assalamu'alaikum

Assalamu'alaikum

Semua yang ada disini adalah hasil Reportase dari dulur dulur Jamaah Maiyah yang ada di manapun Baik dari Kenduri Cinta(KC) Obor Ilahi(OI) BangBang wetan (BBW) Mocopat syafaat (MS) gambang Syafaat (GS) dan maiyah maiyah lain yng sulit sayaa sebutkan,
Blog ini juga memuat syair ataupun puisi Terutama Milik Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).
Blog ini Juga menampung saran dan kritik juga tidak berkeberatan apabila ada saudara atau pengunjung atau teman bahkan musuh sekalipun yang ingin menuangkan ide dan tulisan tulisanya...

18/11/12

KAUM MUDA MASA DEPAN BANGSA

Kaum Muda Masa Depan Bangsa

Negara Indonesia disangga oleh lima pilar, bangsa Indonesia memiliki “alam takdir”, watak khas kemanusiaan dan kekayaan budaya yang merupakan bahan sangat menggiurkan untuk membangun peradaban penerang dunia di masa depan. Arab Spring yang kini sedang dilangsungkan oleh “sekutu penguasa bumi” meletakkan Indonesia sebagai sampel atau rujukan utama untuk “membangun demokrasi di Negeri mayoritas Muslim”. Di antara enam nominator, Indonesia yang utama, sementara Iran Turki urutan terbawah.

Sebenarnya terserah masing-masing untuk mengambil sisi yang mana dalam menilai bangsa Indonesia. Boleh pilih hipotesis bahwa bangsa ini sengaja dikubur kenyataan sejarah masa silamnya, sehingga penduduk bumi hanya mengenal Yunani Kuno, Mesir Kuno, Mesopotamia, atau Inka Maya. Statemen Santos Brazil bahwa Negeri Atlantis tak lain adalah nenek moyang Nusantara tidak boleh dilegalisir secara ilmiah.

Yang punya duit dan yang mengolah duit di abad ini adalah keturunan dua kakak beradik, yakni Ismail dan Ishaq, putra Mbah Ibrahim. Sementara di bawah tanah sedang mulai diyakini bahwa Ibrahim adalah anak turun Bangsa Nusantara yang lahir oleh salah seorang putra Nuh. Salah satu pendekatan ilmu menduga Adam adalah produk hibrida makhluk abu-abu, sementara manusia Nusantara adalah hibrida yang lebih “gawat”; blasteran antara ekstrem densitas positif dengan ekstrem densitas negatif.

Maka manusia Nusantara memiliki kenekadan hidup melebihi manusia bangsa manapun di muka bumi. Kata “nekad” tidak ada padanan bahasanya. berani merundingkan rencana korupsi ketika air wudlu belum kering. “Tolong yang 10% dikasih para Kiai, yang 10% dihibahkan ke Pesantren, jelasnya nanti kita tahlilan di Hotel X tanggal sekian jam sekian….”. Yang dimaksud para Kiai adalah anggota DPR tertentu yang terkait dengan proyek yang sedang akan disunat. Pesantren adalah pejabat Kementerian yang merupakan jalur proyek itu. Tahlilan maksudnya adalah meeting untuk pembagian apel Malang, apel Washington dst yang kemudian diubah idiomnya dengan kata-kata dari tradisi budaya Islam.
Bangsa nekad berani kawin tanpa punya kerjaan. Berani kredit motor ketika hutang yang dari kemarin masih bertumpuk. Berani naik menara tinggi pakai sandal jepit sambil merokok tanpa tali pengaman. Berani naik atap kereta api ratusan orang sekaligus tanpa berpegangan apa-apa. Kalau sudah tertangkap korupsi langsung pakai peci atau kerudung dan jilbab, begitu duduk di kursi pengadilan sudah nenteng tasbih di jari-jemarinya. Bangsa yang tidak kunjung hancur oleh krisis-krisis perekonomian, tetap menang kontes tertawa dan tersenyum sedunia, industri kuliner melonjak ekstrem, kampung-kampung dan jalanan tetap memancarkan kehangatan hidup.

