assalamu'alaikum

Assalamu'alaikum

Semua yang ada disini adalah hasil Reportase dari dulur dulur Jamaah Maiyah yang ada di manapun Baik dari Kenduri Cinta(KC) Obor Ilahi(OI) BangBang wetan (BBW) Mocopat syafaat (MS) gambang Syafaat (GS) dan maiyah maiyah lain yng sulit sayaa sebutkan,
Blog ini juga memuat syair ataupun puisi Terutama Milik Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).
Blog ini Juga menampung saran dan kritik juga tidak berkeberatan apabila ada saudara atau pengunjung atau teman bahkan musuh sekalipun yang ingin menuangkan ide dan tulisan tulisanya...

29/10/12

Hinalah Daku Kau Kusayang

Hinalah Daku, Kau Kusayang

Ciptaan Allah paling awal, Nur Muhammad (cahaya yang terpuji), yang kemudian membuat Allah berminat menciptakan jagat raya, salah satu episode tugasnya adalah berlaku menjadi Muhammad bin Abdullah. Di Mekah, selama 63 tahun, berpangkat Nabi dan menjabat sebagai Rasul terakhir; salah satu “profesi” utamanya adalah dihina.

Tak ada perdebatan kenapa hanya 63 tahun, sementara pendahulunya, misalnya Adam atau Nuh, ditugasi menjadi pelakon utama antara 900 sd 1300 tahun. Mungkin Allah ambil keputusan begini: Muhammad sebentar aja, tetapi saya bawain buku panduan lengkap, Al-Qur’an, tinggal disampaikan, terserah manusia memakainya atau tidak.

Para pendahulu dikasih ratusan tahun tapi ternyata tidak cukup untuk meneliti dan menemukan jatidiri. Maka yang terakhir ini 63 tahun saja, dengan “buku manual” yang terjaga kemurniannya secara absolut. “Inna nazzalnadz-dzikro wa inna lahu lahafidhun”, Allah kasih buku bimbingan, dan Ia berjanji menjaganya.
63 tahun dengan pencapaian sejarah yang membuat Michael Hart meletakkannya sebagai tokoh nomer satu yang paling berpengaruh dalam sejarah ini, terlalu revolusioner dan ekstra-fenomenal — sehingga sangat potensial untuk melahirkan rasa cemburu dan kedengkian di seluruh muka bumi. Mungkin karena itu “software” manusia Muhammad juga disiapkan oleh Allah untuk memiliki ekstra-resistensi terhadap berbagai jenis pelecehan yang amat merendahkannya.

Sejak Muhammad mensosialisasikan “tauhid” di komunitas sekitar Ka’bah Mekah, siang malam ia diejek, dihalangi, dirancang untuk dibunuh, atau dilempari batu seperti ketika ia berimigrasi ke Ethiopia.
Tak hanya teologinya yang ditolak dan dianggap anarkis. “Hak paten” Muhammad atas sumber air Zamzam karena ia adalah cucu penemunya, yakni Mbah Abdul Muthalib: merupakan ancaman terhadap dominasi konglomerat Abu Jahal atas perekonomian Mekah. Selama ini kita terlalu berpikir polos, menyangka bahwa yang diberangus hanya “tauhid”, bahwa yang dihancurkan adalah Islam –- padahal faktor air zamzam, juga tambang minyak, sebenarnya mungkin lebih primer.
Melihat wataknya, soal Agama tak penting-penting amat bagi Abu Jahal. Tapi para anak buahnya terperdaya; mereka pikir “Muhammad” dan “Islam” nya yang menjadi sasaran utama. Sehingga fokus mereka adalah memukuli Muhammad, membuat karikatur untuk memperolok-olokkannya, membikin film yang memperhinakannya, bikin macam-macam games di internet untuk menyebarkan virus kebencian kepada Muhammad.

Beberapa tahun yang lalu di banyak forum Maiyah di berbagai daerah, saya pasang layar untuk menunjukkan gambar-gambar dan video penghinaan itu. Dan saya bertanya kepada semua yang hadir; “Kira-kira kalau Rasulullah melihat tayangan-tayangan penghinaan ini, akan naik pitam atau tersenyum?”
100% hadirin di semua tempat menjawab: “Tersenyum”.
“Apa yang kira-kira diucapkan oleh beliau?”
Jamaah menjawab: “Berdoa, ya Allah ampunilah mereka, karena mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan”.
“Lha kita”, tanya saya lebih lanjut, “akan ikut tersenyum dan berdoa seperti itu ataukah mengamuk, demo, membikin tayangan penghinaan balasan, atau gimana?”
Mengamukpun bisa dipahami, tersenyum juga oke. Demo juga wajar, diam dalam kesabaran juga tidak aneh. Yang mungkin perlu disepakati adalah jangan melakukan apapun yang memang dikehendaki oleh mereka yang memasang ranjau melalui penghinaan itu. Jangan menjelma minyak, karena yang mendatangimu adalah api.

Para penghina Nabi Muhammad itu berjasa besar kepada Ummat Islam, karena repot-repot menciptakan momentum, konteks dan nuansa kekhusyukan agar kita semua lebih rajin menyatakan cinta dan kesetiaan kita kepada Allah dan Muhammad.
Bentuk pernyataan cinta itu bisa batiniah saja, bisa dengan pekikan-pekikan dalam demo, bisa counter-informasi, atau apapun. Yang penting tidak perlu “GR” seolah-olah Muhammad butuh pembelaan kita karena beliau kita anggap lemah dan kita yang kuat. Jadi, pembelaan kita atas Muhammad sasaran utamanya adalah integritas kita sendiri di hadapan beliau dan Allah. Apalagi semarah-marah kita terhadap penghinaan itu, masih jauh lebih murka Allah, sebab cinta kita kepada Muhammad tidak ada sebutir debu dibanding cinta Allah kepada kekasih-Nya itu.
Kaum Muslimin juga diam-diam berterima kasih kepada para penghina Muhammad karena kekejaman mereka adalah peluang sangat indah untuk memaafkan mereka, sehingga derajat kita meningkat di mata Allah. Penghinaan adalah rejeki kemuliaan bagi yang dihina. Ayo, hinalah daku, kau kusayang.
Tahun 2008 bersama musik Kiai Kanjeng saya pentas di distrik dekat rumah Geerd Wilders, Belanda, orang penting dalam kasus film penghinaan atas Islam yang membuat Theo van Gogh dibunuh oleh pemuda Muslim keturunan Maroko. Sebelum atau sesudah pentas kami berniat bertamu ke rumah beliau, tapi tak jadi karena beliau pergi tak jelas ke mana. Kami menyesal karena gagal menyampaikan ucapan terimakasih atas penghinaannya, demi mengurangi dosa-dosa kami.


Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 51 XVIII 25 –

Reportase "haruskah Syi'ah ditolak?"

Reportase Dialog Publik "Haruskah Syi'ah ditolak" di IAIN Sunan Ampel. Senin, 22 Oct 2012

Ditulis oleh : Red /  BM JATIM 




Dialog Publik bertema “Haruskah Syi’ah Ditolak?” diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel Surabaya dan PMII Komisariat Ushuludin Surabaya pada tanggal 22 Oktober 2012. Acaranya yang sedianya akan bertempat di Aula IAIN Sunan Ampel karena larangan Rektorat, maka kemudian tempat bergeser di Ruang Auditorium Fakultas Ushuludin. Salah seorang Panitia yang tidak mau disebut namanya mengatakan bahwa POLDA melarang keras Acara Dialog tersebut, Panitia juga beberapa kali menerima telpon dari Oknum yang menyebut dirinya POLDA jatim untuk tidak melanjutkan penyelenggaraan acara. Namun Panitia tetap nekat untuk menyelenggarakan acara dengan alasan ini hanyalah diskusi ilmiah yang diselenggarakan di dalam Kampus yang tidak harus ijin kepada Pihak Kepolisian. Bergesernya Tempat penyelenggaraan menyebabkan Panitia Kalang kabut dalam menata properti dan perlengkapan diskusi. Ruangan yang sempit dan kurangnya Sarana Audio serta Ventilasi yang kurang menyebabkan suasana diskusi kurang begitu ideal. Namun suasana diskusi tetap berlangsung meriah dengan segala kekurangan tersebut.

            
Menurut Publikasi Panitia Acara tersebut akan menghadirkan 7 (Tujuh) Narasumber. Tetapi beberapa berhalangan hadir dengan berbagai alasan. Hingga hanya 3 Narasumber yang kemudian hadir sebagai pemakalah; Emha Ainun Nadjib (Budayawan) yang biasa dipanggil Cak Nun, Drs. K.Ng. Agus Sunyoto, M.Pd (Sejarawan NU/Dosen Universitas Brawijaya Malang), dan Prof. DR. Syamsul Arifin (Tokoh Muhammadiyah /Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang).

Pada sesi pertama Cak Nun sebagai pemakalah menekankan untuk membuka cakrawala pemikiran dalam mengukur segala hal. Cak Nun juga berpesan agar tidak salah dalam meletakkan perbedaan.  Apakah perbedaan prinsip atau sekedar khilafiyah. Mengingat kenyataan sekarang, maraknya penganiayaan, tindakan anarkis, bahkan pembunuhan dikarenakan kurang tepat dalam menakar sebuah perbedaan. Perbedaan khilafiyah ditakar sebagai perbedaan akidah. Bahkan produknya difatwakan. Sungguh hal semacam itu sangat mengingkari semangat penghargaan terhadap kehidupan manusia seperti yang dimaksudkan dalam al-Qur’an. “Melenyapkan satu jiwa tanpa alasan yang haq sama halnya membunuh seluruh manusia” cetusnya.

