaskan, menyelamatkan dan membangkitkan.

8. Di ruang Maiyah, nyata betapa lemah, bobrok dan rentannya Dunia. Di tengah Dunia, nyata betapa agung dan dahsyat kekuatan Allah yg dipantulkannya melalui kehadiran Maiyah. Pada setiap peristiwa Maiyahan di banyak titik-titik Dunia selama dua bulan terakhir, sangat luar biasa dan mewujud hidayah dan kasih sayang Allah.

9. Semua manusia Maiyah selalu bersiap siaga diperjalankan oleh Allah, dalam konteks dan skala apapun. Menerima dan melakukannya dengan energi ibadah yg tuntas, cinta yg sejati dan mengabadi, serta dengan kecerdasan dan kearifan -- atas apapun saja perintah-Nya.
Seluruh isi Dunia dan duka derita Indonesia tidak ditagih oleh Allah kpd kita. Karena yg terpenting pada kita adalah cinta, keyakinan dan pengabdian ikhlas tanpa batas kepada kasih sayang-Nya.

Reportase maiyah PB agustus (Dari sumur Padhang Mbulan IV/ Emsyuhada)


SEBAGAIMANA dituturkan di awal tulisan, pengajian Padhang Mbulan Agustus kali ini agak berbeda dari biasanya. Kalau pada bulan-bulan biasanya, makanan pokok berupa kajian tafsir tak pernah jeda dihidangkan oleh Cak Fuad, tafsir AlQur’an untuk bulan ini tak disuguhkan. Cak Fuad hanya diminta oleh Cak Nun untuk memberikan pondasi ilmu dengan menjelaskan tiga hal antara Taqlid (Adopsi), Ittiba’ (Adaptasi), dan Ijtihad (Kreatifitas), sebelum kemudian diproyeksikan ke masalah-masalah yang lebih luas dalam kehidupan.


Sebelum Cak Fuad memenuhi permintaan Cak Nun, pengasuh pesantren bulanan Padhang Mbulan itu memberikan respon atas beberapa hal yang disampaikan Cak Nun dalam pengantarnya. Tentang Indonesia yang digadang-gadang oleh Mesir umpamanya, yang oleh Cak Nun diungkapkan bahwa Indonesia akan mengalami kebangkitan-kebangkitan dan menjadi pemimpin dunia, Cak Fuad melengkapinya dengan menceritakan pengalamannya secara empirik sesuai wilayah yang digelutinya dalam bidang bahasa.

Pada pertengahan Juli silam, diselenggarakan Seminar Internasional Bahasa Arab ke-7 yang diikuti 24 negara di Yogjakarta. Menurut Cak Fuad, orang-orang Arab, maupun orang-orang yang memiliki perhatian terhadap Bahasa Arab di seluruh dunia, justru mengharapkan Bahasa Arab akan bangkit dari Indonesia. Alasannya sederhana, jika seminar itu diselenggarakan di Saudi Arabia, negara-negara yang tidak sehaluan, apalagi bersebrangan, dipastikan tidak akan bersedia datang. Sementara di Indonesia, mayoritas perwakilan masing-masing negara hadir baik dari orang islam, maupun perguruan tinggi non islam yang memiliki perhatian terhadap bahasa Arab.

Padahal di Indonesia, Bahasa Arab sendiri justru disia-siakan. Contoh kecil yang dituturkan Cak Fuad. Bahwa pada zaman dulu, di Indonesia ada istilah Politik Bahasa Nasional yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa tahun 1975. Justru dalam rumusan itu Bahasa Arab sama sekali tidak disebut. Yang dinamakan Bahasa Asing adalah bahasa-bahasa selain Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah meliputi Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Jerman, Bahasa Mandarin, dan lain-lain. Tapi kenyataan tersebut tidak menyebabkan Bahasa Arab punah di Indonesia, Bahasa Arab justru dikembangkan sendiri oleh masyarakat.

Contoh lain yang dikemukakan Cak Fuad adalah para Tenaga Kerja Indonesia yang akan diberangkatkan ke luar negeri. Para PJTKI selalu mempersyaratkan kemampuan bahasa sesuai dengan negara-negara tujuan yang akan didatangi. Giliran akan dikirimkan ke Arab Saudi, persyaratan bahasa itu justru tidak ada. Kalaupun toh ada, kursus yang diberikan hanya sekedar formalitas dan tidak ditangani secara sungguh-sungguh. Maka, banyak peristiwa-peristiwa mengenaskan terjadi, gara-garamiskomunikasi akibat bahasa yang tidak saling mengerti.

