assalamu'alaikum

Assalamu'alaikum

Semua yang ada disini adalah hasil Reportase dari dulur dulur Jamaah Maiyah yang ada di manapun Baik dari Kenduri Cinta(KC) Obor Ilahi(OI) BangBang wetan (BBW) Mocopat syafaat (MS) gambang Syafaat (GS) dan maiyah maiyah lain yng sulit sayaa sebutkan,
Blog ini juga memuat syair ataupun puisi Terutama Milik Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).
Blog ini Juga menampung saran dan kritik juga tidak berkeberatan apabila ada saudara atau pengunjung atau teman bahkan musuh sekalipun yang ingin menuangkan ide dan tulisan tulisanya...

30/09/11

Catatan Pengajian Padhang mBulan September 2011 (2) Emsyuhada


BELAJAR TIDAK SALAH DALAM HAL KECIL, AGAR SUKSES MENAPAKI YANG BESAR

Foto diambil dari Album Komunitas Gesa JMT

MUNGKIN karena masih dalam suasana Idul Fitri, pengajian Padhang mBulan September ini, tafsir al-Qur’an kembali tidak disuguhkan secara spesifik kepada para jamaah seperti bulan sebelumnya. Cak Fuad justru menampilkan presentasi menggunakan LCD monitor terkait peristiwa halal-bihalal maupun ucapan selamat hari raya yang diterimanya selama lebaran. Hal itu sengaja dilakukan, karena ada beberapa hal yang menurut Cak Fuad perlu dikoreksi dan dibenahi. Memang hal tersebut terkesan sepele. Tapi Jamaah Maiyah adalah manusia yang bersedia terus belajar memperbaiki diri, bahkan terhadap hal-hal yang paling  kecil sekalipun.

Tampilan pertama adalah kiriman kartu lebaran dari Pusat Bahasa dan Panji Gumilang (Az-Zaitun) berbunyi SELAMAT IDUL FITRI 1432 H. Kata Cak Fuad, Itulah kalimat baku yang mestinya digunakan ketika mengucapkan selamat hari raya. Sebab, tak jarang masih ada sebagian orang yang menggunakan pilihan kalimat SELAMAT HARI IDUL FITRI atau SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1432 H. Secara bahasa, Idul Fitri itu sudah menunjukkan hari raya, maka untuk efektifitas kata cukup ditulis dengan SELAMAT IDUL FITRI 1432 H.

Kiriman BBM dari teman maiyah Jakarta merupakan tampilan selanjutnya, berupa poster dari sebuah Paguyuban di Bogor bertuliskan SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA, 1 SYAWAL 1432 H. Hal yang sama juga terjadi pada sebuah spanduk yang bergambar foto Megawati dengan Kepala Bantengnya. Itu semua menurut Cak Fuad adalah ayat-ayat Allah. Bagaimana tidak! Kalau untuk urusan yang kecil dan remeh-temeh semacam itu ternyata masih salah dan keliru, bagaimana bangsa ini mau menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Maka, orang maiyah adalah orang yang cermat dalam segala sikap dan perilaku, agar tidak gampang terpeleset pada jurang kekeliruan maupun kesalahan sekecil apapun.

Tampilan ketiga berupa spanduk yang dikutip isinya: HORMATILAH ORANG BERPUASA dan HORMATILAH BULAN RAMADHAN. Ini mengingatkan saya pada tulisan Gus Mus beberapa tahun silam. Bahwa orang berpuasa tidak gila hormat. Bulan Ramadan tidak pernah minta dihormati, apalagi dengan cara-cara dangkal seperti yang dilakukan oleh para pelaku industri di televisi. Cak Nun juga sering mengatakan bahwa orang berpuasa adalah manusia yang tidak gampang masuk angin, sehingga dengan lantang ia akan berkata: Wahai penjual makanan, bukalah warungmu lebar-lebar siang hari. Bahkan, wahai para PSK, datanglah kepadaku tiga kali sehari jika itu yang kau inginkan. Tapi jangan kecewa jika aku ternyata tak tergiur dengan goda dan rayuanmu, karena aku sedang menjalankan ibadah kepada Tuhanku.

Masih banyak slide yang ditampilkan oleh Cak Fuad, diantaranya gambar sepotong kue RAISIN dengan tulisan SAMPLE (yang dimaknai oleh orang maiyah, bahwa bagi yang memakan tersebut akan gak duwe isin dan sempel),  Launching Nahdlatul Muhammadiyin di Yogjakarta tanggal 9 Ramadlan 1432 H, gambar sebuah buku berjudul Dahlan Asy’ari yang mengungkapkan bahwa kedua tokoh tersebut adalah dua orang sahabat dengan seorang guru yang sama, ialah Syaikhona Kholil Bangkalan, dan lain sebagainya.

Yang agak mengundang tawa adalah tampilan slide berupa berita yang marak di internet sesudah penetapan 1 Syawal oleh pemerintah RI. Si pembuat berita menuliskan, bahwa telah terjadi kesalahanru’yah oleh pemerintah Arab Saudi yang telah menetapkan 1 Syawal pada hari selasa. Hiial yang terlihat sesungguhnya bukan hilal, tapi planet Saturnus. Bahkan, untuk kesalahan tersebut, pemerintah Arab Saudi ditulis telah membayarkan DAM dalam jumlah yang cukup banyak. Isu tersebut dilontarkan sekedar ingin menegaskan bahwa yang benar adalah penetapan pemerintah RI. Berita tersebut lantas dibalas oleh mereka yang berlebaran pada hari selasa dengan menayangkan gambar seseorang melihat hilal dengan bantuan teropong. Lucunya, penutup lensa teropong ternyata belum dibuka. Tak pelak, jamaah pun tergelak dengan keadaan itu.

Gambar tersebut ditayangkan oleh Cak Fuad bukan dalam rangka ingin mengunggulkan golongan yang satu dengan melemahkan golongan yang lain. Dengan tegas ia berkata agar  jamaah tidak men-seriusi, apalagi sampai membawanya pada situasi batin yang paling dalam.  Ia hanya sekedar ingin mengajak jamaah untuk menertawakan diri sendiri. Bahwa, dalam kehidupan ini sesungguhnya banyak tingkah laku konyol yang kadang tidak disadari. Sesekali, manusia perlu melakukan sublimasi, dengan menertawakan kebodohan dan kekonyolannya sendiri.

Hal kecil yang juga penting untuk diperhatikan adalah ucapan selamat hari raya dengan pelafalan yang salah. Itu dibuktikan dengan banyaknya ucapan selamat yang masuk ke Hpnya Cak Fuad melalui pesan singkat. Minal ‘Aidin wal Faizin (yang pertama adalah dal, z adalah zai) ditulis Minal ‘Aidzin wal Faidzin(kedua-duanya memakai dal). Yang benar seharusnya yang pertama. Ada juga yang menuliskanA’idzin (huruf pertama hamzah, yang kedua ‘ain)padahal yang betul adalah ‘Aidzin (huruf pertama ‘ain, huruf kedua hamzah). Hal tersebut sepele tapi sekaligus penting. Sebab dalam bahasa arab, kesalahan satu huruf baik kata maupun harakat akan mempengaruhi pengertian ataupun maknanya.