Cak Nun mengurai Khilafiyah dan Ikhtilafiyah dengan memberi contoh-contoh ringan tentang budaya yang terjadi di Masyarakat Muhammadiyah dan NU. Dengan Nada bercanda Cak Nun menyebut warga NU sebagai orang yang boros, "Wong NU ben dino Sholawatan, masio ngerti nek dongane gak mandi sik tetep Sholawatan. Sampek-sampek arek-arek sing penggaweane angon wedus, teplek, jagong nang warung apal karo sholawatan. Nek wong Muhamadiyah khan Efisien bar sembayang trus Ndungo dewe-dewe sampek Gedene Arek-arek Muhamadiyah akeh sing gak isok Ndungo". Pembawaan Cak Nun yang ringan dan penuh Canda membuat Semua hadirin Gembira.

Hal kedua yang ditekankan Cak Nun bahwa Forum Diskusi yang diselenggarakan di IAIN hari itu adalah Forum Intelektual atau   pengkajian keilmuan bukan produk hukum atau fatwa. "Ibarat orang memasak, saya hanya menunjukkan ini Dandang, kompor dan ini jagungnya untuk dimasak. Anda sebagai Ilmuwan silahkan Riset lebih mendalam tentang cara masaknya hingga bisa menjadi hidangan" ulas Cak nun kemudian.

Hal Ketiga Cak Nun menegaskan kembali bahwa yang wajib untuk menyelesaikan masalah Syi'ah dan Kejadian di Sampang adalah Pemerintah beserta Organisasi-organisasi Islam lainnya. Bukan Forum ini atau anda para Mahasiswa. Harusnya Pemerintah, NU, Muhamadiyah dan Organisasi Islam duduk bersama membuat ketetapan perundangan yang jelas tentang Hal ini.

Selanjutnya Agus Sunyoto menggarisbawahi bahwa semua bentuk kekerasan yang ada memang telah di-setting oleh konstelasi konspirasi global. Kepentingan dominasi Amerika dan Israel pasti hadir dalam setiap skenario tersebut. Menanggapi beberapa kasus yang menimpa Syi'ah. Beliau secara implicit menolak tuduhan Syi'ah sesat. Agus Sunyoto mengatakan, “Bagaimana orang Sunni bisa mencap Syi'ah sebagai aliran sesat? Sedangkan Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Hanafi dan Imam Syafii menimba ilmu dari Imam Ja’far Shodiq baik secara langsung atau tidak langsung. Imam Ja’far Shodiq adalah salah satu Imam Syi'ah ”. Tambahnya, “Kalau Syi'ah sesat bagaimana dengan ajaran keempat mazhab tersebut ?. Drama-drama seperti itu hanyalah reproduksi dari peristiwa-peristiwa sejarah dengan waktu dan lain tempat semata".

Syamsul Arifin menguatkan pernyataan Agus Sunyoto dengan menyatakan bahwa secara sosiologis “Pembantaian di Sampang” itu bertentangan dengan budaya persaudaraan 'tretan dibi’ (Suadara Sendiri) dalam masyarakat Madura, atau semacam “pela gandong-nya” masyarakat Ambon.

 

Setelah tiga sesi dari nara sumber, Moderator membawa Hadirin masuk sesi tanya-jawab. Sesi ini berlangsung cukup meriah. Nampak banyak Hadirin yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Namun Moderator membatasi kesempatan pada tiga penanya.

Penanya pertama, Mahmud S. mengungkapkan bahwa perbedaan Suni dan Syi'ah bukan sekedar perbedaan Ikhtilafiyah, tapi sudah menginjak pada wilayah Ideologi. Penanya Kedua bertanya tentang bagaimana caranya Sesama Umat Muslim bisa saling menghargai. Penanya ketiga menuntut agar forum ini tegas memberikan fatwa Menolak, menerima atau bila tengah-tengah rekomendasinya jelas harus seperti apa.

Setelah ketiga pertanyaan disampaikan Moderator mempersilahkan Cak Nun untuk menjawab pertanyaan tersebut. Cak Nun langsung merespon pertanyaan Ketiga dan pertama dengan membalikkan tuntutan tentang agar pembicaraan ini menelurkan pernyataan Syi'ah ditolak atau diterima. Menurut Cak Nun, Cak Nun juga tidak paham tentang Syi'ah itu Ikhtilafiyah atau Khilafiyah. Menurut Cak Nun bukan kapasitas forum semacam ini untuk menelurkan fatwa menolak atau menerima Syi'ah. Hal semacam ini adalah tanggung jawab pemerintah bersama ulama dan Organisasi-organisasi Masyarakat Islam. Bahkan Cak Nun meminta mahasiswa agar tegas, jangan setengah-setengah.“Bila ingin menolak, ya buatlah surat ke pemerintah agar men-sesat-kan Syi'ah, juga menuntut lembaga bahtsul masail NU atau dewan tarjih Muhammadiyah sekalian untuk itu. Bila perlu dilakukan demo. Atau Sebaliknya. Cak Nun 'ngujo'  dengan memberi tawaran Istidraj agar NU, Muhammad, atau Al-Bayyinat sekalian memfatwakan agar membunuh Syi'ah dimana pun berada kalau berani.

Menjawab pertanyaan Tentang Tolerasi, Cak Nun menandaskan bahwa sejak bayi manusia mempunyai bawaan untuk saling toleran. Dengan nada Guyon Khas Cak Nun memberikan beberapa contoh tentang Tolerannya masyarakat Indonesia. "Bila ada yang menyerang, mengintimidasi Indonesia, maka kita harus membalasnya dengan Cinta. Karena Indonesia Akan memimpin dunia" dengan kalimat Takbir dan Semangat berapi-api Cak Nun berkali-kali mengulang kata-kata "Indonesia akan memimpin Dunia".

Setelah diskusi hampir selesai seorang hadirin dari Ketua Bidang Organisasi al-Bayyinat yaitu Ahmad Bin Zein Alkaff yang sedari awal berada di barisan terdepan angkat bicara dengan Nada tinggi "Adakah kecintaan hadirin kepada Rasulullah, kepada Istri-istri Rosulullah ?" Dan menyambungnya dengan sholawat serta menyatakan bahwa golongan yang mencaci istri-istri Nabi sebagai golongan sesat. Sholawat Ahmad Bin Zein Alkaff disambut dengan pekik keras salah seorang hadirin di Belakang "Ya Husein.. Ya Husein"

Ahmad Bin Zein Alkaff yang juga pengurus Syuriah NU Jatim sekaligus Pengurus MUI Jatim kembali mengeluarkan pernyataannya "Imam Ja'far Shodiq adalah imamnya Ahli Sunnah, bukan Imam yang diklaim oleh Golongan tertentu. Sepuluh fatwa yang dikatakan oleh Perwakilan Muhammadiyah tadi, bahwa sebenarnya MUI Jatim, NU Jatim telah menyatakan bahwa organisasi tersebut adalah Sesat". Pernyataan Ahmad Bin Zein kemudian di-Interupsi oleh Syamsul Arifin, tapi dari belakang ada yang berkata dengan suara keras "Ndak Usah".

Situasi kemudian memanas, semua hadirin berdiri dengan riuhnya. Melihat situasi yang tidak kondusif, Moderator memutuskan untuk mengakhiri Dialog dan meminta Cak Nun Untuk memimpin Doa dan mengakhiri dengan Dialog dengan bersholawat bersama.

Nampak Syamsul Arifin mendekati Ahmad Bin Zein Alkaff dan berbicara empat mata. Sementara Cak Nun mengajak seluruh Hadirin bersholawat. Setelah bersholawat bersama suasana lebih sejuk. Cak Nun kemudian meminta pernyataan hadirin bahwa Forum tersebut aman untuk semuanya. "Forum ini aman, kita saling mengamankan" teriak Cak Nun yang kemudian dijawab oleh Koor Hadirin "Aman".
Kemudian Cak Nun meminta Semua Hadirin berdoa bersama "Untuk supaya Allah menjaga semua Umat Islam didalam perlindungannya Alfatehah. ya Allah yang akan berlaku Hanya Kehendakmu. Inama Amruhu Ida Arada Ayakulallahu Kun Fayakun". Seluruh hadirin pun menjawab dengan "Kunfayakun".

Dan forumpun diakhiri pkl 13.15, meski menurut jadwal yang dikeluarkan Panitia Forum akan berakhir 17.00.
  (Red BM Jatim/Agung tl, Dok Foto: Denny Lensa)

Rekaman Lengkap Diskusi bisa dilihat di Link berkut :
http://www.youtube.com/watch?v=fQhNCKVP4ss&feature=plcp
http://www.youtube.com/watch?v=02Y9IdbtuVw&feature=plcp
http://www.youtube.com/watch?v=obnFq4bMGwc&feature=plcp
http://www.youtube.com/watch?v=Iq_O1s7oflA&feature=plcp