Tentang label islam seperti yang dikemukakan oleh Cak Nun, Cak Fuad menceritakan bahwa hal tersebut memang keniscayaan dalam masyarakat. Penggunaan status islam itu terjadi juga di kalangan intern Maiyah. Misalnya saja, di salah-satu grup Maiyah di dunia maya pernah ditayangkan istilah Pijat Syar’iah. Di Malang, nama-nama roti pun menggunakan istilah-istilah islam. Ada roti Madinah, roti Hidayah, roti Barakah, bahkan ada perusahaan roti baru yang menggunakan label As-Sunnah dalam produknya.

Begitulah kenyataan yang terjadi di masyarakat. Entoh begitu, negara-negara di dunia ternyata banyak mengharapkan sesuatu dari Indonesia.

Pada tahap selanjutnya, Cak Fuad kemudian melaksanakan tugasnya memenuhi permintaan Cak Nun dengan menjelaskan tiga hal: Taqlid, Ittiba’, dan Ijtihad. Menurut Cak Fuad, dalam pemahaman masyarakat Indonesia, tiga istilah tersebut lebih banyak dipergunakan terbatas dalam soal-soal fiqih.Taqlid adalah sikap manusia mengikuti amalan-amalan ibadah tanpa mengetahui dasar-dasar hukumnya, meniru tanpa reserve, sama sekali tak ada aktifitas berpikir kecuali melaksanakan apa yang diikuti tanpa peduli dasar pijakan ataupun benar-tidaknya. Sedangkan Ittiba’ sedikit meningkat lebih tinggi, ialah mengikuti madzhab tertentu dan mengetahui dasar hukumnya. Jadi ada upaya bagi orang yang bersangkutan ketika mengikuti sesuatu dengan mempertanyakan pijakan-pijakan hukumnya.

Sementara Ijtihad  memiliki tingkatan yang lebih tinggi. Ialah kemauan seseorang untuk mencari secara sungguh-sungguh, tidak saja sekedar dasar hukum, tapi melakukan pengkajian yang mendalam atas semua keniscayaan yang ada. Syarat yang paling utama dalam Ijtihad  adalah harus bersungguh-sungguh. Ini dinisbatkan pada ayat Qur’an yang artinya “barang siapa yang berjihad di jalan Allah, maka Allah akan menuntun ke jalan-Nya”. Jihad dalam ayat tersebut sering diartikan sebagai perang. Padahal menurut Cak Fuad, jihad tidak hanya sekedar itu. Jihad bisa dimaknai secara lebih luas dengan sebuah upaya mencari kebenaran dengan bersungguh-sungguh. Alhasil, jika seseorang bersedia mencari kebenaran dengan bersungguh-sungguh, Allah pasti akan memberikan tuntunan dan menunjukkan ke jalan-Nya.

Pada tataran lebih lanjut Cak Fuad menjelaskan, bahwa ijtihad adalah sebuah keadaan ketika ditemui kasus-kasus tertentu dalam islam yang belum diketahui dasar hukumnya, dan para ulama berusaha mencari sumbernya dengan berpatokan pada al-Qur’an, as-Sunnah, dan sumber-sumber hukum islam yang lain. Cak Fuad memberikan contoh kongkrit, beliau pernah ditanya tentang  orang sakit yang dipasang berbagai alat ditubuhnya. Jika alat tersebut dilepas, maka yang bersangkutan akan meninggal. Maka pertanyaannya kemudian, bagaimana hukumnya melepas atau tidak melepas alat-alat tersebut? Jika hal tersebut tidak pernah dilakukan di zaman Nabi, dilakukanlah ijtihadIjtihad yang dilakukan tak bisa hanya sekedar oleh ahli-ahli agama, tapi juga melibatkan ahli-ahli kesehatan atau dokter  untuk mengetahui secara benar kegunaan dan fungsi alat-alat tersebut.

Pada tingkat selanjutnya, jika ada permasalahan hukum yang tidak pernah ditemukan dalam masa Nabi, dan sudah diijtihadi oleh para ulama, seseorang tinggal melakukan ittiba’ dengan setidaknya mencari, apakah dasar hukum yang digunakan itu benar atau tidak. Namun dalam prakteknya, hal tersebut tak mungkin dilakukan pada satu persatu masalah. Oleh karena itulah, seyogyanya seseorang tidak gampang mengatakan pada seseorang yang lain taqlid, dan hal itu mesti salah. Sebab, jangankan ijtihad, bahkan melakukan ittiba’ pun membutuhkan waktu yang relatif lama. Apalagi dalam ber-ijtihad juga diperlukan beberapa syarat tertentu yang tidak semua orang bisa memenuhinya.