Banyak hal ditampilkan Cak Fuad dalam rangka mengkritisi kesalahan-kesalahan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan naifnya, kesalahan-kesalahan kecil itu tak hanya dilakukan oleh masyarakat kecil dengan kadar keilmuan rata-rata, seorang tokoh besar Indonesia dengan gelar profesor doktor pun melakukan hal yang sama. Bagaimana kata Lauhul Mahfudz (huruf terakhir menggunakan dhot) ditulisLauhul Mahfud (huruf terakhir ditulis dengan huruf dal). Hal tersebut ditemukan Cak Fuad dalam paparan makalah profesor doktor yang bersangkutan, ketika mengikuti seminar internasional beberapa waktu silam dengan peserta perwakilan negara-negara dari seluruh dunia.

Lebih luas, Cak Fuad kemudian mengkritisi arogansi perilaku keberagamaan yang dilakukan sebagian umat islam, dan sulitnya mengubah budaya keberagamaan yang kadang tidak tepat. Sebuah cerita sufi dari Jalaluddin Rummi dituturkan. Alkisah, di sebuah masyarakat yang mayoritas non muslim, adalah muadzzin yang begitu giat melakukan tugasnya tiap kali waktu shalat wajib tiba. Sayangnya, suara maupun irama adzan-nya sangatlah buruk. Ketika diperingatkan agar tidak mengeraskan suaranya, si Muadzzin justru marah. Ia merasa tersinggung. Bukankah adzan adalah syiar islam? Bukankah melakukan tugas memanggil untuk shalat lima waktu adalah pekerjaan mulia? Demikian yang menjadi pemahamannya.

Suatu hari, datanglah seorang laki-laki kristen mencari muadzzin tersebut ingin memberinya hadiah. Masyarakat tentu saja kaget, apa gerangan yang terjadi? Lelaki tersebut kemudian bercerita bahwa ia memiliki seorang anak gadis yang bersikeras masuk islam karena akan menikah dengan seorang laki-laki muslim. Berbagai cara dilakukan agar si anak membatalkan niatnya, namun tak pernah berhasil.

Suatu waktu, tiba-tiba saja si anak berubah pikiran dan membatalkan niatnya masuk islam. Apa gerangan penyebabnya? Ternyata ia jengah dengan suara adzan yang dilakukan oleh muadzintersebut. Tentu saja si lelaki senang bukan kepalang. Ia ingin memberikan hadiah karena telah merasa “diselamatkan” hidupnya oleh muadzin yang bersangkutan. Pelajaran yang bisa diambil dari cerita tersebut sederhana: itulah kenyataan yang memang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Meski kadang tidak disadari, sebuah kesalahan kecil ternyata dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan yang lebih besar.

Di penghujung uraiannya, Cak Fuad menunaikan janjinya atas pertanyaan jamaah yang belum terjawab secara tuntas pada pengajian bulan sebelumnya, ialah perbedaan pengertian antaraTadabbur dan Tafakkur. Meski belum bisa dijelaskan secara tuntas karena terbentur waktu, secara garis besar dijelaskan bahwa kedua kata tersebut berbeda, meskipun secara etimologis memiliki persamaan. Dalam al-Qur’an, kata Yatadabbaru  hanya dikaitkan dengan al-Qur’an, sedangkanTafakkur dihubungankan dengan hal-hal yang menyangkut alam semesta. Tadabbur adalah annadlaru fi awaqibi al-umur, melihat sesuatu yang fokusnya ke belakang. Sementara tafakkur adalah melihat dalil-dalil, argumen-argumen yang berhubungan dengan alam semesta, peristiwa-peristiwa, diri manusia sendiri, atau sang Pencipta, dan lain sebagainya untuk ditafakkuri atau dipikirkan.

Pilihan kata Tadabbur yang lebih dikaitkan dengan al-Qur’an bukan tanpa sebab. Dalam ilmu Nahwu Sharaf dijelaskan, Tadabbara mengikuti wazan Tafa’ala, memiliki arti bahwa sesuatu harus dilakukan secara terus menerus, bersungguh-sungguh, memerlukan stamina untuk melakukannya, melihat makna yang tidak tampak (dbalik teks), serta mencari hikmah atau pelajaran yang terkandung didalamnya.

Artinya, untuk mempelajari al-Qur’an tidak cukup dilakukan secara sporadis tanpa ada istiqomah di dalamnya. Al-Qur’an selalu menawarkan hal-hal yang baru jika dipelajari secara serius, terus-menerus, dan bersungguh-sungguh. Energi besar pun dibutuhkan untuk mempelajari al-Qur’an karena skala waktunya panjang. Yang tak kalah penting, ketika mencerna ayat-ayat al-Qur’an, seseorang tidak boleh hanya terpaku pada teks, atau bahkan menyembah teks (makna tersurat). Jika hal itu dillakukan, sangat terbuka kemungkinan manusia tak akan mampu mengambil hikmah, karena tak bersedia  mengurai makna dari yang tersembunyi dibelakangnya (makna tersirat).

Walhasil, dalam setiap pilihan kata memang tersirat makna. Selanjutnya, bagaimana harus menjalani kehidupan ini dengan segala pernak-perniknya? Semuanya tergantung pada diri kita. Sebab, yang menentukan adalah diri kita sendiri, bukan orang lain(*)

Catatan Pengajian Padhang mBulan September 2011 (1) (em syuhada)


KUALITAS MANUSIA PASCA RAMADHAN


Foto diambil dari Jamaah Maiyah Tuban, yang bermetamorfosis menjadi Komunitas Gesa JMT 

SUASANA masih cenderung sepi ketika saya tiba di Menturo. Kira-kira jam delapan lewat seperempat, saya lihat masih belum begitu banyak jamaah yang hadir. Sebagian bersantai di Masjid, sebagian yang lain bergerombol di kios barakahnya Pak Ndut. Hanya beberapa orang duduk di terpal yang telah digelar di teras nDalem kasepuhan, tempat yang dipersiapkan untuk pengajian. Malam hari itu, bersama enam orang teman saya mengendorkan urat syaraf sejenak setelah sebelumnya menempuh jarak kurang lebih satu setengah jam perjalanan menuju Menturo.

MASIH dalam suasana halal bihalal, pengajian yang dilaksanakan hari senin (12/9/2011) itu dibuka oleh Mas Toto Raharjo -akrab dipanggil Mas Totok-,  dengan penampilan khasnya. Jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan lebih. Dzikriyah Ma’iyah sebelumnya telah dilaksanakan dipimpin oleh Cak Rudd Blora, Kang Miftachul Huda, dan Kang Munir. Tidak banyak yang disampaikan oleh Mas Totok. Beliau hanya menceritakan pengalamannya selama mudik di kampung halaman ibundanya terkait  fenomena lebaran dua kali tahun ini. Kata Mas Totok, lebaran dua kali itu bukan persoalan sederhana. Sebab, kebijakan pemerintah yang menetapkan 1 syawal mundur satu hari itu memunculkan akibat yang tidak remeh, terutama bagi masyarakat di kampungnya yang tidak memiliki pengalaman berlebaran dua kali.