22/10/12

Sembelihan Alloh


Sembelihan Allah

Manusia selalu dirundung problem bahasa. Bahkanpun para penyair, yang biasanya berada di dalam “istana” eksklusif yang jauh dari politik dan masyarakat umum. Dewasa ini problematika budaya-bahasa dan politik-bahasa berkembang dan membengkak sedemikian rupa, sehingga sangat menyempitkan kemungkinan kekayaan komunikasi.
Dulu penyair kontemplatif Goenawan Muhamad kasih dalil: “Musuh utama penyair adalah salah cetak”. Kalau “binatang jalang” salah cetak menjadi “binatang jalan”, atau “represi” menjadi “ekspresi”, maka habislah semuanya. Tak hanya penyair, semua penulispun mengalami tantangan yang sama. Para pelukispun bulan-bulan ini harus hati-hati: sementara singkirkan dulu cat hijau, kuning dan merah.
Saya bukan benar-benar seorang penyair, tapi sering disuruh bikin kalimat-kalimat yang nanti orang menganggapnya puisi. Dan akhir-akhir ini rasa takut saya membengkak setiap kali hendak memutuskan menggunakan suatu kosa kata atau susunan kalimat. Ketakutan saya itu karena pada dasarnya saya sangat menghormati ajaran para leluhur bahwa dalam hidup ini kita harus lebih banyak mendengarkan orang dibanding mengomongi orang.
Bahkan Allah sendiri sangat lebih menekankan fungsi sami’ (mendengar) dibanding bashir(melihat). Jadi orang omong apa saja selalu saya anggap penting, karena mereka sudah besar, sudah dewasa, sudah sangat mampu berpikir dan memutuskan segala sesuatu yang hendak diungkapkan. Kalau saya acuhkan dan abaikan, itu kekeliruan sosial.
Suatu saat saya bikin kalimat: “Muhammadkan hamba ya Allah….” Seseorang menuduh saya soksuci. Manusia biasa yang banyak dosa kok pengin jadi Nabi. Padahal yang dimaksud “muhammadkan hamba” adalah upaya dan doa mohon perkenan Allah agar membantu kita memakai wacana kepribadian Muhammad untuk bisa kita terapkan dalam diri kita.
Allah sendiri bahkan kabarnya menciptakan manusia dengan formula seperti “miniatur” Dia sendiri. Itu berarti merupakan anjuran agar kelengkapan dan komprehensi-dialektis asma Allah kita jadikan acuan. Jadi, kita membina perilaku ini berdasarkan cakrawala karakter Allah sendiri. Ia rahman rahim, penuh kasih sayang. Tapi Ia juga bikin neraka, Ia juga qabidl (penahan rejeki), Ia juga syadid (penyiksa), Ia juga mutakabbir (pentakabur) — namun semua watak yang dalam pandangan kita seolah negatif itu selalu berfungsi positif karena diterapkan pada tempat dan konteksnya yang tepat.
Mentang-mentang kita menganut ajaran kasih sayang rahman rahim maka lantas kita menolak bikin rumah penjara, mengampuni koruptor, membatalkan pasal-pasal hukum mengenai perampokan, penindasan atau kekejaman. Lembaga Pemasyarakatan itu bukan institusi kekejaman. Nerakanya Allah adalah wujud dialektis dari kasih sayangNya juga. Cara menyayangi anak yang bersalah adalah dengan menghukumnya.
Tapi hal-hal semacam itu tidak selalu gampang dijelaskan kepada manusia. Sehingga tatkala untuk Idul Adha saya mau bikin kalimat “Ismailkan hamba ya Rabbi….” — saya begitu kawatir orang akan salah paham. Padahal maksud saya adalah kalau saya disembelih dalam pengalaman sejarah, saya mohon kepada Allah agar kambing yang tersembelih.
Gelar Nabi Ismail AS adalah dzabihullah. Sembelihan Allah. Saya ingin sekali menggunakannya untuk judul suatu tulisan, namun dengan perasaan was-was. Apakah Allah tukang sembelih? Apakah Allah itu Maha Jagal, sebagaimana dalam konteks lain saya juga takut mengumumkan idiom wallohu khoirul makirin, Allah itu Maha Pemakar?
Mungkin sudah ratusan kali kita mengkomunikasikan bahwa untuk urusan tertentu peradaban kita ini pra-Ibrahim. Kalau Ibrahim AS. hidup sekarang dan pada suatu pagi menyembelih anaknya, para tetangga segera akan melaporkannya ke Polsek, atau mungkin langsung memukulinya sampai meninggal. Di zaman ini kita tidak memiliki perangkat ilmu pengetahuan dan tingkat legalitas hukum yang sanggup mengakomodasikan fenomena (vertikal) Ibrahim dan Ismail.
Jangankan fenomena penyembelihan. Sedangkan kita suatu hari nongkrong di dekat kandang kambing saja orang lantas menyimpulkan kita adalah kambing. Saya berpapasan dengan angin pada suatu siang dan omong-omong sejenak, orang di sekitar saya langsung menyangka saya masuk angin. Orang sekarang gila label.
Kalau saya jum’atan, saya memutuskan untuk berjamaah hanya dengan kaum gelandangan. Kalauberjum’atan dengan pedagang kaki lima, saya kawatir ada yang modalnya dari Pak Carik sehingga nanti saya ikut dituduh direkrut oleh Pak Carik. Kalau ada satpam dalam jamaah di mana saya ikut, nanti saya dituduh orangnya pejabat ini atau pengusaha itu di mana satpam itu bekerja. Susahnya yang nuduh saya itu bukannya para gelandangan, melainkan orang yang memang benar-benar bekerja di kekuasaan dan konglomerasi.
Bahkan terakhir saya mendengar label baru bahwa saya adalah intel karena suka bergaul dengan gelandangan, yang sebagian dari mereka adalah memang intel yang menyamar jadi gelandangan.
Demikianlah saya senantiasa bersetia mendengarkan orang lain. Dan itulah sumber pengetahuan hidup saya. Tapi susahnya, orang sering tak bisa diduga apa maunya. Pernyataan orang juga tidak selalu mencerminkan sikap dan kemauannya. Kalau seseorang bilang “Nun, kamu sekarang bukan temanku lagi”, lantas saya percaya, saya terapkan, sehingga ketika bertemu di jalan saya tidak berani menegur dan tatkala dia membutuhkan pertolongan saya tidak menolong — ternyata reaksinya begini: “Kamu memang sombong! Kamu tidak berperikemanusiaan, tidak peka terhadap kebutuhan orang lain”.
Bahkan ketika saya butuh pertolongan namun tidak merasa berhak minta tolong kepadanya, ia berkomentar: “Dia memang sok kuat. Egosentris. Tidak merasa bahwa orang hidup itu saling membutuhkan. Disangkanya saya sedemikian lemahnya sehingga tidak bisa menolong dia!”
Saya melihat itu semua adalah peristiwa cinta. Kalau kita tidak menimba, orang yang kita cintai dan mencintai kita marah: “Kok nggak mau nimba sih?”. Kalau kemudian kita menimba, ia tuding: “Terpaksa ya nimbanya!”. Lantas kita hentikan menimba, ia bersungut-sungut: “Memang aslinya tidak mau menimba!”.
Cinta itu terkadang over-sensitif. Kalau yang terlibat dalam percintaan adalah orang besar, lebih susah lagi. Kalau bersikap biasa-biasa saja, ia naik pitam: “Nggak tahu siapa saya ya! Belajar menghormati dikit kek!” Kalau kemudian kita membungkuk menghormatinya, ia tuduh: “Nyindir ya! Saya tidak mau kau menghina dengan pura-pura menghormatiku!”. Kemudian kita kembali bersikap biasa, dan ia serbu kita: “Dasar tak tahu diri!”
Lama-lama saya “curiga”, kayaknya doa saya dikabulkan oleh Allah. Mudah-mudahan saya adalah the tiny Ismail yang sedang disembelih.

Syiah Dan Sunni Itu Seperti Pecel dan Rawon

Emha: Syiah dan Sunni Ibarat Pecel dan Rawon


TEMPO.CO, Surabaya - Budayawan Emha Ainun Nadjib menilai penolakan terhadap aliran Syiah di Indonesia semata karena masyarakat belum memahami perbedaan di antara keduanya. Emha kemudian mengambil contoh sederhana.

"Perbedaan Syiah dan Sunni itu sama juga dengan perbedaan antara pecel dan rawon," kata Emha ketika menjadi pembicara dialog publik "Haruskah Syiah Ditolak?" yang digelar Senat Mahasiswa dan Rayon PMII Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, Senin, 22 Oktober 2012.




Dengan pengandaian sederhana itu, Emha balik bertanya, apakah pecinta pecel harus mensesatkan pecinta rawon atau sebaliknya? Menurut dia, perbedaan ini sama halnya ketika Nabi selalu menggunakan pakaian yang tidak menutup mata kaki, kemudian mereka yang tidak menutup mata kaki harus dikafirkan.

Pada prinsipnya, kata Emha, masyarakat semestinya memahami terlebih dahulu perbedaan antara yang khilafiah dan iktilafiah. Khilafiah adalah perbedaan mendasar, misalnya, paham melarang salat, sedangkan iktilafiah merupakan perbedaan di tingkat yang lebih kecil, seperti Nahdlatul Ulama mengharuskan wirid seusai salat dibaca bersamaan antara imam dan makmum, sedangkanMuhammadiyah mengharuskan wirid dibaca sendiri-sendiri.

"Kalau perbedaanya di tingkat iktilafiah harusnya tidak usah diperpanjang," kata Emha. Kalau pun perbedaan antara Syiah dan Sunni ada di tingkat iktilafiah, Emha menilai wajar jika terjadi gejolak. "Tapi harus dibatasi. Jangan lama-lama dan harus segera berdialog," ujarnya. Menurut Emha, munculnya Syiah di muka bumi disebabkan adanya pertentangan siapa pengganti Nabi Muhammad untuk menjadi khalifah.

Pengarang buku Atlas Wali Songo yang juga Wakil Ketua Lembaga Kajian Sosial dan Budaya NU, Agus Sunyoto, mengatakan masyarakat Indonesia pada dasarnya sangat toleran. "Buktinya ada empat menteri agama di masa Majapahit," ujar Agus.

Sunni, kata Agus, juga memiliki akar historis yang tidak bisa dipisahkan dengan Syiah. Dia mencontohkan Imam Malik dan Abu Hanifah, yang merupakan imam orang Sunni, berguru kepada Jakfar Shodiq yang merupakan imam orang Syiah. "Ada rangkaian keilmuan yang turun-temurun," kata dia.