Ada ratusan lainnya contoh ketangguhan manusia Nusantara. Ketangguhan, keanehan dan kegilaan. Tidak sekedar memiliki kesanggupan untuk mengalihkan area hujan cukup dengan sapi lidi dan cabe merah, atau memakelari peluang cium Hajar Aswad di tengah jejalan ratusan ribu orang berthawaf mengelilingi Ka’bah. Akan tetapi sisi itu boleh dianggap isapan jempol dan khayalan untuk menghibur-hibur diri dari kebrengsekan kehidupan bernegara yang tak kunjung usai. Setiap orang berhak ambil sisi lain: Bangsa Nusantara adalah Garuda yang sangat jinak dan berkekuatan Emprit: bisa dijajah ratusan tahun oleh beberapa peleton Satpam sebuah perusahaan Negeri Belanda…
.
Ada yang berpikir kontekstual: ayam tak mungkin melakukan pekerjaan burung, tapi burung juga jangan melakukan kebangkitan ayam. Kalau bangsa Indonesia adalah Garuda, kebangkitannya harus bervisi Garuda. Kalau bangsa Indonesia tidak tahu siapa dirinya, bagaimana mendisain kebangkitannya.
Tetapi ada juga yang berpikir universal dan esensial: terserah siapa kita dan siapa nenek moyang kita, pokoknya hari ini kamu punya potensi apa, kembangkan secara maksimal dengan kerja keras dan ketekunan.

Kita kembali close-up menatap diri. Bangunan NKRI disangga oleh lima pilar. Pilar pertama, yakni yang utama, sangat besar, tinggi dan berada di tengah bangunan, adalah rakyat.
Empat pilar lainnya, yakni kedua: Kaum Intelektual. Untuk konteks Negara modern disebut Kelas Menengah. Wilayah perannya: Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, dan Pers.
Pilar ketiga, Tentara Rakyat. Sekarang TNI dan Polri. Pilar keempat, Kraton-kraton dan kekuatan kebudayaan. Pilar kelima, intitusi Agama-agama dan bangunan spiritualisme.
Pada era awal kemerdekaan hingga menjelang akhir 1950an,  terdapat keseimbangan yang lumayan di antara lima pilar itu. Kemudian mengerucut ke “Aku Sukarno”, lantas pada 1965 dijebol oleh strategi “anak petani” Suharto yang mempersiapkan kekuasaan sejauh tujuh tahun lebih sebelumnya. Untuk kemudian mendayagunakan Pilar Ketiga, dengan membonekakan Pilar Kedua dan mengebiri Pilar-pilar lainnya.
Suharto dengan Pelita 5×5 tahun, pupus di tengah jalan, sesudah ia menggeser landasan kekuatannya dari “merah putih” ke hijau, dari ABRI merah putih Ali Murtopo Beny Murdani ke ABRI hijau Hartono, dari Merah Putih Golkar ke embrio politik hijau melalui persemaian ICMI. Kekuasaan global yang menguasai bumi punya “pasal”: Indonesia silahkan maju dan jaya perekonomiannya, bahkan boleh berkibar Tri-Sakti (politik, ekonomi dan kebudayaan)nya, asal jangan “pakai peci”.

Karena pergeseran warna Suharto dari merah putih ke hijau, dari Suharto abangan ke Haji Muhammad Suharto, dari “Islam Jawa” ke “Jawa Islam”, ditambah sejumlah variable lain, maka Reformasi direkayasa untuk menjatuhkannya. Mahasiswa dan Kelas Menengah intelektual dibusungkan dadanya di-casting jadi pahlawan yang mampu menggulingkan Suharto, serta dibikin tidak ingat bahwa mereka tidak mampu menggulingkan Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sambil disibukkan dengan sensasi budaya tawur dan euforia peradaban busa-busa intertainment.

Suharto lengser, tenang-tenang menyiram kembang di Cendana dan merokok “klobot”, tidak minta suaka ke luar negeri, tidak di demo di RT-RWnya, senyum-senyum melihat Reformasi, perih hatinya melihat anak-anaknya, menyesali Ilmu Pranatamangsa dan Ilmu Katuranggan yang sanggup ia terapkan dalam menguasai Indonesia selama 32 tahun, namun tidak sedikitpun ia mampu mengaplikasikan di keluarga kecil Cendananya.