Beberapa pertanyaan pun dilontarkan, apakah tidak bisa jika penentuan waktu puasa atau lebaran dilaksanakan jauh-jauh hari, sehingga tidak memunculkan masalah sebagaimana yang terjadi tahun ini. Apakah sebenarnya ru’yah atau hisab itu? Mas Totok juga melemparkan wacana kualitas manusiapasca Ramadan. Ketika selesai puasa, mungkinkah manusia bisa lahir kembali sebagaimana bayi yang baru dilahirkan. Apakah mungkin manusia bisa kembali menjadi bayi? Jika dikaitkan dengan idul fitri, apakah sebenarnya fitri itu?  

Hal-hal itulah yang kemudian direspon oleh Cak Fuad – sapaan akrab Ahmad Fuad Effendi –  setelah sebelumnya Mas Zainul Arifin melantunkan shalawat dan puji-pujian bersama jamaah . Menurut Cak Fuad, perbedaan hari raya tahun ini disebabkan cara penentuannya yang memang tidak sama. Jika kaum Nahdliyin melakukan ru’yah untuk menentukan awal Ramadan ataupun Syawal, itu didasarkan pada sebuah hadits: shumu liru’yatihi wa afthiruu liru’yatihi... dst. (berpuasalah jika melihat hilal, dan berbukalah (berhari-rayalah) jika melihat hilal...dst).

Kata ru’yah (melihat) itu dipahami oleh teman-teman Nahdliyin secara tekstual melihat bulan baru (hilal) dengan menggunakan mata kepala. Hal tersebut berbeda dengan sebagian golongan yang menggunakan perspektif lain. Bahwa melihat tidak harus menggunakan mata. Melihat bisa dilakukan melalui perhitungan-perhitungan tertentu, atau yang lebih dikenal dengan ilmu hisab. Permasalahannya, jika secara hitungan (hisab) posisi hilal masih sekian derajat diatas ufuk dan kecil kemungkinannya bisa dilihat dengan mata, hal itulah yang kemudian rentan menimbulkan perbedaan.

Selama ini, perbedaan pendapat di kalangan umat islam kerap terjadi dan diyakini sebagai hal-hal yang tidak prinsipil. Pertanyaan balik yang kemudian diajukan oleh Cak Fuad, kalau memang tidak prinsip, mengapa diantara sebagian golongan harus ada yang bertahan dengan pendapatnya dan tidak saling berkompromi satu sama lain? Mengapa tidak ada kesediaan duduk satu meja demi kemaslahatan bersama? Cak Fuad lantas menarik kesimpulan, bahwa permasalahan sebenarnya bukan terletak padaru’yah atau hisab itu sendiri. Bahwa ru’yah atau hisab, qunut atau tak qunut, taraweh 20 atau 8 rakaat, dan lain-lain sudah dijadikan trade mark atau ciri khusus dari golongan, sehingga yang muncul kemudian adalah sifat ashobiyah (fanatik secara belebihan kepada sebuah golongan keagamaan tertentu). Alhasil, jika diantara umat islam tidak bersedia merenungi kembali bahwa innama al-mu’minuuna ikhwatun, faashlihuu baina akhawaikum, maka perbedaan itu akan terus terjadi sepanjang hayat.

Tentang idul fitri, Cak Fuad menjelaskan bahwa kata fitri memiliki dua pengertian. Yang pertama, artinya berbuka. Idul fitri adalah hari berbuka. Ini sejalan dengan pengetahuan dalam islam, bahwa ketika idul fitri berlangsung memang tidak diperkenankan untuk berpuasa, bahkan haram. Jadi idul fitri adalah hari raya makan-makan. Sedangkan pengertian kedua dihubungkan dengan kata fitrahsebagaimana pernah disampaikan oleh Nabi, bahwa puasa yang dilakukan oleh manusia imanan waihtisaban menawarkan kemungkinan diampuni dosanya yang telah lalu, sehingga menyeretnya pada situasi kama waladathu ummuhu, seperti ketika pertama kali dilahirkan oleh ibunya suci tanpa dosa.  Maka, Idul Fitri adalah hari dimana manusia kembali kepada fitrah karena dosa-dosanya sudah diampuni olleh Allah SWT.

“Dengan keadaan itu, apakah kemudian ada manusia yang begitu yakin bahwa sesudah puasa, dosa-dosanya telah diampuni Allah SWT, sehingga ketika 1 Syawal ia telah bersih dan suci dari dosa-dosa? Saya kira tidak ada,” tegas Cak Fuad,”Jadi itu semua lebih bersifat harapan. Bahwa sesudah puasa, kita berharap dosa-dosa kita akan diampuni Allah sehingga kita benar-benar mencapai idul fitri.”

Ungkapan lain tentang fitrah menurut Cak Fuad adalah hadits Nabi kullu mauludin yuladu ala al-fitrah, setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah yang dimaksud memiliki bermacam-macam penafsiran. Salah-satu penafsiran sesuai dengan al-Qur’an adalah keadaan meyakini bahwa Allah itu Esa. Maka, jika kemudian ada manusia memiliki keyakinan bahwa Allah itu lebih dari satu, maka ia sesungguhnya telah keluar dari fitrah kemanusiaan.

Lebih lanjut Cak Fuad menjelaskan kualitas manusia pasca Ramadan. Bahwa puasa yang dilaksanakan sebulan penuh tidak secara otomatis mengubah kualitas kepribadian manusia menjadi bertaqwa. Ini setidaknya ditunjukkan dengan idiom taqwa dalam ayat tentang puasa yang menggunakan fiil mudlori’ (tattaqun). Berbeda dengan fiil madli yang bermakna sudah terjadi (sudah bertaqwa), fiil mudlorimemilki arti harus diusahakan terus-menerus. Artinya, posisi taqwa memang harus diperjuangkan sepanjang kehidupan. Bahkan kalaupun toh sesudah puasa manusia berhasil meraih predikat taqwa, jika  sesudah Ramadan ia tidak berhati-hati dalam sikapnya sehingga melakukan tindakan yang merugikan orang lain, predikat taqwa itu akan hilang pada saat itu juga.

Tentang taqwa, maupun puasa yang harus dilaksanakan terus-menerus dalam hidup, Cak Fuad menyitir ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang puasa (QS.Al.Baqarah:183-188). Bukan sebuah kebetulan jika ayat tentang puasa itu diakhiri dengan pernyataan Allah wala takuulu amwalakum bainakum bilbathil...dst (janganlah kamu memakan harta diantaramu dengan cara bathil...dst). Itu menunjukkan, bahwa yang halal saja diharamkan oleh Allah pada waktu tertentu (apalagi yang haram), maka pasca Ramadan manusia ditegaskan agar tidak memakan sesuatu yang haram (termasuk didalamnya memakan harta orang lain secara tidak sah). Ini berlangsung sepanjang kehidupan.