FATKHURROHMAN TAUFIQ


http://m.tempo.co/read/news/2012/10/22/058437108

20/10/12

REPORTASE SARASEHAN KPK


Reportase Sarasehan KPK

Kamis, 10 Oktober 2012 KPK mengadakan acara sarasehan khusus untuk internal pegawai KPK. Emha Ainun Nadjib (akrab disapa Cak Nun) dan Muhammad Sobary hadir sebagai pemberi tausyiah. Acara berlangsung dari pukul sepuluh hingga ba’da Dzuhur.
Acara diawali pembukaan oleh bapak Johan Budi, selaku Humas KPK. Johan Budi menyampaikan bahwa situasi yang terjadi saat ini yang menimpa KPK jangan sampai melemahkan semangat untuk terus bekerja dengan baik. KPK diharapkan tetap bekerja keras dan solid, karena kesolidan adalah benteng yang paling kuat untuk membentengi serangan-serangan dari luar seperti yang terjadi pada saat ini.
Kang Sobary, sebagai pembicara pertama, menyampaikan materinya melalui beberapa slide. Menurutnya, KPK adalah representasi dari aspirasi civil society. “Rakyat marah kepada penegak hukum yang sudah dilimpahi dan diberi kewenangan oleh rakyat, tetapi mereka tidak menegakkan. Terpaksa, rakyat sebagai pemberi mandat membentuk sendiri lembaga penegak hukum. Itu lah KPK. KPK adalah wujud dari kedaulatan rakyat, harus berisi orang-orang yang berdaulat, mandiri.”
“KPK hadir di zaman edan. Zaman di mana eksistensi manusia sangat tergantung pada materi, “pemilikan” menjadi hasrat utama. Hidup merupakan pertarungan antara dua modus: “memiliki” dan “menjadi”. Dan hingga hari ini, pertarungan modus itu terus berlangsung.”
“Zaman edan di era Ronggo Warsito menggambarkan manusia itu lemah, cengeng. Jiwanya lemah. Identitas dirinya bukan watak, sikap dan perilaku yang merujuk nilai-nilai, tetapi rasa cemas, takut: takut lapar, miskin, takut tak punya. karena merasa lemah, untuk menopang jiwanya agar kuat yaitu dengan cara memiliki. Hasrat memiliki menjadi berlebih-lebihan, serakah.”
“KPK, sebagai penegak hukum yang berdaulat, harus diisi oleh orang-orang yang berwatah teguh, tegas, konsisten, istiqomah.”
Cak Nun, selaku pembicara selanjutnya, menyampaikan bahwa materi yang akan dia hadirkan saat ini adalah berdasarkan briefing khusus dari pak Busro Muqodas.
“Pekerjaan yang paling sulit di dunia ini adalah disuruh mengejar maling, kerjasamanya dengan perampok. Orang yang mau mengerjakan pekerjaan ini adalah orang yang pemberani dan bermental baja, atau orang yang tidak tahu-tahu amat (sedikit tahu) bahwa temannya adalah perampok.”
Cak Nun menyampaikan bahwa penduduk Indonesia saat ini umur rata-ratanya berada di umur 27,5 tahun. Titik tengah dari umur bayi dan yang tertua. Artinya, negara ini ditentukan oleh anak-anak muda di umur ini. “Jadi kalau anda semua yang berada di umur ini gagal, sejak sekarang saya akan siap-siap bahwa negara ini tidak akan terselamatkan. maka saya sangat optimis karena KPK di isi oleh pegawai-pegawai di umur ini.”
Selanjutnya, Cak Nun menyampaikan tentang makna mendalam dari lafadz Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatu. Menurutnya, ucapan ini justru lebih wajib diucapkan kepada umat selain islam. Assalamualaikum adalah janji, suatu tawaran sosial yang mengukuhkan bahwa segala sesuatu omongan, prilaku, keputusan (undang-undang, peraturan, kebijakan) kita membawa kepada keselamatan. Tingkat kesolehan umat muslim. “Semakin soleh seseorang, semakin rendah mudaratnya. Semakin tinggi mudaratnya semakin rendah kesolehannya. kesolehan itu sesuatu yang diregulasi sedemikian rupa sehingga tingkat kemudaratannya kecil. Justru orang islam kepada orang yang bukan islam, menurut ajaran nabi, harus menjamin bahwa keberadaannya di suatu lingkungan harus menjamin keselamatan dan keamanan orang lain di sekitarnya. keselamatan atas: 1) Harta, 2) Martabat, dan 3) Nyawa.”
“Asalamualaikum itu janji, maka mengucapkannya tidak wajib, dan ketika diucapkan, maka wajib menunaikan janji memberi keselamatan. Saya sarankan mulai sekarang tidak usah mengucapkan assalamualaikum, dari pada setiap harinya ingkar janji. Mending jadi orang kafir, ngga usah mengabdi sama tuhan, jadi dosanya ngga banyak. Dari pada tiap hari janjinya tidak dijalankan, dosanya berlipat-lipat. Sholat tiap hari, tapi ingkar janji terus. Kalau sudah ditangkap KPK, perginya pake peci, pake jilbab. Ciri munafik. Munafik itu menunda pertolongan Tuhan. Mending kafir dari pada munafik. Munafik itu double mengkhianati Tuhan.”
“Tiap tahun naik haji, tapi naik hajinya bukan untuk Tuhan, tapi untuk kepentingan status sendiri. nyerobot sampai hajar aswad dengan menyikut dan menyingkirkan semua orang, naik haji untuk kepentingan pribadi, egosentris. Tidak ingin berkenalan bersalaman dengan siapapun di antara 100 ribu orang yang bersama-sama tawaf. kamu bukanlah orang-orang yang naik haji namun adalah orang-orang bernafsu yang termasuk 2,5 juta orang dari seluruh dunia yang umroh setiap tahun di mekah. Tuhan sakit hati. Dan setiap datang waktu naik haji, Tuhan pergi dari mekkah.”
Cak Nun pun menegaskan bahwa dari pada bilang Assalamualaikum namun tetap nyolong, tetap menipu, tetap berpura-pura, dan seterusnya, lebih baik tidak usah mengucapkan assalamualaikum. Lafadz ini harus diucapkan dengan penuh kesadaran akan makna dan fungsinya. “Kalau kamu mau membangun negara indonesia yang bener, assalamualaikum saja cukup, ngga perlu Alquran. Janji satu sama lain berbuat baik, baik dalam pergaulan pribadi, komunitas, dan pergaulan kenegaraan, semua bersifat saling menyelamatkan.”
Dengan kesadaran akan janji saling menyelamatkan antar manusia, institusi, atau antar apapun dalam kehidupan manusia, maka Assalamualaikum akan mengantarkan Rahmat menjadi Barokah. Lengkapnya, Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatu. Mentransformasikan rahmat menjadi barokah. Cak Nun menjelaskan bahwa rahmat dan barokah itu berbeda. Rahmat adalah segala sesuatu yang dikasih Tuhan secara random. Sedangkan barokah adalah rahmat yang di-manage oleh manusia menjadi kesejahteraan yang tertata. Negara ada dan dibentuk agar adanya transformasi dari rahmat menjadi barokah. “Orang bikin sistem, orang bikin ideologi, bikin perusahaan, apapun saja dalam bersosial di dalam kehidupan itu untuk mentransformasikan rahmat ke barokah. Setiap undang-undang lahir bukan untuk kepentingan sepihak, melainkan untuk memberi keselamatan kepada semua. Kenapa harus ada KPK? Karena rahmat (negara) ini diambil sendiri, oleh orang yang mendapat rahmat (pemerintah/penguasa). Rahmat dikuasai oleh rombongan monyet, habislah. KPK ini lahir untuk menyelamatkan rahmat indonesia ini.”
Lalu, rahmat itu, contohnya apa? Rasa nikmat adalah rahmat. Hujan itu rahmat. Rahmat itu pemberian. “Uang curian untuk naik haji itu nikmat. Uang curian untuk melacur sama nikmatnya. Itu namanya rahmat, beda dengan barokah. Barokah itu sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang hatinya jiwanya pikirannya dan seluruh onderdil psikologisnya beserta gelombang dan ubun-ubun dan elektromagnetiknya itu sudah menjadi satu komprehensi, organisme jiwa raga sehingga kalau di dalam rahmat kita butuh duit banyak untuk nikmat, kalau di dalam barokah itu bukan banyaknya yang menentukan nikmat.”
“Ada orang yang hidupnya sehari 10-20 ribu, 100-200rb, 1juta-2juta, bahkan milyaran triliunan. Orang yang hidupnya triliunan apa bisa menikmati uang 100rb? Begitu pula sebaliknya, tukang becak tersiksa dengan uang milyaran. Untuk tukang becak, uang 10rb nikmatnya lebih tinggi dari uang miliyarannya Tomy Winata. Itu barokah. Jadi barokah itu bukan ditentukan oleh jumlah deposit, kaya atau tidak, terkenal atau tidak, tapi adanya ketepatan koordinat atau tidak terhadap kebahagiaanmu. Jadi bukan ganteng atau tidak gantengnya suami yang menentukan kebahagiaanmu. Tidak istri yang cantik atau tidak cantik yang menentukan kebahagiaanmu. Kalau rahmat, pokoknya irungnya bangir dikit, itu ayu. Nyari bojo ojo sing ayu, dikerubungi semut. Doanya Sunan Kali Jaga “Allohumma tukno Allahumma tekno”. Ya Allah saya ngga kaya tidak apa-apa, cuma kalo pas butuh mbok ya nolong. Saya kehabisan tidak apa-apa, asal pasanak saya butuh makan ono. Itu barokah. Orang cari rahmat, padahal rahmat itu bukan milik manusia.  Rahmat itu amanat di tangan manusia untuk diolah menjadi barokah. Itulah maksudAssalamuailaikum Warohmatullahiwabarokatu.”
Cak Nun menegaskan, Assalamuailaikum Warohmatullahiwabarokatu, bukan wabarokatu warohmatullahi. Jangan terbalik. Allah tidak menyusun ayatnya sembarangan. Allah menyimpan ilmu pada setiap urutan kata perkata. “Sama seperti penyebutan Bismillahirahmannirahim, bukanBismillahirahimnirahman. Karena cinta yang luas dulu baru cinta yang mendalam. Berdoa untuk bangsa dulu baru untuk keluargamu. Rahman itu mulutnya melebar (pengucapannya), rahman adalah cinta kasih yang meluas. Rahim (pengucapannya) menutup mulutnya dan mendalam, berarti garisnya meninggi. Maka rahman dulu baru rahim. Untuk rakyat dulu baru untuk dirimu sendiri. Konsentrasi Nabi Muhammad bukan dirinya, tapi umatnya. Dalam istilah Jawa,Manunggaling Kawula lan Gusti. Artinya menyatunya Kawula (people), dan Gusti (raja). Saya menafsirkan agak berbeda, Kalau dirimu itu presiden, maka di dalam dirimu itu terjadiManunggaling Kawula lan Gusti. Jadi rakyat dan Tuhanmu menyatu di dalam hatimu. Kamu tidak boleh menyakiti rakyatmu karena Tuhan akan menderita, kamu tidak boleh mengkhianati Tuhanmu karena rakyat akan menderita. Jadi Tuhan dan rakyat identik di dalam hatimu. Itu namanya Manunggaling Kawula Gusti.”
Bahasan selanjutnya yang Cak Nun angkat berdasarkan briefing pak Busyro Muqoddas tentang motivasi. Menelusuri kembali apa yang menjadi motivasi para pegawai KPK tetap nekat menjadi pegawai KPK di tengah hamburan peluru yang bersiap menyerang mereka kapan saja. “Anda memilih menjadi pegawai KPK karena anda mempunyai motivasi luar biasa terhadap hidup anda. Cuma motivasi ini harus dicari dan dikenali pelan-pelan. Pak Busyro tadi menyampaikan kepada saya, Kamu loyalnya pada siapa? Pada atasan, institusi, atau pemerintah? Menurut pak Busyro, loyalitas yang paling benar adalah loyalitas kepada kebenaran.”