Begitulah, penjelasan  tersebut didengarkan secara serius olah Jamaah. Ketika Cak Fuad mengakhiri uraiannya, Cak Nun meresponnya dengan mengemukakan beberapa hal, sebelum mempersilahkan Kiai Tohar (Baca: Toto Raharjo), yang mendapatkan panggilan baru Gus Dob memegang mikrofon. Ungkap Cak Nun, apa yang dijelaskan Cak Fuad mengenai tiga term itu menyangkut pada wilayah mana ia harus diterapkan. Tentang kapan seseorang harus taqlid. Pada sejauh mana ia mungkin ittiba’ atau bahkan ijtihad.

Jika pada ibadah mahdlah, pada hal-hal pokok dan tertentu, seseorang memang harus taqlid. Namun tidak demikian dalam hal ibadah muamalah, atau pada wilayah-wilayah lain seperti soal musik, kebudayaan, cara membuat desa atau negara, mengatur masyarakat, dan lain sebagainya. Sebisa-bisanya seseorang harus ijtihad dan tidak sekedar meniru agar menemukan formula yang tepat dalam kehidupannya.

Namun yang terjadi pada masyarakat Indonesia justru terbalik. Ketika harus taqlid dan tinggal meniru, mereka melakukan ijtihad sedemikian rupa. Namun saatnya bebas berijtihad, mereka justru  meniru secara membabi-buta dan sama sekali tak melakukan kreatifitas apa-apa. Cak Nun memberikan contoh. Dunia pertelevisian sesungguhnya menawarkan wilayah kreatifitas tak habis-habis. Oleh para pelakunya ternyata hanya disikapi dengan meniru, menjiplak, mencuri, dan lain sebagainya.

“Lagu perdamaian itu yang mempopulerkan pertama kali adalah Nasyida Ria. Satu kalipun tak pernah tampil di televisi. Baru ketika dinyanyikan oleh Gigi, televisi baru bersedia menampilkan. Tidakkah itu pencurian atas hasil karya seseorang?” kritik Cak Nun,” Lagu Ya Badrotim iku nek wis diindonesiakno, Ramadhan kali ini penuh dengan Ya Badrotim. Padahal Adib sing nyanyekno bertahun-tahun silam, sama sekali televisi tak mau mengeksplorasi. Mengapa hal itu terjadi? Karena pekerjaan mereka memang hanya meniru dan nyolong nang wong ndeso-ndeso.

Terkait hal itu, Cak Nun meminta kepada Mas Toto Raharjo untuk mengeksplorasi dengan memberikan contoh-contoh riil dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa perilaku taqlid, meniru, dan segala macamnya sebagaimana disebutkan diatas, sesungguhnya telah menjangkiti semua orang. Dan hari-hari ini, hal tersebut sudah sampai pada puncak kegelapan, karena berada pada tahap yang sangat membahayakan.(*)

(Bersambung)

27/08/11

Lanjutan Reportase Maiyah Padang Mbulan #dari sumur Padhang Mbulan III(em syuhada di note FB)


REVOLUSI yang evolusioner. Itulah istilah yang dipilih Cak Nun untuk menggambarkan Indonesia beberapa waktu ke depan, ialah sebuah perubahan total yang diperhitungkan secara matang dan bertahap, tidak sakdek saknyet. Kalau di Kenduri Cinta ada istilah Bangsa Penunggu Maghrib, tidak demikian dengan orang Maiyah. Orang-orang yang datang ke Padhang Mbulan atau forum-forum maiyahan lainnya dengan keistiqamahannya masing-masing adalah manusia yang sedang mengerjakan maghrib, melewatinya untuk kemudian bertemu dengan sunyinya malam tempat segala kontemplasi,tafakur, dan tadabur nyaman ditumpahkan. Ketika esok menjelang, orang Maiyah akan memperoleh fajar dan matahari baru untuk sebuah kehidupan yang jauh lebih baik.

Terkait hal itulah, kalau kemudian beberapa waktu ke depan (paling tidak tahun depan jika Allah mengizinkan) akan terjadi kejadian-kejadian besar, kejatuhan-kejatuhan, ataupun mungkin kematian-kematian, hal itu diharapkan dipandu langsung oleh Allah sebagai bagian dari rahmat Allah untuk Bangsa Indonesia. Artinya, orang Maiyah bukan berarti tidak melakukan apa-apa ketika hal itu benar-benar terjadi.  Keikhlasan datang ke Padhang Mbulan atau tempat-tempat lainnya dengan niat kejernihan dan kesejatian seperti diungkapkan diatas itulah “setoran-setoran” yang sedikit banyak akan memengaruhi segala hal yang akan terjadi atas Indonesia.