Artinya, keberhasilan puasa Ramadan sesungguhnya lebih ditunjukkan oleh apakah sesudah 1 Syawal, manusia tetap berpuasa dari hal-hal yang dimurkai oleh Allah SWT atau tidak. Jika dikaitkan dengan pencapaian Idul Fitri, maka upaya mencapai situasi fitri tidak hanya sekedar melakukan puasa selama sebulan penuh kemudian selesai. Kondisi fitri maupun derajat taqwa memang harus diperjuangkan secara terus-menerus sepanjang kehidupan. (*)

16/09/11

Reportase Padhang Mbulan September (em Syuhada - note Facebook) 1


KUALITAS MANUSIA PASCA RAMADHAN

Foto diambil dari Jamaah Maiyah Tuban, yang bermetamorfosis menjadi Komunitas Gesa JMT 

SUASANA masih cenderung sepi ketika saya tiba di Menturo. Kira-kira jam delapan lewat seperempat, saya lihat masih belum begitu banyak jamaah yang hadir. Sebagian bersantai di Masjid, sebagian yang lain bergerombol di kios barakahnya Pak Ndut. Hanya beberapa orang duduk di terpal yang telah digelar di teras nDalem kasepuhan, tempat yang dipersiapkan untuk pengajian. Malam hari itu, bersama enam orang teman saya mengendorkan urat syaraf sejenak setelah sebelumnya menempuh jarak kurang lebih satu setengah jam perjalanan menuju Menturo.

MASIH dalam suasana halal bihalal, pengajian yang dilaksanakan hari senin (12/9/2011) itu dibuka oleh Mas Toto Raharjo -akrab dipanggil Mas Totok-,  dengan penampilan khasnya. Jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan lebih. Dzikriyah Ma’iyah sebelumnya telah dilaksanakan dipimpin oleh Cak Rudd Blora, Kang Miftachul Huda, dan Kang Munir. Tidak banyak yang disampaikan oleh Mas Totok. Beliau hanya menceritakan pengalamannya selama mudik di kampung halaman ibundanya terkait  fenomena lebaran dua kali tahun ini. Kata Mas Totok, lebaran dua kali itu bukan persoalan sederhana. Sebab, kebijakan pemerintah yang menetapkan 1 syawal mundur satu hari itu memunculkan akibat yang tidak remeh, terutama bagi masyarakat di kampungnya yang tidak memiliki pengalaman berlebaran dua kali.

Beberapa pertanyaan pun dilontarkan, apakah tidak bisa jika penentuan waktu puasa atau lebaran dilaksanakan jauh-jauh hari, sehingga tidak memunculkan masalah sebagaimana yang terjadi tahun ini. Apakah sebenarnya ru’yah atau hisab itu? Mas Totok juga melemparkan wacana kualitas manusiapasca Ramadan. Ketika selesai puasa, mungkinkah manusia bisa lahir kembali sebagaimana bayi yang baru dilahirkan. Apakah mungkin manusia bisa kembali menjadi bayi? Jika dikaitkan dengan idul fitri, apakah sebenarnya fitri itu?  

Hal-hal itulah yang kemudian direspon oleh Cak Fuad – sapaan akrab Ahmad Fuad Effendi –  setelah sebelumnya Mas Zainul Arifin melantunkan shalawat dan puji-pujian bersama jamaah . Menurut Cak Fuad, perbedaan hari raya tahun ini disebabkan cara penentuannya yang memang tidak sama. Jika kaum Nahdliyin melakukan ru’yah untuk menentukan awal Ramadan ataupun Syawal, itu didasarkan pada sebuah hadits: shumu liru’yatihi wa afthiruu liru’yatihi... dst. (berpuasalah jika melihat hilal, dan berbukalah (berhari-rayalah) jika melihat hilal...dst).

Kata ru’yah (melihat) itu dipahami oleh teman-teman Nahdliyin secara tekstual melihat bulan baru (hilal) dengan menggunakan mata kepala. Hal tersebut berbeda dengan sebagian golongan yang menggunakan perspektif lain. Bahwa melihat tidak harus menggunakan mata. Melihat bisa dilakukan melalui perhitungan-perhitungan tertentu, atau yang lebih dikenal dengan ilmu hisab. Permasalahannya, jika secara hitungan (hisab) posisi hilal masih sekian derajat diatas ufuk dan kecil kemungkinannya bisa dilihat dengan mata, hal itulah yang kemudian rentan menimbulkan perbedaan.

Selama ini, perbedaan pendapat di kalangan umat islam kerap terjadi dan diyakini sebagai hal-hal yang tidak prinsipil. Pertanyaan balik yang kemudian diajukan oleh Cak Fuad, kalau memang tidak prinsip, mengapa diantara sebagian golongan harus ada yang bertahan dengan pendapatnya dan tidak saling berkompromi satu sama lain? Mengapa tidak ada kesediaan duduk satu meja demi kemaslahatan bersama? Cak Fuad lantas menarik kesimpulan, bahwa permasalahan sebenarnya bukan terletak padaru’yah atau hisab itu sendiri. Bahwa ru’yah atau hisab, qunut atau tak qunut, taraweh 20 atau 8 rakaat, dan lain-lain sudah dijadikan trade mark atau ciri khusus dari golongan, sehingga yang muncul kemudian adalah sifat ashobiyah (fanatik secara belebihan kepada sebuah golongan keagamaan tertentu). Alhasil, jika diantara umat islam tidak bersedia merenungi kembali bahwa innama al-mu’minuuna ikhwatun, faashlihuu baina akhawaikum, maka perbedaan itu akan terus terjadi sepanjang hayat.

Tentang idul fitri, Cak Fuad menjelaskan bahwa kata fitri memiliki dua pengertian. Yang pertama, artinya berbuka. Idul fitri adalah hari berbuka. Ini sejalan dengan pengetahuan dalam islam, bahwa ketika idul fitri berlangsung memang tidak diperkenankan untuk berpuasa, bahkan haram. Jadi idul fitri adalah hari raya makan-makan. Sedangkan pengertian kedua dihubungkan dengan kata fitrahsebagaimana pernah disampaikan oleh Nabi, bahwa puasa yang dilakukan oleh manusia imanan waihtisaban menawarkan kemungkinan diampuni dosanya yang telah lalu, sehingga menyeretnya pada situasi kama waladathu ummuhu, seperti ketika pertama kali dilahirkan oleh ibunya suci tanpa dosa.  Maka, Idul Fitri adalah hari dimana manusia kembali kepada fitrah karena dosa-dosanya sudah diampuni olleh Allah SWT.

“Dengan keadaan itu, apakah kemudian ada manusia yang begitu yakin bahwa sesudah puasa, dosa-dosanya telah diampuni Allah SWT, sehingga ketika 1 Syawal ia telah bersih dan suci dari dosa-dosa? Saya kira tidak ada,” tegas Cak Fuad,”Jadi itu semua lebih bersifat harapan. Bahwa sesudah puasa, kita berharap dosa-dosa kita akan diampuni Allah sehingga kita benar-benar mencapai idul fitri.”

Ungkapan lain tentang fitrah menurut Cak Fuad adalah hadits Nabi kullu mauludin yuladu ala al-fitrah, setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah yang dimaksud memiliki bermacam-macam penafsiran. Salah-satu penafsiran sesuai dengan al-Qur’an adalah keadaan meyakini bahwa Allah itu Esa. Maka, jika kemudian ada manusia memiliki keyakinan bahwa Allah itu lebih dari satu, maka ia sesungguhnya telah keluar dari fitrah kemanusiaan.