“Mohon maaf yang bukan Islam, tolong ambil universalnya aja. Dalam Islam, tercantum dalam Al Quran, Ati’ullah wa ati’urrosul wa ulil amri minkum. Ada tiga pihak yang dianjurkan untuk ditaati. Tuhan, Rasulullah, dan Ulil Amri. Nah Ulil Amri ini tentantive. Bisa pemerintah, bisa ulama, pokoknya kepemimpinan dalam Islam. Tolong perhatikan, Ati’ullah, taatlah kepada Allah. Wa ati’urrosul, taatlah kepada rasul. Dan Wa ulil Amri minkum. Yang ketiga ini tanpa kata ati’ullah, cuma dan gitu tok.”
“Jadi sekarang ketika anda masuk KPK, anda taatnya pada siapa? Kebenaran? Untuk apa kebenaran ditaati? Emang siapa kebenaran? Apa dasarnya kebenaran? Saya taatnya kepada Tuhan. Kalau tidak ada Tuhan, ngapain saya berbuat baik, ngapain saya tidak mencuri? Ngapainsaya ngga ngebunuhNgga ada resikonya kan kalau ngga ada Tuhan. Kalau cuma taat kepada kebenaran, dan nilai kebenaran itu ciptaan manusia, ngapain saya taati? Segala sesuatu yang hanya di tangan manusia tidak akan saya taati, orang tua saya bahkan tidak akan saya taati. Saya taat kepada ibu saya, bapak saya, guru saya, Itu bentuk dari ketaatan dan cinta saya kepada Tuhan. Bukan taat kepada ibu “herself”, bapak “himself”. Itu adalah aplikasi ketaatan saya kepada tuhan, maka saya taat kepada guru saya, hormat kepada bapak ibu saya, rakyat saya, itu aplikasi karena ada hulunya. Hulunya adalah Tuhan.”
“Untuk apa saya bayar pajak ke negara kalau tidak berdasarkan rasa syukur saya kepada Tuhan?Wong negara tidak memenuhi kewajibannya kepada rakyat. Kalau motivasinya horisontal saja tidak akan kuat. Kalau dalam agama motivasi itu niat. Niat awal.”
Cak Nun kemudian menceritakan kisah tentang seorang nenek yang selama hidupnya dengan tekun memungut dedaunan di halaman masjid satu per-satu hanya dengan menggunakan penjepit di tangannya. Kemudian seorang kyai menegurnya: “Nek, mbok disapu saja biar cepat”. Si nenek diam saja sambil tersenyum. Jauh hari ketika nenek itu telah meninggal, akhirnya terkuak kenapa nenek itu memilih memungut dedaunan satu per-satu dari pada menyapunya. Memungut satu per-satu daun itu ternyata cara nenek untuk selalu menyebut nama Allah di setiap pungutannya. Jadi tidak ada urusannya antara cepat bersih atau tidak. Niat awalnya jelas. “Kalau dilihat dari kaca mata umum, jelas perilaku nenek ini aneh. Kenapa mengambil sampah daun pakai tangannya satu per-satu? Begitu juga kita melihat pegawai KPK itu sebagai orang aneh, ngapain mau masuk KPK? Ya tapi kan pegawai KPK punya niat seperti ibu itu. Ya kalau anda kehilangan niat itu, kehilangan keyakinan terhadap apa yang sedang menjadi motivasi anda masuk sini, harus ditelusuri”.
Menurut Cak Nun, motivasi itu ada dua, motivasi materi dan movitasi nilai/ruh. Tentang motivasi ini, kemudian beliau menceritakan pengalamannya bersama 27 orang rombongan KiaiKanjeng ketika keliling Mesir dan naik ke gunung Jabal Musa. Gunung Jabal Musa terdiri dari tiga gunung yang jalanannya curam dan memerlukan waktu 6 jam untuk sampai puncak. Di antara rombongan yang banyak itu, beberapa menyelesaikan sampai puncak gunung dengan cepat, beberapa sangat lambat, dan beberapa berhenti di tengah jalan. Semuanya tergantung motivasi masing-masing yang tidak sama satu dengan lainnya. Hampir mustahil sebenarnya untuk bisa sampai atas melihat kondisi fisik rombongan yang sudah tidak muda lagi. Cak Nun sendiri termasuk yang terakhir sampai puncak, itu dikarenakan motivasinya tidak besar, cuma mengandalkan rasa malu kalau ngga ikutan naik. Bobiet sang keyboardist Kiai Kanjeng yang tercatat sebagai nomor satu yang sampai di puncak. Kemudian di urutan ke-2 Novia Kolopaking. Modalnya motivasi ingin menikmati view dari atas gunung. Mengabadikannya lewat kamera yang dibawanya. Menikmati dengan caranya sendiri. Di urutan ke-3 ada Pakde Nuri (almarhum, red), sesepuh di antara rombongan, dengan modal motivasi ingin menunjukkan kepada yang lebih muda tentang semangat yang masih membara di usia senja. Tercatat ustadz Wijayanto. Satu dari rombongan yang menyerah di gunung kedua, itu pun dari awal perjalanan menggunakan jasa Onta. Dia minim motivasi sehingga mudah saja menyerah sebelum berusaha. “Orang yang tidak terlatih di gunung pertama dan kedua, tidak akan kuat naik ke gunung ketiga. Jadi kalau anda (pegawai KPK) tidak lulus di dua gunung ini (di KPK), Indonesia tidak akan sembuh, tidak akan bangkit. Cari motivasimu sendiri-sendiri untuk betah berada di KPK dan untuk meneruskan perjuangan.” Dan, sang juara satu itu, Bobiet, siapa sangka ternyata motivasi yang membawanya cepat sampai atas adalah karena hobinya mengumpulkan batu akik. Dibawanya alat pendeteksi batu, mencarinya dengan seru, sehingga mengantarkannya sampai di puncak gunung lebih cepat dari rombongan lainnya. Bukan. Motivasinya bukan sampai di puncak gunung. Dari situ, kita tahu bahwa ke-khusuk-annya setiap orang berbeda. Pencapaiannya juga berbeda. “Jangan disangka kiai atau ustadz yang paling cepat masuk surga. Tidak. Tergantung Anda mampu tidak menemukan titik koordinat yang paling compatible dengan jiwa Anda untuk menjadi motivasi menjalankan tugas Anda. Setiap orang punya motivasinya sendiri-sendiri. Sederhana kok.”
“KPK itu kan tugas utamanya menjadi pemain pengganti. Ini ada kesebelasan lho kok strikernya malah nendang bola ke belakang. Akhirnya ditambah pemain, namanya KPK, makanya termasuk salah satu lembaga Ad-Hoc dari sekian banyak lembaga Ad-Hoc. Masalahnya mungkin adalah biasanya dalam sepakbola pemain yang ngga bener itu di ganti. Yang diganti keluar yang menggantikan masuk. Nah ini tidak, yang diganti tetap di situ. Akhirnya bertengkar. KPKpinginnya nendang bola ke gawang lawan, Kapolri inginnya nendang ke belakang (gawang sendiri).”
“Dari dalam diri anda (pegawai KPK) mulai hari ini, harus ada energi besar yang bukan milik anda namun milik Dia, pokoknya mulai besok Anda harus punya kekuatan yang tidak bisa dilawan selain oleh Allah. Dan ada titik pengaman yang tidak bisa diganggu oleh siapapun, yang mesti kita cari.”
Masuk sesi tanya jawab, ada pertanyaan dari pegawai KPK tentang apa maksudnya Cak Nun dengan pernyataan berani tapi jangan terlalu berani. Apakah terlalu berani itu akan menghentikan kita kepada sensitivitas? Karena yang terjadi dengan orang-orang yang menangani kasus simulator SIM itu urat takutnya sudah putus semua. Mereka berani ambil resiko.
“Maksudnya terlalu berani yang saya maksud itu adalah ketepatan. Kan semuanya terukur. Saya peribadi itu tidak ada urusan sama berani atau takut. Ayam berkokok bukan berarti karena dia berani berkokok. Ayam tidak berkokok bukan berarti dia takut untuk berkokok. Artinya kita harus bisa membiasakan diri untuk tepat. Saya kira di KPK apapun dihitung semuanya. Sehingga titik dan koordinatnya tepat. Terlalu berani maksudnya ketika dia lebih jauh 1 centimeter dari yang seharusnya. Jadi ketepatan itu harus kita uji setiap hari. makanya Sholat itu untuk melatih ketepatan. Kalau anda Sholat tepat waktu gerakannya rutin terus, seluruh metabolisme jiwa raga anda akan terlatih dan menyatu dengan ketepatan sunahnya Tuhan. Sehingga ketika anda tidak tepat, Tuhan akan membikin jadi tepat.”
“Wiridan itu menciptakan irama sunah Tuhan dalam diri anda. Misalkan, kok berani? Ya wirid kan bertingkat-tingkat. Anda pikir ada orang sakti di dunia? Anda pikir Nabi Musa bisa membelah laut dengan tongkat? Itu dia cuma disuruh Tuhan. Ya Musa, pukulkan tongkat itu di tengah laut.Gitu tok. Terus orang menyimpulkan Nabi Musa sakti? Jare sopo? Yang sakti yang nyuruh. Kalaungga percaya coba waktu sore Musa disuruh lagi untuk begitu, ya ngga bisa. Jadi tidak ada nabi yang punya mukjijat. Mukjizat punyanya Tuhan yang dipinjamkan ke Nabi-nabi dengan waktu yang sebentar.”
“Bahkan ketika anda (KPK) dimintai tolong oleh rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi itu berarti anda sedang dipinjami mukjizat oleh Allah.”
“Anda tidak punya kemampuan untuk membelah, anda tidak punya kemampuan utnuk memberantas korupsi, tapi ketika anda melakukan perintah rakyat yang sesuai dengan perintah Allah, maka Allah yang akan membelah laut. Terjang terus itu Simulator SIM. Tapi yakelakuannya Nabi Musa yang lain juga ditiru. Artinya dia mau kehilangan jabatan di keraton, dia siap dibuang sebagai anak angkatnya Firaun, dia mau kehilangan dunia. Dia mau kehilangan segala macem untuk kebenaran yang diamanatkan ke dia. Kalau perlu berantem, ada resiko berantem. Resiko diantemi, diteror, bisa aja. Dan Nabi Musa mengambil resiko itu. Jangan dipikir KPK bekerja sendirian. Allah bekerja untuk Anda. AKU berlaku berdasarkan prasangkaan hambaku. Kalau KPK beranggapan AKU melindungi mereka, AKU akan melindungi mereka.”
“Pekerjaan KPK itu bukan pekerjaan orang normal. Tugas ekstra. Kalau orang normal ngga akan berani kerja di KPK. KPK merupakan tugas wong edanWong edan kok berfikir normal. Jangan ragu-ragu terhadap amanat Allah yang Anda yakini benar. Dan Anda di KPK ini amanat bukan hanya dari amanat rakyat tapi juga amanat Allah. Anda harus mantap, apapun yang terjadi, Allah melindungi Anda.”
Di penghujung acara, Cak Nun dengan guyon dan atraktif memberi wejangan kepada pegawai KPK tentang cara menaklukkan lawan. “Menaklukan macan ada beberapa tingkat. Pertama, pakai tenaga, skemanya berantem. Macan Anda taklukan, macan akan nurut. Kedua, pakai ilmu. Macan ditipu, diracun. Ketiga, ilmu pawang. Kalau pawang ketemu macan, macannya diam. Tidak perlu melakukan apapun macan nurut. Anda harus punya ilmu yang ketiga.