Opo awakmu gak melok?” pertanyaan Cak Nun retoris,”Lho, ngene iki tok wis melok. Anda hanya datang ke sini  sudah merupakan keikutsertaan terhadap semua itu. Kalau suatu hari nanti ternyata dibutuhkan, Anda sudah siap dan stand by. Tapi semoga saja tidak perlu. Awakmu ngene iki tok wis cukup. Yang penting anak istrimu dijaga, keluargamu diuri-uri  temenanibadahmu ojo nemen-nemen bogange.”  nasehat Cak Nun lebih lanjut.

Cak Nun memang Cak Nun. Hanya berangkat dari nasehat Ibadahmu ojo nemen-nemen bogange saja sudah mampu menyeret jamaah pada bahasan yang tidak hanya luas, namun penuh makna. Ia mengaku, tidak mungkin memberikan nasehat kepada jamaah agar sregep dalam beribadahpaling banter yang bisa dipesankan adalah agar ibadah tidak terlalu diabaikan. Sebab, setiap zaman memiliki keunggulan dan kelebihannya masing-masing. Ditengah hiruk-pikuk dan gegap-gempitanya zaman modern, tak mungkin jika manusia modern mampu beribadah sebagaimana para pendahulunya. Menurut Cak Nun, manusia zaman sekarang sangat tidak bisa diandalkan, berbeda manusia masa lalu yang beribadah tidak hanya intens, tapi mampu melakukan ritual-ritual ibadah yang sangat luar biasa.

Biyen mbah-mbah iku moco Al Waqi’ah  700 iku kuat, saiki jajal awakmu kuat opo ora? Mendanio entek kopi piro moco waqi’ah ping 700,” guyonan Cak Nun disambut tawa para jama’ah,” Jadi Tuhan tidak mungkin akan menagih Anda beribadah sebagaimana Sunan Kalijogo, sebagaimana Syaikhona Kholil, Imam lapeo, Mbah Khamid, Mbah Ud, Mbah Sahlan, dan lain sebagainya. Anda tidak mungkin akan dituntut seperti mereka. Jadi yo, sak kuat-kuate....”

Cak Nun kemudian membagikan “ilmu” dari maiyahan di Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogjakarta. Bahwa sejatinya kewajiban ibadah, baik berupa shalat, puasa, dan jenis-jenis ibadah mahdlah maupunmu’amalah lainnya yang dibebankan kepada manusia  menyulutkan ketidak-senangan dan ketidak-enakan. Justru Tuhan memberikan kewajiban itu lantaran manusia memang tidak senang. Dan tidak masalah jika mereka tidak menyembunyikannya dan melahirkan ke permukaan.  Rumusnya menurut Cak Nun sederhana, tanda orang dewasa dan memiliki kemuliaan adalah orang yang sanggup dan bersedia secara ikhlas melakukan apa yang tidak disukai, dan tidak melakukan apa yang disukai.

Awakmu gak seneng sembahyang, tapi ikhlas sembahyang. Jadi, kamu bersedia secara ikhlas melakukan kewajiban yang aslinya tidak engkau senangi, mulane derajatmu mulyo ndek ngarepe Gusti Allah. Nek awakmu nglakoni sing kok senengi iku istimewane opo..... 

Dadi awakmu gak usah wedi nek gak senengAnggitmu tentara baris iku seneng ta. Hanya karena ia tentaralah, yang membuat ia bersedia melakukan kewajiban itu. Kamu tidak usah berpura-pura senang dengan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah atasmu, sementara hatimu sejatinya tidak senang dengan semua itu. Katakan saja apa adanya. Ini transparansi namanya. Yang penting, dalam ketidaksenanganmu itu, engkau berjuang secara ikhlas untuk melakukan semua itu demi menghamba kepada Tuhan pencipta hidupmu. Itulah kemuliaan.”

Begitulah, sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dan berlalu begitu saja dalam lalu lintas kehidupan, ditafsiri secara gamblang oleh Cak Nun sehingga memutikkan hikmah dan pemahaman baru di kalangan para jamaah. Bahkan lebih jauh Cak Nun menuturkan, ketidak-senangan itu tak hanya berlaku di wilayah-wilayah ibadah mahdlah, dalam ibadah mu’amalah pun tak bisa dinafikan. Misalnya saja dalam hubungan suami-istri. Kesenangan-kesenangan hidup berumah-tangga mungkin hanya berlaku dalam tahun-tahun awal pernikahan. Ketika  perkawinan memiliki bilangan usia yang tak lagi sedikit, ketidaksenangan-ketidaksenangan itu akan semakin mengendap ke permukaan dari tahun ke tahun. Dan kemuliaan suami istri adalah, dalam ketidaksenangan itulah mereka sanggup melalui dan melewatinya secara ikhlas sampai akhir hayat.