Lebih lanjut Cak Fuad menjelaskan kualitas manusia pasca Ramadan. Bahwa puasa yang dilaksanakan sebulan penuh tidak secara otomatis mengubah kualitas kepribadian manusia menjadi bertaqwa. Ini setidaknya ditunjukkan dengan idiom taqwa dalam ayat tentang puasa yang menggunakan fiil mudlori’ (tattaqun). Berbeda dengan fiil madli yang bermakna sudah terjadi (sudah bertaqwa), fiil mudlorimemilki arti harus diusahakan terus-menerus. Artinya, posisi taqwa memang harus diperjuangkan sepanjang kehidupan. Bahkan kalaupun toh sesudah puasa manusia berhasil meraih predikat taqwa, jika  sesudah Ramadan ia tidak berhati-hati dalam sikapnya sehingga melakukan tindakan yang merugikan orang lain, predikat taqwa itu akan hilang pada saat itu juga.

Tentang taqwa, maupun puasa yang harus dilaksanakan terus-menerus dalam hidup, Cak Fuad menyitir ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang puasa (QS.Al.Baqarah:183-188). Bukan sebuah kebetulan jika ayat tentang puasa itu diakhiri dengan pernyataan Allah wala takuulu amwalakum bainakum bilbathil...dst (janganlah kamu memakan harta diantaramu dengan cara bathil...dst). Itu menunjukkan, bahwa yang halal saja diharamkan oleh Allah pada waktu tertentu (apalagi yang haram), maka pasca Ramadan manusia ditegaskan agar tidak memakan sesuatu yang haram (termasuk didalamnya memakan harta orang lain secara tidak sah). Ini berlangsung sepanjang kehidupan.

Artinya, keberhasilan puasa Ramadan sesungguhnya lebih ditunjukkan oleh apakah sesudah 1 Syawal, manusia tetap berpuasa dari hal-hal yang dimurkai oleh Allah SWT atau tidak. Jika dikaitkan dengan pencapaian Idul Fitri, maka upaya mencapai situasi fitri tidak hanya sekedar melakukan puasa selama sebulan penuh kemudian selesai. Kondisi fitri maupun derajat taqwa memang harus diperjuangkan secara terus-menerus sepanjang kehidupan. (*)

11/09/11

DARI SUMUR PADHANG MBULAN 15/08/2011 (6) KOLABORASI TERBANG DAN INDAHNYA PELANGI INDONESIA RAYA



BETAPA luas dan mendalam percikan ilmu yang ditawarkan oleh sumur Padhang mBulan. Pengantar yang disampaikan oleh Cak Nun, Cak Fuad, maupun Mas Toto Raharjo di awal-awal pengajian yang saya tulis hingga lima bagian sebelumnya, sesungguhnya pintu pembuka dari gerbang ilmu yang ingin disuguhkan pada malam hari itu. Maka, ketika waktu beranjak semakin malam, cipratan-cipratan informasi yang disampaikan, refleksi-refleksi atas sejumlah kasus baik di luar maupun dalam negeri, seluruhnya dikemas menjadi ilmu hingga mengerucutkan sebuah kesadaran, bagaimana mestinya seorang manusia berlaku dalam kehidupan.

“Teman-teman sekalian, dengan semua hal yang telah dituturkan, bukan berarti kita akan membuat negara baru, ingin mengganti proklamasi 1945, anti tahun Masehi, dan lain sebagainya. Tujuan kita cuman satu, supaya kita semua sadar dan ingat, kapan dalam kehidupan ini harus ikut Tuhan, ataukah harus membuat sendiri sesuai dengan kemampuan masing-masing,” demikian ditegaskan Cak Nun menggarisbawahi uraian-uraian yang diungkapkan.

Nek awakmu melok Gusti Allah, tuntunan bal-balan gak onok ndek Qur’an. “Ya ayyuhannas bal-balono, Ya ayyuhannas ping-pongo, Ya ayyuhannas nepilo, Ya ayyuhannas ngarito” gak onok. Nepil manuk gak onok tuntunane ndek Qur’an. Kalau yang dimaksud tuntunan adalah kalimat eksplisit atau terang-terangan menyebut suatu pekerjaan. Tapi kita kan boleh bal-balan untuk menyehatkan badan.”

Artinya, memang terbuka ruang kebebasan bagi manusia untuk menciptakan sejumlah kreatifitas dalam kehidupan. Bahwa manusia harus berani membuka cakrawala berpikirnya adalah kemutlakan yang tak bisa ditawar. Meskipun pada saat yang sama, keputusan atas kebebasan berkreatifitas itu sendiri tetap harus berada pada koridor yang matang, tidak melanggar syareat, dan merupakan buah dari kematangan-kematangan intelektual maupun pikiran.

“Bebas itu untuk menemukan keterbatasan, bukan bebas untuk kebebasan. “ demikian ditandaskan oleh Cak Nun. ”Bahwa untuk paham batas, Anda harus bebas dulu. Untuk bisa berhari-raya, Anda harus berpuasa dahulu. Untuk supaya Anda nduwe bojo sitok, awakmu kudu ndelok wong wedok minimum satus. Jadi, dari seluruh perempuan yang telah Anda “pandang” itu, Anda tetap harus hanya memilih satu. Kalau Anda bebas memandang wong wedok sak akeh-akehe, lantas njajal sak akeh-akehe, itu bukan kebebasan namanya,”  seloroh Cak Nun yang tentu saja disambut tawa oleh para jama’ah.

Jadi, kebebasan yang dimaksud Cak Nun bukan berarti bebas dalam arti sebebas-bebasnya. Kebebasan yang ditawarkan adalah membuka cakrawala seluas-luasnya untuk menentukan satu rumah. Sebab menurut Cak Nun, ideologi kebebasan selama ini sering disalah-artikan oleh manusia-manusia modern. Padahal sejatinya, inti keselamatan kehidupan justru terletak pada keterbatasan. Dalam islam, tuntunannya jelas seperti yang dicontohkan Rasulullah, makan jangan sampai kenyang, jangan makan sebelum lapar, dan lain sebagainya. Bukankah hal tersebut merupakan batas yang harus disadari demi keselamatan umat manusia?
***

Berangkat dari hal itulah, Cak Nun lantas menuturkan bahwa terbangan yang dilaksanakan pada malam hari itu bukan hanya tidak haram, tapi bebas dikreatifi tangan-tangan manusia, sepanjang tidak campur-adukkan dengan ibadah mahdlah.  Ideologi yang selama ini diyakini, baik oleh Cak Nun maupun Kiai Kanjeng, sederhana: Apapun saja perilaku yang dikerjakan dalam kehidupan, nutuk saron, nyaduk bal, nabuh terbang, dan lain-lain, harus ada hubungannya dengan ridlallah. ”Gawe opo cangkem muni nek gak ono hubungane karo ridlallah, gawe opo tangan ngaploki terbang nek gak oleh ridlallah, mangkane terbangan ayo digawe shalawatan, digawe barang-barang sing apik. Ini supaya Anda tahu, bahwa ini juga merupakan hasil ijtihad,” demikian ditegaskan Cak Nun.