PARA KEKASIH IBLIS


Para Kekasih Iblis

Semakin banyak orang tahu bahwa dunia ini bergerak menuju “Indonesia harus terus hidup, tapi jangan sampai besar dan kuat. Negara Indonesia harus lemah, bangsa Indonesia harus kerdil”.
Maka orasi seorang tokoh tua di sebuah “rapat gelap” ini mungkin justru merupakan ungkapan cinta yang mendalam dan pembelaan kepada Indonesia:
“Kita bangsa Indonesia jangan sampai berhenti berjuang sebelum Indonesia benar-benar total kehilangan Indonesianya. UUD perlu kita amandemen terus sampai berapa kalipun sampai kelak nasionalisme dan kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis”.
“Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-peraturan baru, di lembaga kenegaraan sebelah manapun, di tingkat paling atas sampai bawah, sebaiknya dipastikan menuju proyek besar sejarah de-nasionalisasi Indonesia hingga titik paling nadir”.
“Demikian juga policy dan penanganan segala bidang: perdagangan, pertanian, perpajakan, pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara berpikir dan selera makan, hendaknya jangan memanjakan ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang dengan ketangguhannya siap ditimpa dan memikul ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin dipanggul oleh bangsa-bangsa lain”.
“Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih buruk. Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali. Kita memerlukan tempo yang lebih tinggi untuk menyelenggarakan kehancuran, kebobrokan dan kebusukan — bangsa kita amat sangat tahan derita, sanggup hidup nyaman dalam kebusukan, bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu sendiri”.
“Dialektika Penghancuran Nasional harus dipacu habis. Kokohkan setiap pemerintahan sebagai perusahaan yang memanipulasi dan mengeksploitasi rakyatnya. Proyek penjualan tanah air dengan segala kekayaannya harus dijadikan ideologi utama”.
Pasti itu bukan pernyataan politik. Bukan anjuran sejarah. Itu jeritan orang patah hati.
Kalau Negara rusak, pemerintahan penuh dusta, sistem bobrok dan prinsip nilai jungkir-balik: yang terutama menangis adalah “orang”. Adalah “manusia”. Adapun Negara, pemerintah, ssstem, nilai, tak bisa menangis, tak bisa bersedih. Juga tak menanggung apa-apa. Yang menanggung duka derita adalah manusia.
Jadi tulisan ini tak lebih hanyalah tegur sapa dengan sesama manusia, dengan derita hatinya, tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat, kalau menyapa manusia, tidak mungkin dilakukan tanpa menyapa juga pihak yang bikin manusia: Tuhan. Kemudian juga IBlis, “hulu” derita ummat manusia.
Iblis berkata : “Tahukan engkau, Muhammad, aku adalah asal usul dusta. Aku adalah makhluk pertama yang berdusta. Para pendusta di bumi adalah sahabatku. Dan mereka yang bersumpah kemudian mendustakan sumpah itu, mereka adalah kekasihku”.
Kurang jelaskah pemandangan wajah Indonesia sekarang ini di kalimat Iblis itu? Kurang tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia, tradisi mental banyak pejabatnya, pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya, juga manipulasi kebijakan yang sangat tidak bijak — pada pernyataan Iblis itu?
Dan, pen “citra” an, apakah gerangan ia kalau bukan dusta? Siapakah yang memamerkan wajahnya, menyorong punggungnya, menyodorkan dirinya untuk menjadi pemimpin, selain sahabat dan kekasih Iblis?
Iblis tidak berjarak dengan diri kita, dengan karakter budaya, politik dan pasar sejarah kita. Malah Tuhan yang jaraknya cenderung semakin menjauh dari kita, kecuali pas kita perlukan untuk memperoleh keuntungan atau mentopengi muka.
Akan tetapi dalam kehidupan kita Iblis bukan fakta. Ia hanya simbol. Idiom. Icon. Hanya abastraksi untuk menuding “kambing hitam”. Atau Tuhan kita perlukan untuk kapitalisasi karier, bisnis pendidikan, usaha dagang sedekah dan industri zakat, kostum religi perbankan dan bermacam-macam lagi dusta liberal penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi “dongeng”. Segera Ia akan masuk daftar dongeng sesudah Malaikat dan dan Iblis. Peta mitos. Khayalan tentang suatu pemahaman yang disepakati istilahnya: Iblis, Setan, Dajjal, sebagaimana abstraksi kata Bajingan, Bangsat, Dancuk, Anjing. Sebab pada makian “Anjing!” yang dimaksud bukan benar-benar anjing. Anjing adalah binatang yang baik, tidak pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat dan tidak ada statemen Tuhan yang menyatakan bahwa anjing masuk neraka. Bahkan dalam faham pewayangan malah Puntadewa atau Prabu Dharmakusuma yang hidupnya sangat ikhlas dan sumeleh, tidak bisa naik ke langit yang lebih tinggi sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami sebagai simbol, tidak sebagai fakta. Itupun wilayah berlakunya simbolisasi Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis diidentifikasi sebagai “idiom” untuk menyebut segala jenis keburukan dan kejahatan manusia — dan itu tidak sepenuhnya benar. Sedangkan “arupadatu” di Borobudur pun fakta, tak hanya “rupa datu” yang tampak oleh mata, yang tergolong “Ilmu Katon”: pemahaman tentang segala sesuatu yang bisa dilihat dengan mata. Iblis sendiri tidak sepenuhnya tinggal di wilayah “arupadatu”. Ia sangat faktual di “rupadatu”, sebab ia berada pada syariat utama kehidupan manusia, yakni darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
“Kamu Muhammad”, kata Iblis suatu hari, “tak akan bisa berbahagia dengan ummatmu, karena aku bisa memasuki darah mereka tanpa mereka bisa menemukanku”. Iblis melanjutkan, “aku minta kepada Allah agar menganugerahiku kemampuan untuk mengalir di dalam darah manusia, dan Allah menjawab Silahkan!”.
Sebentar. Yang menyuruh Iblis datang ke Muhammad adalah Tuhan sendiri. Yang disuruh itu lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh tidak pada tempatnya menyuruh musuh. Allah menginstruksikan agar Iblis tidak berdusta kepada Muhammad, menjawab pertanyaan dengan jujur, serta membuka semua rahasia tugasnya dari Allah di medan kehidupan manusia.
Coba ingat kata-kata Iblis “Akulah makhluk pertama yang berdusta”. Fakta dusta Iblis yang pertama adalah ia tidak mau bersujud kepada Adam. Penolakan untuk menghormati manusia ini parallel dengan pernyataan semua Malaikat kepada Tuhan: “Kenapa Engkau ciptakan manusia, yang kerjanya merusak bumi dan menumpahkan darah”. Andai di-kalimat-kan, Iblis meneruskan: “Maka aku menolak bersujud kepada Adam”.
Kemudian Allah mengizinkan Iblis yang meminta “tangguh waktu” sampai hari Kiamat, untuk kelak membuktikan bahwa setelah menjalani sekian peradaban, manusia terbukti tidak punya kelayakan untuk dihormati atau “disembah” oleh Iblis dan para Malaikat. Dan Iblis hari ini tersenyum-senyum: tak perlu nunggu sampai Kiamat, datang saja ke Indonesia tanggal berapa bulan apa saja untuk menemukan bahwa penolakan bersujud oleh Iblis itu pada hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang lebih kompatibel dengan neraka: kita atau Iblis? Ketika ada orang berbuat jahat, kita maki “Dasar Iblis!”, secara idiomatik makian itu tidak faktual. Ketika 70.000 anak-anak Iblis berdebat, lantas salah satu dari mereka memaki “Dasar manusia!”, itu bisa jadi itu malah benar dan jujur.
Kayaknya salah satu kesalahan manusia yang paling serius adalah memanipulasi Iblis. Padahal seluruh keburukan yang kita ludahkan itu bukan bikinan Iblis, melainkan produk keputusan kita sendiri.
“Aku tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk menyesatkan manusia”, kata Iblis lagi kepada Muhammad, “Aku hanya membisiki dan menggoda. Kalau aku dikasih kuasa untuk menyesatkan manusia, maka tak akan tersisa satu orangpun yang tidak menjadi pengikutmu. Sebagaimana engkau Muhammad, tak ada kemampuanmu untuk memberi hidayah kepada manusia. Engkau hanya berhak dan mampu menyampaikan, tetapi tak bisa mengubah hati manusia. Sebab kalau kau dianugerahi kesanggupan untuk memberi hidayah, tak akan ada satu orangpun yang menjadi pengikutku”.