Demikianlah pengajian di Maiyah, segalanya dikupas secara luas dan mendalam.  Jamaah yang hadir pun kian serius, meskipun kerapkali tergelak ketika menyimak penuturan-penuturan Cak Nun yang tak hanya bermakna, tapi juga menyegarkan.

Lebih luas Cak Nun kemudian mengkritisi fenomena yang berkembang di masyarakat dalam kurun waktu terakhir, ialah merebaknya status-status atau label-label islam. Parahnya, yang “laku” di kalangan masyarakat adalah hal tersebut. Tak pelak, Islam pada akhirnya berhenti hanya sebagai label tanpa memperdulikan substansi. Hal itu berlangsung hampir di semua wilayah dalam kehidupan. Dari soal musik dikenal ada musik islami, lembaga pendidikan yang laku di masyarakat adalah lembaga yang ada AL-nya (SDIT Al-Huda, TK Al-Hidayah, dlsb). Gara-gara itulah, kemudian ada orang non islam yang membikin lembaga sekolah sengaja diberi nama AL agar diminati masyarakat.

Menurut Cak Nun, hal itu tidak sepenuhnya salah. Namun keadaan tersebut akan merugikan islam secara strategis. Secara sederhana Cak Nun memberikan analog, ibarat warung, islam  adalah bahan-bahan makanan yang akan diolah, sekaligus cara memasaknya. Begitu beralih-rupa menjadi hidangan yang siap dimakan,  islam tak usah diperlihatkan karena yang terutama adalah kesehatan dan kemaslahatan. Ketika islam ditunjukkan, hal itulah yang menyebabkan orang lain memberikan kemasan-kemasan dengan label yang penting islam. Padahal secara substansi tidak sesuai, bahkan mungkin bertolak-belakang dengan ajaran-ajaran islam.

Masih tentang islam, Cak Nun lantas menuturkan bahwa islam atau tidak islamnya seseorang, tak bisa dilakukan oleh orang lain, kecuali oleh dirinya sendiri. Maka, adalah hal yang aneh jika kemudian ada orang diislamkan oleh Kiai A atau Kiai B. Sebab sejatinya, tanpa diketahui oleh seorang manusia sekalipun, ketika secara sungguh-sungguh manusia berikrar bersyahadat mengakui Tuhan dalam setiap relung kehidupannya, sudah islamlah ia. Itu pulalah yang membuat Cak Nun bersedia ketika dimintai tolong oleh seorang tokoh Hindu di Bali yang ingin pergi ke Mekkah. Sebab menurutnya, hati si Tokoh tersebut sudah sangat bertauhid. Hanya lantaran dibesarkan di lingkungan Hindulah yang kemudian membuatnya seperti sekarang.

Pengajian malam itu kian malam kian gayeng. Cak Nun kemudian menutup uraian pengantarnya itu dengan menuturkan sebagaimana di awal, bahwa kehadiran jamaah di Padhang Mbulan bukanlah sesuatu yang tidak berguna. Karena hal itu akan merangsang rahmat Allah bagi masa depan bangsa Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama(*)

(Bersambung)

Indahnya Cinta (Hartono Basingkem /maiyah net group)


Tukarkan Arloji dengan
Gelang Tasbih Cak Nun// (Tokoh, kiri)

Caption- PESAN DAMAI: Samsul memasangkan arlojinya ke lengan kiri Cak Nun di parkiran Stadion Brawijaya dini hari kemarin. PRASETIA FAUZANI/RK