Maka dimulailah “pertunjukan” pada malam hari itu. Cak Nun meminta salah-satu penabuh terbang ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) dari Menturo untuk menjelaskan jenis-jenis pukulan pada terbang Hadrah sekaligus mempraktekannya satu persatu. Setidaknya ada empat jenis pukulan yang dikenal dalam Hadrah, ialah Yahum, Jros, Tretek (Wedokan), dan Lanangan. Ketika satu persatu jenis pukulan itu selesai didemontrasikan, Cak Nun meminta dibunyikan secara bersama-sama. Alhasil, dari jenis pukulan yang berbeda, ketika dipersatukan pada saat yang sama dengan kesetiaan mengikuti ritme dan irama masing-masing pukulan, ternyata menghasilkan bunyi yang enak didengar. Apa sesungguhnya “hikmah” yang bisa dipetik dari peristiwa itu?

 Selanjutnya, Cak Nun  meminta personil Kiai Kanjeng untuk menabuh terbang seperti yang dilakukan oleh ISHARI. Seperti diketahui, Kiai Kanjeng adalah muridnya ISHARI. Beberapa waktu yang lampau, Kiai Kanjeng pernah berguru kepada ISHARI khusus untuk belajar menabuh terbang. Ketika model terbang ISHARI-an yang pelakunya adalah orang-orang desa dengan kultur dan budaya yang berbeda, tatkala di-ijtihadi oleh Kiai Kanjeng dengan pelaku orang-orang kota dan modern dalam tanda kutip, ternyata menghasilkan bunyi dan warna nada yang berbeda pula. Apa sesungguhnya “hikmah” yang bisa dipetik dari peristiwa itu?

“Dalam musik barat secara teori, ada istilah birama atau sukat. Birama yang dipakai oleh teman-teman ISHARI adalah 5/4. Dan ini tidak umum, sekaligus aneh bagi pelaku musik di dunia barat.” Kata Mas Jijit, salah satu personel Kiai Kanjeng menjelaskan.

Tidak umumnya itu sendiri menurut Cak Nun karena terbang ISHARI memang unik dan tidak semua orang mampu memainkan. Cak Nun sendiri mengakui, ketika berguru kepada ISHARI, Kiai Kanjeng sempat mengalami kesulitan sedemikian rupa pada jenis pukulan tertentu. Hal itu disebabkan karena “hati” pelakunya memang tidak sama. Menurut Cak Nun, kesulitan itu muncul sangat berhubungan dengan cara hidup, kebudayaan, dan tradisi kehidupan sehari-hari masing-masing pelakunya.

Begitulah, dari soal terbang ternyata bisa ditarik garis lurus pada soal kehidupan yang lebih luas. Sebelum mempersilahkan grup yang lebih muda, yaitu Grup Banjari dari Sidoarjo untuk melakukan demonstrasi, Cak Nun terlebih dulu meminta ISHARI dan Kiai Kanjeng untuk membunyikan terbangnya bersama-sama. Itu dilakukan untuk membuka ruang imajinasi para jamaah, bahwa terbangan bukan sekedar terbangan. Apapun jenis perbedaan, jika ada keikhlasan untuk mempersatukan diri, meskipun tetap harus berkomitmen pada kediriannya masing-masing, tak ada kata tidak mungkin untuk dilakukan. Bahwa terbang sangat erat kaitannya dengan Indonesia yang multikultural.

Berangkat dari terbang pula, Cak Nun membelokkannya kepada soal tafsir. Hal itu bermula dari pertanyaan asal-muasal nama pukulan dalam terbang ISHARI antara YahumJrosTretek, danLanangan, yang oleh Guk Tarwi (salah-satu penabuh terbang) dijelaskan, bahwa nama-nama tersebut berdasarkan nada suara yang dihasilkan.  Merefleksikan penjelasan itu, Cak Nun kemudian mengatakan, bahwa bunyi terbang ternyata menciptakan refleksi di perasaan orang, yang dikeluarkan kembali melalui mulut dengan cita rasa khas orang yang bersangkutan. Pada titik inilah yang harus digaris-bawahi, bahwa jika orang lain yang mendengarkan, bunyi yang dihasilkan belum tentu sama dengan nama-nama tersebut.

“Itulah tafsir,” kata Cak Nun. Ia kemudian memberikan contoh suara ayam berkokok. Di Jawa Timur, ayam berkokok ditirukan oleh mulut orang sehingga terciptalah istilah “kukuruyuk”. “Apakah bunyi ayam berkokok pasti kukuruyuk? Tidak!” tegas Cak Nun, “Jangan samakan bunyi ayam berkokok dengan bunyi yang keluar dari mulutmu. Kukuruyuk itu muncul karena telingamu mendengarkan, engkau rasakan dengan hatimu,  dan yang keluar dari mulutmu adalah kukuruyuk. Hal tersebut boleh jadi berbeda pada sejumlah orang di tempat lain dengan perbedaan yang sangat jauh. Di Jawa Barat misalnya, orang menyebut ayam berkokok dengan kokorongkongLho, lak ado nemen se....” papar Cak Nun.

Banyak hal dicontohkan terkait tafsir. Misalnya, orang Jawa Timur menyebut tabrakan kereta dengan “bress”, sementara orang jawa tengah “prek”. Kata “merah yang teramat sangat (banget abange)” direfleksikan dengan “uaabang” oleh orang Jawa Timur, dan “abing” oleh orang Jawa Tengah.  Masing-masing kata sesungguhnya tafsir orang yang bersangkutan sesuai dengan cita rasanya masing-masing. Maka, Cak Nun mengharapkan antara yang uabang dengan yang abing tidak bertengkar hanya karena menganggap kata-kata yang dipakainya paling benar. Sebab,  yang terjadi pada dunia agama, politik, maupun kebudayaan selama ini adalah perdebatan atas tafsir antara uabang danabing, antara kukuruyuk maupun kokorongkong. Masing-masing pihak memaksakan bahwa tafsirnyalah yang paling benar, sehingga kerapkali terjadi perselisihan dan perseteruan diantara yang satu dengan yang lain.

Tentang hal tersebut, Cak Nun lantas meminta Cak Fuad menjelaskan istilah “Khilafiyah” setelah sebelumnya Grup Al-Banjari dari Sidoarjo diminta mendemonstransikan terbangnya dengan satu nomor shalawat. Menurut Cak Fuad, ada dua istilah mengenai khilafiyah, ialah khilaf yang artinya bertentangan dan ikhtilaf yang berarti berbeda. Yang terjadi selama ini (terutama di kalangan kiai) adalah ikhtilaf atau perbedaan di sejumlah hal yang semestinya tidak sampai menimbulkan khilaf atau pertentangan. Kenyataannya, ikhtilaf itu diperlakukan sebagai khilaf sehingga menimbulkan pertentangan satu sama lain. Wacana itulah yang oleh Cak Nun diminta agar disosialisasikan para jamaah di tempatnya masing-masing.

Simulasi lebih lanjut, Cak Nun meminta vocalis Al-Banjari kembali melantunkan shalawat, namun kali ini terbang pengiringnya bukan Al-Banjari tapi dari Grup ISHARI Menturo. Hasilnya, terbang ISHARI yang aslinya monoton karena mengikuti pakem ternyata mampu mengiringi vocalis Al Banjari yang melantunkan shalawat sholli wa sallim seperti didengungkan sebelumnya dengan irama terbang yangrancak. Kesimpulannya jelas, jika ada kemauan untuk bersatu, seruncing apapun perbedaan akan bisa ditemukan komposisi untuk sebuah nada damai dalam kehidupan.