Begitu banyak — mengacu ke Borobudur — fakta “rupadatu” pada kehidupan manusia yang mata mereka tak melihatnya. Udara yang ia hirup, suaranya sendiri, bahkan mata tidak mampu melihat mata, paling jauh ia melihat bayangannya di cermin, tapi bukan diri mata itu sendiri. Jangankan lagi dengan semakin canggihnya teknologi ultra-modern sekarang: kita bingung siaran televisi itu berasal dari “rupadatu”, diantarkan oleh “arupadatu”, ditangkap dan diekspressikan secara “rupadatu”. Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain: software di komputer, lalulalang Sms, Bbm, unduh ini unggah itu. Dulu saya menyangka telegram itu dikirim kertasnya meluncur nyantol lewat kabel-kabel sepanjang jalan. Se-nyata dan se-faktual itulah Iblis dalam kehidupan kita, bahkan di dalam diri kita, bahkan ia mengalir di dalam darah kita.
Maka sebagaimana formula “casting” Iblis, orasi tokoh tua kita di atas tepatnya dipahami tidak dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin dialektika berpikir yang zigzag, mungkin spiral, mungkin siklikal. Kalimat seniman kita “Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali”  adalah sisipan cita-cita mulia di tengah deretan pernyataan yang seolah-olah mendorong kita ke kehancuran.
Muhammad bertanya, “Siapa temanmu?”
Iblis menjawab, “Para pemakan riba”. Sangat jelas mappingnya di Indonesia.
“Siapa tamumu?”
“Para pencuri”. Sampai-sampai diperlukan KPK, yang kita doakan segera bubar, yakni sesudah Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya untuk menangani perilaku tamu-tamu Iblis.
“Siapa utusanmu?”
“Tukang-tukang sihir”. Sihir pemikiran, cara berpikir, peta manipulasi wacana berpikir, di Sekolah, Kampus, semua media wadah pemikiran.
“Siapa teman tidurmu?”
“Para pemabuk”. Mabuk idolatri, mabuk tayangan-tayangan, mabuk artis-artisan, Ustadz-ustadzan, Gus-Gusan, Kiai-Kiaian… yang terbuat dari plastik… seperti mobil-mobilan untuk kanak-kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir kita: “Gosip dan adu-domba adalah hobiku”.
Ada baiknya kita undang Iblis menjadi narasumber rembug nasional, dengan syarat: “Aku mendatangi semua manusia, yang bodoh maupun pintar, yang durjana atau yang salah, yang bisa membaca atau buta huruf. Semuanya, kecuali orang ikhlas”.
Yogya 25 September 2012Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 49 XVIII 11 Oktober – 17 Oktober 2012

EMPAT "IBLIS" REPORTASE GAMBANG SYAFAAT SEPTEMBER 2012


Empat “Iblis”

Ternyata untuk menyatakan cinta kepada hambaNya, Allah SWT itu juga lebih suka mengajak “berteater” dengan “acting” seni tingkat tinggi, yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang sudah menyatu denganNya. Misalnya saja, ketika teman-teman SMS saya untuk segera hadir di acara Gambang Safaat (GS) tanggal 25 September 2012 ini, saya sudah bertekad bulat akan mohon ijin untuk tidak hadir. Bukan apa-apa hanya karena leher saya ini “tengeng” (Jw) hingga untuk menengok sakit sekali. Rencananya pagi harinya, Rabu, saya akan pergi ke tukang pijat urat syaraf agar rasa sakit ini tidak terbawa ke tanah suci pada hari Sabtu berikutnya.
Kata orang angin malam akan menambah parah sakit leher tersebut, dan saya sangat paham bahwa acara maiyah-an itu sering “overdosis” sampai tujuh jam lamanya. Namun ketika teman-teman GS mengatakan bahwa Cak Nun, Mas Sabrang, Pak Mustofa, Kiai Tohar, Kiai Budi, bahkan rekan-rekan Bangbang Wetan seperti Cak Priyo, Haris, Rudd Blora, dst akan hadir ke acara ini, saya jadi merasa malu, masak hanya sakit leher saja jadi cengeng. Bandingkan teman-teman tersebut yang harus naik kendaraan umum dari Yogya dan Surabaya, toh tetap setia menghadiri acara maiyah-an ini.
Untuk menunjukkan bahwa saya sedang sakit, saya sengaja membaluti tubuh ini dengan balsam yang menyengat — yakni obat yang saya benci baunya sejak kecil, tujuannya agar tercium oleh Cak Nun, karena saya malu mengatakan sakitnya. Dengan cara ini saya berharap didoakan diam-diam oleh beliau. Entah beliau tanggap ing sasmita atau tidak, kenyataannya, menjelang acara naik ke panggung, mendadak rasa sakit yang sudah saya idap dua hari yang lalu itu hilang seketika! Ajaib!
Bahkan sampai pulang ke rumah meski belum sempat tidur, tapi badan ini tetap segar dan dengan semangat 45, langsung mengetik esai ini. Padahal sepanjang pagi hingga siang sebelum acara GS, saya mengajar penuh, menghadiri pelantikan Kepala BKKBN Provinsi Jawa Tengah, dan Rabu pagi ini menjadi pimpinan sidang membuat Grand Design pembangunan kependudukan Jawa Tengah atas SK Gubernur. Benar-benar Allah SWT mengajak “gojegan” (Jw) lagi dengan saya!
Kejutan lain dari Allah adalah, biasanya acara GS ini hanya saya, Pak Ilyas, Pak Anis dan Om Budi yang menggawangi, kali ini yang jadi pengantar diskusi komplit seperti yang saya tulis tersebut. Ternyata Allah SWT masih ingin bermesraan lagi dengan para jamaah, sambil untuk menunjukkan kembali rasa cinta pada hambaNya, dengan jalan mengirim sekaligus empat “utusan” sebagai penanya untuk memantik diskusi GS.
Yang menarik, pertanyaan keempatnya bernada sama, yakni kecemasan anak muda yang sedang mencari Tuhannya. Penanya pertama datang dari IAIN Walisongo. Orang akan menyangka pertanyaan ini tentu seputar syariah atau masalah Fiqh karena ia adalah mahasiswa yang setiap hari memeluk Al Qur’an. Kita pasti akan menyangka bahwa ia adalah mahasiswa fanatik. Tapi ternyata dugaan itu keliru! Justru ia adalah sosok yang sedang galau — pinjam istilah anak muda sekarang — dengan kebenaran Qur’an, bahkan ragu-ragu terhadap keberadaan Tuhan.
Serunya lagi, penanya kedua sampai keempat juga sama nada pertanyaannya, yakni meragukan keberadaan Tuhan, kuasa Tuhan, janji-janji Tuhan, termasuk tidak percaya kalau Qur’an itu kalamNya. Ibarat pertandingan tinju, para narasumber — terutama Cak Nun — menghadapi petinju kelas berat, setidaknya dari bobot pertanyaannya.
Dari sinilah Allah akhirnya jadi lebih dalam mengajak bermain teater. Cak Nun saya lirik meski kelihatan tenang, tapi saya yakin beliau akan “terpancing” untuk meladeni pertanyaan kelas berat ini dengan berapi-api — kalau tidak boleh dikatakan “emosi”. Benar, dari pertanyaan pemantik diskusi ini mengalir ulasan yang sarat dengan masalah-masalah ketuhanan atau diskusi yang bersifat filosofis-teologis. Barangkali ini sebuah bahan kuliah yang belum tentu hadir di tingkat S3 di IAIN sekalipun.
Dengan kata lain, pertemuan GS ini jadi istimewa karena terjadi diskusi panjang tentang pencarian Tuhan. Karenanya, saya mengucapkan banyak terima kasih — dan juga jamaah lainnya, karena berkat pertanyaan gila ini dialog dan diskusi menjadi menarik. Terus terang saya pun ketika masih seusia mereka, nampaknya tidak sanggup dan tidak berani menanyakan masalah itu, bahkan barangkali kecerdasan saya juga belum sejauh itu.
Karenanya saya menyebut mereka sebagai “iblis”. Bukankah iblis itu diciptakan Tuhan untuk berdialektika dengan manusia — kalau tidak boleh dikatakan menggoda — agar manusia dapat naik kelas kualitas keimanan dan keberagamaannya? Untuk itu, iblis  “rela” diberi cap makhluk jahat oleh manusia.
Nah keempat penanya tadi dalam padangan saya, juga sedang berperan sebagai “iblis”. Sederhana saja, yakni karena mereka bersedia “berkorban” untuk dicap gila, bahkan atheis, gara-gara melontarkan pertanyaan tentang keberadaan Tuhan dan kebenaran Al Qur’an tersebut. Akibatnya, berkat “pengorbanan” mereka itulah jamaah yang lainnya mendapatkan ilmu dahsyat dengan cara yang unik, yakni Allah menciptakan skenario teater Agung ini.
Bayangkan saja jika keempat penanya itu masing-masing mengajukan pertanyaan, misalnya: 1). Yang saya hormati Cak Nun, mohon ijin untuk bertanya, bagaimana pandangan panjenengan kalau wanita pakai cuttex di kukunya,  jika ia berwudlu, apakah sah wudlunya? Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya 2). Jika pada hari raya Natal, apakah umat Islam boleh mengucapkan selamat Natal? 3), Bagaimana hukumnya sholat di pesawat ruang angkasa? dan 4). Mohon maaf, kalau boleh tahu, jika Cak Nun sholat subuh pakai qunut atau tidak?
Apa jadinya acara GS jika pertanyaan seperti itu? Tentu saja, dialog menjadi tidak menarik, bahkan mungkin saja ada jamaah yang marah, misalnya ada yang berkomentar: wong wis mahasiswa kok Islame isih “play group” terus, atau bahkan ada yang ekstrem mengumpat: asu tenan, takon kok rak mutu babar blas koyo ngono, dst.
Permainan teater ini menunjukkan betapa cinta Dia kepada kita, dan Allah maha pengajar bagi mereka yang belum tahu. Dengan model teateran ini mestinya empat penanya tersebut, bahkan jamaah lainnya jadi ngeh bahwa beginilah kekuasaan Allah ditunjukkan, sekaligus sembari menjawab keraguan mereka tentang keberadaan dan kasih sayangNya.