KEDIRI KOTA- Hanya berselang seminggu dari penampilannya di Balai Kota, Jumat malam (26/8) Emha Ainun Najib kembali datang ke Kota Kediri. Bersama grup musik Kiai Kanjeng, Cak Nun –panggilan akrabnya—ganti tampil di Lapangan Parkir Timur Stadion Brawijaya.
Di hadapan ribuan jamaah Padang Mbulan –komunitas pengajian yang digagasnya—Cak Nun menekankan pentingnya menghargai pluralitas kehidupan. Sebab, hal itulah yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia. “Beratus-ratus suku, budaya, dan agama mampu hidup rukun dan damai di Indonesia. Di negara lain belum tentu,” ujarnya dalam acara bertajuk Pengaosan Sangu Ramadan itu.
Naik pentas sekitar pukul 22.00, Cak Nun mengajak sejumlah pejabat yang hadir ikut mendampingi. Mulai dari Wali Kota Samsul Ashar, Kapolresta AKBP Mulia Hasudungan Ritonga, Danyon 521 Letkol Inf Sunaryo, hingga Wakil Ketua DPRD Sholahuddin Fathurrahman.
Untuk menggali makna pluralisme, Cak Nun menyampaikan sejumlah pengalaman dan ilustrasi. Salah satunya ketika dia dan rombongannya diundang ke Fak-Fak, Papua Barat untuk mengisi acara Maulid Nabi SAW. Ternyata, panitianya seorang pastur. Umat Nasrani dengan senang hati membantu. “Itu pemandangan yang indah,” katanya.
Begitu pula pengalaman ketika diundang ke Canberra, Australia. Begitu mengetahui bahwa Islamic Centre di sana belum memiliki Alquran, seorang pastur langsung tergerak menyumbang pengadaannya. “Njajal nang kene, wani ta gak kiai dadi ketua panitia Natalan lek gak kepingin diclathu jamaahe,” sindir Cak Nun yang disambut tawa jamaah.
Dia lantas mengatakan, sikap dan pemahaman itulah yang perlu dibongkar. “Ini persoalan apa sebenarnya? Soal keyakinan, soal budaya, soal gengsi, atau soal apa?,” pancingnya.
Diiringi musik Kiai Kanjeng, budayawan berjuluk Kiai Mbeling itu kemudian mencontohkan harmonisasi dalam pluralisme. Yakni, bersalawat dengan iringan musik yang biasa dimainkan untuk lagu Malam Kudus.
Di sela-sela salawat itu, Kapolresta Ritonga yang Nasrani diminta menyanyikan syair lagu Malam Kudus, tetap dengan iringan musik Kiai Kanjeng. “Jadi, apa tidak boleh kita bersalawat dengan musik (ala) gereja? Atau, orang Nasrani menyanyikan Haleluya dengan irama yang biasa dipakai anak-anak NU itu untuk bersalawat?,” tanyanya sambil mencontohkan irama dimaksud.
Untuk diketahui, Cak Nun sempat beberapa kali mengapresiasi sikap toleran yang ditunjukkan Ritonga. Termasuk, kesediaannya untuk terlibat aktif menjadi panitia dalam Pengaosan Sangu Ramadan malam itu.
Ritonga yang mengenakan songkok pun mengakui bahwa dia termasuk sebagai salah satu pengagum Cak Nun. “Sejak awal reformasi, saya sudah mengagumi beliau,” katanya sembari mengaku bahwa sebelumnya sempat meminta foto bareng idolanya tersebut.
Sementara itu, di sela-sela pengajian yang berakhir sekitar pukul 01.30 dini hari itu, Cak Nun sempat bertukar ‘cendera mata’ dengan Wali Kota Samsul Ashar. Entah siapa yang memulai, gelang tasbih di lengan Cak Nun sudah berpindah ke lengan Samsul. Setelah itu, ganti Samsul yang melepas arloji di lengan kirinya lalu memasangkannya ke lengan kiri Cak Nun. (ut/hid)

26/08/11

Lanjutan Reportase Maiyah Padang Mbulan (em syuhada di group Pejalan Maiyah- FB)


BEGITULAH, sebagaimana dituturkan diawal, segala hal yang terjadi di luar negeri, terutama berkaitan dengan kondisi sosial politik pasca reformasi, negara-negara Islam di Timur-tengah sesungguhnya sedang menunggu Indonesia. Menunggu dalam arti, bahwa negara-negara Islam modern Timur-tengah sedang mengincar Indonesia untuk dijadikan  model atau uswatun hasanah dalam menciptakan konstitusi baru kenegaraan mereka.

Lha lak ngeluIndonesia sing jembret koyok ngene. Imame gak mek ngentut, tapi keceret neletek-neletek sampek nang sikile, kok kate ditiru karo wong timur-tengah, “  sergah Cak Nun dengan dialek jawanya yang khas, ”Ini resmi, Anda tak mungkin akan mendapatkan informasi ini dari media massa apapun. Hanya di Padhang Mbulan Anda mendengar seperti ini. Wis Gak mungkin nek Jawa Pos eroh  ngene iki.” lanjutnya menegaskan.

Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk melakukan analisis terhadap keadaan itu.  Ia kemudian menuturkan, kalau yang ingin ditiru oleh Mesir atas Indonesia adalah reformasi 1998 atau model kepemimpinan Indonesia pasca reformasi sampai sekarang, sudah pasti Mesir salah besar. Sebab, reformasi yang terjadi di Indonesia bukanlah sebuah upaya menciptakan sistem kenegaraan yang baik demi kemaslahatan bersama. Yang terjadi adalah menjatuhkan maling untuk menjadi maling. Reformasi adalah ketidakrelaan satu sama lain sehingga masalah demi masalah kian beranak pinak dan tak kunjung bisa diselesaikan.

Seperti kebiasaan sebelumnya, setiap kali membicarakan satu hal, Cak Nun tidak hanya memandangnya secara parsial. Itu pula yang dilakukan ketika menuturkan Mesir, “Saya kira, dalam meniru itu ada  unsur  intelektual analitis, maupun emosional, dan estetik. Intelektual analistisnya adalah Mesir menganggap Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim yang moderat, toleran, paling gampang kompromi, dan beragam kelebihan lainnya.”

Sejumlah fakta dan cerita  tentang masyarakat Indonesia yang unik pun diungkap secara bernas. Apalagi  Cak Nun membumbuinya dengan joke-joke segar membuat jama’ah larut dalam cerita. Misalnya saja, bagaimana orang-orang non islam yang memiliki tetangga muslim ternyata ikut puasa dan hari raya,  sibuk mempersiapkan takjil  bersama ketika puasa berlangsung, dan sebagainya. Apalagi ketika Cak Nun bercerita pernah diundang ke Jayapura untuk sebuah acara. Ketua Panitia pengundang adalah seorang tokoh katolik yang berucap assalamualaikum dalam sambutannya. Tak pelak, jamaah pun tergelak dan tertawa-tawa.

“Kalau hanya Eropa, Amerika Latin, atau negara-negara lainnya itu berada dalam buku lauhil mahfudzbiasa. Sedangkan Indonesia tak cukup. Indonesia adalah sebuah negara yang merupakan suplemen di tengah-tengah lauhil mahfud yang tentu saja memiliki rumus berbeda dari lainnya jika melihat ragam dan unik manusianya.” kelakar Cak Nun terkait hal diatas.

Begitulah, apa yang diungkapkan Cak Nun malam itu tak hanya memberikan informasi yang bermakna, namun membuka kran berpikir bagi para jamaah dalam merespon hal-hal disekitarnya.  Pada saat yang sama, Cak Nun juga meminta agar pengajian malam hari itu dipergunakan untuk memperbincangi secara serius, bahwa segala hal yang terjadi dalam negara, agama, politik, kebudayaan, pendidikan, dan sebagainya, sebetulnya salah langkah dalam memilih tiga hal, apakah berdasarkan adopsi (taqlid),adaptasi (ittiba’), ataukah kreatifitas (ijtihad).

Sedikit menyinggung tiga hal tersebut, Cak Nun melakukan kilas balik dengan mengkritisi proses berdirinya Negara Indonesia. Menurutnya, berdirinya NKRI  sesungguhnya tidak berasal dari proses kreatifitas para pendirinya disesuaikan dengan kondisi atau kultur masyarakat, tapi hanya berdasarkanadopsi atau copy paste. Contoh yang paling remeh dan sederhana adalah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Aku wingi mari ngomong suwe karo Yon Koeswoyo (Koes Plus). Ternyata, ia juga menggelisahkan hal yang sama seperti yang kita gelisahkan selama ini tentang Indonesia Raya. Tapi kesimpulane Yon apik,WR. Soepratman nggawe lagu iku pas umroh. Makanya, ada lirik “Disanalah, aku berdiri....” Seolah-olah Indonesia itu sebuah tempat yang sangat jauh, maka kata yang dipilih adalah disanalah....”guyon Cak Nun disambut tawa jama’ah.

Meski remeh, lirik lagu yang sudah disahkan oleh konstitusi itu sebetulnya memuat kesalahan. Kesalahan yang sama juga terjadi pada seluruh hal yang lain, menyangkut proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana demokrasi yang dijalankan dengan seluruh anasirnya sesungguhnya memiliki motivasi dan mental budaya yang diketahui sebagai kesalahan tapi tetap dilakukan juga. Itulah yang oleh Kenduri Cinta diistilahkan sebagai Bangsa Penunggu Maghrib.