Giliran selanjutnya, terbang Kiai Kanjeng diperdengarkan kepada para jamaah sebelum kemudian berkolaborasi dengan dua grup lainnya. Menurut Cak Nun, terbang Kiai Kanjeng adalah hasil ijtihad dari berbagai wilayah maupun beberapa kemungkinan, sesuai tugas Kiai Kanjeng melayani masyarakat dari berbagai suku dan golongan. Maka, Cak Nun meminta kepada grup musik lain agar tidak takut berijtihad dalam soal musik, selama tidak melanggar syareat. Beberapa jenis terbang dari berbagai tempat pun diperdengarkan, mulai dari terbang yang biasanya digunakan untuk mengiringi tembangZaman Wis Akhir, terbang martapuran, serta jenis terbang yang lain, disusul dengan beberapa nomor musik Kiai Kanjeng komplit baik yang berirama jawa asli, melayu, arab, maupun lainnya. Puncak dari penampilan Kiai Kanjeng adalah Midley Shalawat yang mewadahi beberapa etnis dengan sentuhan irama yang khas. Jama'ah tentu saja larut bergembira dalam kekhusyukan selama Kiai Kanjeng membunyikan alat-alat musiknya.

Puncak dari uruk-urukan terbangan malam itu adalah kolaborasi terbang antara tiga grup. Cak Nun mempersilahkan Grup yang lebih muda, yaitu Al-Banjari dari Sidoarjo untuk melantunkan satu nomor shalawat, diikuti ISHARI dan Kiai Kanjeng. Hasilnya, sebuah komposisi indah ternyata bisa dihasilkan. Itu sekedar pelajaran riil kepada jama'ah, bahwa membangun apapun saja dalam kehidupan (apalagi sekedar membangun sebuah sistem dalam negara), sangat mungkin bisa dilakukan selama ada kesediaan saling menerima perbedaan dan keluasan pikiran untuk saling mengerti. Hal ini menjadi berbeda, jika umpamanya terdapat satu komponen yang memaksakan dirinya untuk diterima, tanpa kesediaan menerima perbedaan kelompok yang lain.

Satu hal yang patut  digarisbawahi pada pengajian malam itu, bahwa terbangan ternyata tidak hanya sekedar terbangan. Dari terbang bisa dipungut ilmu menuju kehidupan yang lebih luas, mulai dari persoalan sosial, agama, politik, budaya, dan lain sebagainya. Satu hal lagi yang patut menjadi catatan: kejadian tersebut tidak terjadi di Amerika, Saudi Arabia, Mesir, atau negara-negara lain, tapi di Indonesia. Ya hanya di Indonesia. (*)
oleh Em Syuhada Via note FB

07/09/11

Tafsir Dan Perilaku Keseharian (dari Sumur Padhang Mbulan 5 Emsyuhada Note FB)


Catatan dari Sumur Padhang mMbulan 15/8/2011

“Senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu, minggu itu nama-nama hari......”

BEGITULAH sepenggal lirik lagu "A B C D" yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng. Lagu tersebut dinyanyikkan atas permintaan Mas Toto Raharjo setelah menggaris-bawahi apa yang disampaikan Cak Nun dan Cak Fuad sebelum mengemukakan pendapatnya lebih lanjut. Ada dua hal setidaknya yang dicatat, ialah tentang peralihan stigma sebagaimana diungkap Cak Nun ketika menjelaskan islam di Timur-tengah dan persoalan bahasa seperti disampaikan oleh Cak Fuad. Hal itu dihubungkan dengan perjalanan maiyah yang dilakukan di pelbagai tempat dalam beberapa bulan terakhir yang lebih banyak membahas tafsir. Tafsir itu sendiri, menurut Mas Totok, sangat terkait dengan bahasa. Alhasil, bahasa apa sebetulnya yang mendesak dan penting harus dipelajari agar tafsir itu bisa dilakukan. Cak Nun sendiri menegaskan, lagu tersebut didengungkan agar terbentuk  kesadaran atas pentingnya kembali mempelajari huruf dan angka-angka.

“Perjalanan maiyah dalam beberapa bulan terakhir banyak mendiskusikan sejumlah hal penting. Pertanyaan besarnya adalah,  apakah maiyah mampu mengatasi segala keruwetan, dan terutama keruwetan yang terjadi  di negeri ini?” pertanyaan Mas Totok membuka cakrawala.

“Jawabannya tidak. Maiyah tidak bisa mengatasi masalah, terutama masalah yang terjadi “diatas”. Tetapi maiyah bisa menjadi bagian yang tidak ikut nambah-nambahin masalah.”

Maka, hal mutlak yang harus dilakukan oleh orang maiyah agar tidak menciptakan masalah-masalah baru dalam kehidupan adalah dengan tidak ikut-ikutan pekok. Hari-hari ini, kata Mas Totok, banyak orang pekok bertebaran di negeri ini. Salah satu sebabnya adalah karena tidak lagi  mau berpikir, atau lebih tepatnya menggunakan jalan pikirannya sendiri untuk mengontrol sikap hidup maupun perbuatannya.  Pemikiran-pemikiran itu justru diserahkan kepada pihak lain yang dianggap lebih mampu semisal cerdik pandai, ustadz, kiai, dan lain-lain. Wa ba’du, Mas Totok kemudian mengambil kesimpulan, dengan semakin banyak ustadz, sesungguhnya adalah indikasi bahwa umatnya semakinpekok.

Contoh-contoh riil yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari pun dituturkan. Misalnya,  televisi “islam” dalam 24 jam yang ceramah-ceramahnya sangat tidak mencerdaskan, pertanyaan-pertanyaan umat yang sesungguhnya tidak perlu, dipaksakan dipertanyakan gara-gara yang bersangkutan tidak bersedia menggunakan jalan pikirannya sendiri, dan lain sebagainya.

“Dulu sewaktu Pak AR. Fachruddin masih hidup, ada pertanyaan dilontarkan kepadanya. Bagaimana hukumnya orang berpuasa yang menelan ludahnya sendiri. Untung jawaban Pak AR cerdas. Sing ora oleh kuwi, idu dikumpulne nang gelas, njur diombe......” Demikian Mas Totok mencontohkan.

Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang menurutnya bukan hanya tidak berguna, bahkan akan membuang energi secara percuma. Sebab segala sesuatunya telah jelas, manusia tinggal melaksanakan apa yang diperintahkan olehNya. Perkara diterima atau tidak, itu menjadi urusanNya. Himbauannya kemudian, agar sebisa-bisanya jamaah mulai bersedia menafsirkan segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Mengikuti tafsir orang lain memang tidak dilarang. Namun yang terpenting adalah tidak menyerahkan sepenuhnya pemikiran itu kepada orang lain, sambil sedemikian rupa berusaha melakukan tafsir sendiri sesuai dengan kadar kemampuannya masing-masing.