“Reformasi” Pengajaran Agama?

Munculnya pertanyaan seperti yang saya sebut di atas boleh jadi memang karena kekritisan mereka sudah lebih baik, misalnya berkat informasi yang semakin terbuka, bisa juga karena pengaruh pihak lain, namun bisa juga karena kesalahan para pemuka agama, ustadz, kiai atau apapun namanya dalam memperkenalkan Islam. Mereka sangat malas mencontoh Rasulullah yang mengenalkan Allah dan Islam kepada umatnya dengan cara penuh kasih dan keteladanan yang konkret.
Sekarang bandingkan dengan pengajaran agama kita sejak SD hingga perguruan tinggi, maka nampak jelas betapa agama hanya diajarkan secara syariat fiqh belaka, mulai dari pelajaran tentang rukun Islam, rukun Iman, tata cara ibadah formal, sampai masalah halal-haram, dst. Bukan berarti pelajaran ini tidak perlu, namun agama jangan diajarkan monoton. Belum lagi jika yang mengajar memiliki mashab tertentu, maka makin bingunglah anak.
Harus diakui banyak para pemuka agama yang salah dalam mengajarkan agama kepada anak didiknya. Pelajaran agama (religiusitas) dan pelajaran “tentang agama”, tidak dapat dibedakannya. Pengajaran-pengajaran tentang agama hanya berhenti pada tataran ritual-formal, tanpa bisa membangkitkan kesadaran religius sang anak didik. Akibatnya sering ditemui ironi-ironi, seorang pemuka agama yang mengajarkan bahwa “kebersihan itu sebagian dari iman”, misalnya, namun dalam tataran prakteknya, lingkungan tempat ia tinggal sangat kotor, bahkan tempat ibadah umum yang ia kelola baunya pesing, sampah berserakan, dan sebagainya.
Sebagai sosok yang mengajarkan agama dengan intens. Kegagalan para pemuka agama menanamkan religiusitas (dan bukan pengajaran tentang agama), berbuah ironis. Indonesia yang mengaku bangsa yang Pancasilais, namun kenyataannya juga banyak merusak lingkungan. Korupsi, ketidakdisiplinan, ketidaktertiban dan perusakan lingkungan banyak terjadi di negeri ini. Gunnar Myrdall menyebutnya sebagai bangsa yang lembek (soft state). Fakta inilah yang menyebabkan penanya pertama ”trauma” terhadap orang Islam, dan sialnya ia samakan dengan Islam.
Ini tantangan bagi para agamawan. Mestinya pendekatan para pemuka agama dalam mengajarkan agama juga dibarengi dengan pendekatan kultural. Selama ini yang terjadi keasyikan mengajarkan ritual-ritual agama. Sejak dini anak-anak di TK, keluarga, pondok pesantren, TPQ, dst, diajarkan hal-hal yang konkret tentang kedisiplinan, ketertiban, kebersihan, keindahan, kreativitas,gotong royong, saling menghargai, dst, baru kemudian diterangkan dasar-dasar ayatNya.
Keasyikan mengajarkan ritual dan dalil-dalil membawa anak-anak menjadi hanya sekadar tahu “tentang agama”. Akibatnya ketika ia sudah dewasa tidak bisa membumikan nilai-nilai agama itu. Ini ironis. Yang terjadi adalah fanatisme kepada ajaran agama, dan bukan fanatisme menjalankan dan membumikan nilai-nilai agama. Padahal suku-suku primitif yang tidak tersentuh agama-agama besar, demikian taat menjalankan aturan adat karena ia diajarkan sejak awal apa artinya merawat alam semesta ini.
Banyak ustadz atau kiai yang mengenalkan Tuhan kepada anak didiknya dengan cara yang tidak benar. Allah SWT digambarkan sosok yang kejam, suka menghukum, dan ancaman-ancaman neraka lainnya. Awas lho kalau melanggar hukum Allah, maka akan diseterika punggungmu di neraka kelak. Ini bukan kata saya lho, tapi kata Allah di Qur`an, demikian khotbah yang sering kita dengar. Bukan hal ini tidak penting, namun ini adalah soal pendekatan yang pas.
Banyak pemuka agama yang hebat ilmu agamanya, namun minim pengalaman spiritualitasnya atau minim pengetahuan umum lainnya. Sebaliknya banyak ilmuwan-saintis yang hebat pengetahuan keilmuannya, namun minim pengalaman spiritualitas dan pengetahuan tentang agama.
Padahal kunci penting keberagamaan adalah “kesalehan sosial”. Istilah ini merujuk kepada peminggiran “egoisme” para agamawan untuk “masuk surga sendirian”. Ia tidak hanya sibuk berzikir dan menjalankan ritual agama, mengurung diri di tempat ibadah, namun bersedia turun memeriksa denyut nadi masyarakat di sekitarnya. Ia tidak terjebak bahwa ritual agama adalah “tiket” ke surga, namun ia sadar bahwa sebenarnya agama diturunkan untuk kebaikan di dunia, dan perkara surga itu “hanya risiko” dari amal manusia di dunia.
Dalam term yang lebih luas, mestinya kesalehan pribadi itu harus diimbangi dengan kesalehan sosial dan kesalehan profesional. Inilah yang disebut kesalehan kaffah. Sudah saatnya pemuka-pemuka agama kultural, menggerakkan umatnya untuk menjalani kehidupan di dunia ini melalui kesadaran beragama yang telah ia ajarkan secara formal.
Alhamdulillah, acara GS kali ini menunjukkan bahwa model maiyah-an seperti ini adalah bentuk yang paling sesuai untuk mencerahkan semua pihak, karena dalam acara ini tidak ada guru dan murid, tidak ada kiai dan umat, dst, namun yang ada hanyalah mitra dialog sejajar yang sama-sama mencari Allah dan Rasulullah.
Buktinya, meski keempat penanya tadi bukan orang ahli agama, bahkan ragu tentang Islam, tohAllah “mengangkat” mereka menjadi pemantik yang melahirkan “ilmu dan pemahaman” dahsyat tentang Tuhan dan Ketuhanan.