Walhasil, Cak Nun mengakhiri ulasannya itu dengan melakukan hipotesa tentang Mesir sebagaimana dituturkan diawal. Ketika Indonesia digadang-gadang oleh negara-negara di timur tengah, Mesir sesungguhnya memiliki naluri yang baik. Artinya, bahwa yang ingin ditiru oleh Mesir dan negara-negara Timur tengah lainnya bukanlah negara dan pemerintah Indonesia. Yang ingin ditiru adalah umat islam maupun rakyat Indonesia yang dikenal memiliki ketahanan mental yang tak bisa diremehkan begitu saja.

Sebelum mengakhiri pengantarnya, masih ada beberapa hal yang disampaikan oleh Cak Nun. Salah satunya  masalah internal jama’ah dikaitkan dengan cita-cita mengenai Indonesia untuk kurun waktu ke depan. Menurutnya, kehadiran jamaah di Padhang Mbulan, jika diumpamakan sebagai jejaka yangndepe-ndepe di hadapan Tuhan memohon jodoh, maka jodoh orang Padhang Mbulan adalah orang lebih luas dari orang Maiyah, yang akan melaksanakan cita-cita untuk Indonesia, umat islam, dan seluruh manusia di seluruh dunia. Dan Tuhan akan menghadirkan jodoh itu.

Jangan dipikir, Indonesia iku mek koen tok sing mikir. Akeh sing mikir Indonesia, bahkan gak mek menungso tok, gak mek wong indonesia tok, kabeh melok mikir Indonesia,” kata Cak Nun menuturkan, ”Percayalah, Indonesia akan mengalami perjodohan bawah dan atas. Pademine mesjid, sampek tembok-temboke, sampek blandare, nganti kubahe.....” imbuh Cak Nun.

Lebih lanjut Cak Nun menuturkan, Bangsa Indonesia ke depan akan melewati masa-masa setelah Maghrib. Dan hari ini adalah wingit-wingitnya surup.  Nanti akan ada revolusi yang cukup besar meski tidak gegap-gempita dan berdarah-darah. Cak Nun menyebutnya sebagai Revolusi yang Evolusioner, yakni sebuah revolusi dengan sebuah perhitungan yang matang dan tidak gegabah.

Bahkan untuk keperluan tersebut, secara terang-benderang Cak Nun membeberkan telah memiliki strategi untuk mendapatkan sejumlah dana dalam skala besar untuk satu hingga tiga tahun ke depan. Cak Nun juga menyatakan telah memiliki cara untuk mengatasi permasalahan-permasalan krusial di negara ini. Tentang koruptor yang menghabiskan uang negara dalam jumlah yang sangat besar, kasus-kasus yang dianggap konstitusional tapi sesungguhnya  perampokan besar-besaran atas aset-aset Indonesia seperti freeport, dan lain-lain.

Hal tersebut akan terjadi pada kurun waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan jika Allah mengizinkan, satu dua tahun ke depan, akan terjadi beberapa peristiwa besar di negeri ini yang dipandu secara langsung oleh Allah sebagai rahmat bagi Bangsa Indonesia. Itu dalam rangka menjawab cita-cita orang-orang Maiyah tentang Indonesia (*)
(Bersambung)

Reportase Maiyah Kediri Via Twitter (#maiyahKediri)

 Wachyudi Budiman 

»
 ahmad hafidz 

 Gamelan KiaiKanjeng 

 aris koerniawan 
 
 Astho Setyo Sasono 
 
 Gamelan KiaiKanjeng 

 Gamelan KiaiKanjeng 
 
 Gamelan KiaiKanjeng 

 A Enang Nugroho 
 
 Gamelan KiaiKanjeng 
 
 Adhy Nuno 
 
 Wachyudi Budiman 
 
 KenduriCinta™ 
 
 Wachyudi Budiman 
 
 Gamelan KiaiKanjeng 
 
 Wachyudi Budiman 

 KenduriCinta™ 

 ahmad hafidz 
 
 KenduriCinta™ 
 
 belly purnomo sigit 
 Gamelan KiaiKanjeng 
 
 KenduriCinta™ 
@ 
 
 Sidhi Nugroho 
 
 Banthenk Tommy 
 
 KenduriCinta™ 
 
 Gamelan KiaiKanjeng 

 Gamelan KiaiKanjeng 
 
 marinda frida a 
 
 KenduriCinta™ 
 
 sulton™ 
 
 Gamelan KiaiKanjeng 
 
 Sidhi Nugroho 
 
 Gamelan KiaiKanjeng 
 
 Gamelan KiaiKanjeng 
 
 ahmad hafidz 
 
 Erick Sumarman 
 
 Gamelan KiaiKanjeng 
 
 Gamelan KiaiKanjeng