“Sudah saya konfirmasikan ke Cak Nun, bahwa tafsir adalah hak dan kewajiban setiap manusia. Cak Fuad juga sudah menjelaskan tentang ijtihad, bahwa ada wilayah-wilayah tertentu yang bisa ditafsirkan. Istilah saya cuman dua, produksi dan reproduksi. Bahwa segala hal yang terjadi tak bisa dilepaskan dari dua hal tersebut.  Reproduksi belum tentu jelek. Tapi yang menjadi persoalan adalah, hampir mayoritas produk kita adalah reproduksi. Kita sesunggunya sedang mengulang secara terus menerus tentang sesuatu hal tanpa memiliki kemampuan (atau kemauan) membuat sendiri dalam perilaku kehidupan . ”

“Maka tantangan Jamaah Maiyah adalah bagaimana mencoba dengan kemampuan dan pengalaman masing-masing untuk melakukan tafsir, tentu saja dengan kesungguhan dan ketelitian secara mendalam, seperti yang telah dijelaskan oleh Cak Fuad.”

Tentang  tafsir seperti yang diungkapkan,  Mas Totok menyitir sebuah pelajaran  jawa tentang perilaku manusia. Menurutnya, dalam sitilah jawa dikenal ada istilah Karyo Di Wiryo, ialah berfikir apapun saja terhadap keadaan yang sedang terjadi. Itu adalah tahap awal yang harus dilakukan sebelum masuk pada tahap kedua, Karyo Menawi,  yaitu situasi dimana manusia mempertanyakan sesuatu yang belum dipahami. Tahapan  yang ketiga adalah Karyo Leksono, ialah pelaksanaan dari sesuatu yang dipikirkan dan telah dipertanyakan sebelumnya.

Hal tersebut diungkapkan, karena setiap perilaku manusia sesungguhnya dituntun dan dipengaruhi oleh tafsirnya masing-masing. Permasalahannya kemudian, mutu tafsir seseorang itu berbeda antara satu dengan yang lain tergantung pribadinya masing-masing. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah tafsir itu hasil reproduksi, ataukah betul-betul berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari. Sebab menurut Mas Totok, menjadi konsumen itu tidak hanya berkaitan soal makanan pengisi perut. Bahkan, terhadap isi pikiran pun tak jarang manusia memosisikan dirinya sebagai konsumen yang melahap begitu saja hasil pikiran orang lain.

Contoh lebih lanjut dikemukakan Mas Totok terkait stigma seperti disinggung Cak Nun di awal. Bahwa stigma, stempel, cap memiliki sejarahnya sendiri, berawal dari kaum psikologi di Perancis pada beberapa abad yang lampau. Stigma itu berasal dari perlakuan terhadap orang tidak waras, mulai dari diasingkan ke pulau terpencil yang berumur 200 tahun, dipasung berlangsung hingga 100 tahun, dan pada kurun terakhir dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Yang berbeda dari semua hal itu adalah perlakuannya, sementara orangnya tetap sama, yakni orang gila. "Demikianlah stigma." jelas Mas Totok.

Pada perkembangannya, stigma itu justru diambil alih oleh ilmu-ilmu sosial dan beberapa wilayah kehidupan yang lain, “Zaman biyen, sing jenenge kramas kuwi yo adus nang kali nggawe sampo cap tangan, karo ngumbah sarung. Saiki kramas yen durung nggawe shampoo, rumongso durung kramas, Itu semua adalah ayat dari agama baru yang disebut pasar. Kita pun mengamini stigma yang didengungkan. Maka pasar kemudian menciptakan produk bermacam-macam demi kepentingan mereka. Kanggo rambut onok dewe,  kelek ono dewe, selangkangan ono dewe, dan lain sebagainya.”

Hal-hal menyangkut stigma itu adalah bentuk reproduksi yang berlangsung sudah sangat lama. Maka sekali lagi, kebangkitan orang maiyah adalah keberaniannya untuk melakukan tafsir sedemikian rupa. Sangat naif jika orang maiyah ternyata meletakkan dirinya sebagai mesin foto kopi demi mereproduksi sesuatu hal yang sejatinya tidak layak untuk ditiru dan diterus-teruskan.

Merefleksikan hal tersebut, Cak Nun kemudian melakukan kilas balik terhadap lagu yang telah didengungkan di awal. Bahwa setiap bangsa memiliki cara tersendiri dalam mengenal huruf maupun nama-nama hari sebagai satuan waktu. Yang ingin diungkapkan Cak Nun, meskipun orang jawa memiliki satuan hari yang lebih dikenal dengan pasaran, orang jawa mutakhir justru lebih mengenal mingguan sebagaimana hari dalam kalender masehi. "Dadi kowe wis ora neruske jowomu." demikian tutur Cak Nun.

Lebih jauh Cak Nun mengungkapkan, bahwa dalam islam, dikenal ada Kalender Hijriyah yang prinsip dasarnya adalah peristiwa hijrah, sebagai tonggak ajaran islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Hal itu berbeda dengan kalender Masehi yang peletakan batu pertamanya adalah berdasarkan kelahiran Isa Al Masih. Hal tersebut bukan hanya berbeda, tapi memiliki prinsip dasar yang tidak sama antara satu dengan yang lain. Jika kalender hijriyah lebih mengutamakan nilai, kalender masehi lebih mementingkan figur. Namun kenyataannya, yang lebih populer di masyarakat adalah kalender masehi sehingga perayaannya begitu hingar bingar dari tahun ke tahun. "Mengapa hal itu terjadi?" tanya Cak Nun kemudian,"Karena kita memang senang mem-foto copi seperti yang diungkapkan Mas Totok tadi."

Dalam soal-soal lain, peristiwa "meniru" itu pun tak kalah dahsyatnya Misalnya soal negara, kita meniru kepada barat. Membuat KUHP hanya copi paste dari Belanda. Pun pula urusan demokrasi hanya sebagai tangan panjang dari Amerika Serikat. Hanya satu yang tidak meniru menurut Cak Nun, yaitu urusan setir mobil.

"Kalau jajahan Belanda, kudune setir kiri. Sebagaimana Malaysia yang jajahan Inggris adalah setir kiri. Tapi kita ternyata setir kanan. Itu menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia sesungguhnya tak bisa di remehkan. Meskipun niru, ternyata ada unsur ngeyel dan onok berontak-berontakeKetoke Hindu, tibake Budha. Ketoke Budha tibake Islam, koyoke Islam ternyata kebatinan. Ketoke kebatinan, ternyata yo lungo kaji, dan lain sebagainya. Jadi, wong Indonesia itu memang sulit di tebak."

Begitulah, Cak Nun kemudian menuturkan banyak hal terkait fenomena manusia Indonesia dengan segala keunggulan dan keunikannya. Terhadap hal tersebut, Cak Nun lantas menggaris-bawahi bahwa ia tak akan melakukan sesuatu apapun yang melanggar hukum di Indonesia. Ia sekedar mengingatkan, agar para jamaah tahu dan mengerti kapan harus ikut perintah Tuhan, kapan berkreatifitas melakukan sesuatu secara mandiri tanpa menunggu perintah Tuhan seperti tercantum dalam nash-nash Al Qur'an(*)