Suharto benar-benar “ora petheken” selama tidak menjadi Presiden di sisa hidupnya. 16 bom di 8 pom bensin dan 8 titik jalan tol seputar Jakarta Kota dia acuhkan, padahal siap mengamankan Istana dan kekuasaannya kalau ia kasih kode dalam pertemuan 19 Mei 1998 di Istana Negara. Bahkan Suharto membuka dada dan tangannya dengan “4 Sumpah”: “Pertama, saya, Suharto, mantan Presiden RI, bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rakyat Indonesia bahwa saya tidak akan melakukan apapun untuk menjadi Presiden lagi. Kedua, untuk turut campur dalam pemilihan Presiden. Ketiga, siap diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan kesalahan-kesalahan saya selama menjadi Presiden. Keempat, siap mengembalikan harta rakyat berdasarkan putusan Pengadilan Negara….”
Ia tahu tak akan pernah diadili. Hanya dikutuk, dibenci dan dirasani. Sebab kebanyakan orang Indonesia ingin menjadi dia, calon-calon penguasa bukan anti-Suharto, melainkan ingin menggantikan dan memperoleh laba, keenakan dan kenikmatan yang ia peroleh 32 tahun. Maka ia tidak lari ke mana-mana, jangankan ke luar negeri, pindah RT-pun tidak. Ia tenang sembahyang, secara resmi mengangkat seorang Imam untuk memandunya berwirid husnul khatimah.

Akhirnya ia dipanggil Tuhan, meninggalkan rakyat Indonesia yang makin kebingungan menentukan Sukarno itu baik atau buruk, Suharto itu benar atau salah, sebenarnya mana rujukan masa depan kita: Orde Lama, Orde Baru ataukah Reformasi. Bahkan para penganut substansialisme hampir pecah kepalanya tak bisa menjawab SBY ini beneran Presiden atau Presiden-presidenan terbuat dari plastik. Sambil bersedih hatinya: dulu kita muak pada Bung Karno, tapi tetap bangga kepadanya. Dulu kita benci Suharto, tapi tidak sampai berani melecehkan bahkan menghinanya, sebagaimana sekarang orang melakukan pelecehan dan penghinaan itu di berbagai media bebas maupun di jalanan-jalanan.

Apalagi kalau melihat lebih spesifik dan detail — misalnya — atas pertimbangan keguru-bangsaan apa Bung Karno membubarkan HMI dan begitu dekat dengan PKI. Atas pertimbangan masa depan yang bagaimana Pak Harto menyimpan sejumlah rahasia 1998, termasuk sampai wafatnya tidak mengizinkan buku “Lalu lintas Keuangan Cendana” diterbitkan. Sebagaimana HB-IX juga sampai wafat beliau menolak membuka rahasia tentang fakta Perjuangan 1 Maret 1949, tentang peran Suharto yang sebenarnya.
Kita bangsa Indonesia tidak mau disiksa terus menerus oleh kebingungan, sehingga yang penting sekarang di tempat masing-masing kita sibuk “cari untung”. Kita manusia Indonesia memfokuskan diri pada tema-tema kecil, sekunder dan parsial. Karena yang besar-besar hampir mustahil diidentifikasi dan dielaborasi, serta tak mencukupi bahan-bahan sejarahnya. Juga tidak akan populer.

Akan tetapi kita jangan mati dengan melepas anak-anak kita buta tak tahu belakang dan tak mengerti depan. Sebenarnya saya gembira dan optimis hampir tiap malam di berbagai wilayah saya berjumpa dengan ribuan anak-anak muda yang berjuang menyembuhkan kebutaan hidupnya. Penduduk Indonesia sekarang rata-rata usianya adalah 27,5 tahun. Dan yang saya jumpai sejauh saya berkeliling ke pelosok-pelosok sejak hari kedua Suharto jatuh, adalah para pemuda usia tersebut dengan sorot mata yang aneh.

Aneh karena muatan orisinalitasnya. Mereka tidak hancur oleh ketidak-menentuan keadaan Negaranya. Mereka tidak semena-mena bisa dicuci otak dan mentalnya oleh industri disinformasi dan peradaban hiburan kekonyolan. Anak-anak muda Nusantara sedang mempersiapkan kebangkitannya. Ada gerakan 1 juta petani muda, ada eksperimentasi-eksperimentasi keIndonesiaan di segala bidang. Pelan-pelan tapi pasti akan lahir kaum muda visioner dan expert, dengan atau tanpa profesionalisme kependidikan. Nutrisinya meningkat, daya akuntansinya makin tajam, ‘militerisme atas diri sendiri’ atau kedisiplinan dan kesungguhannya lahir serius, di dunia maya mereka juga sangat mengincar supremasi. Bahkan sejarah hari esok Indonesia tidak bisa mengelak dari pemikiran-pemikiran baru kaum muda untuk mentransformasikan ketatanegaraan NKRI dan men-saleh-kan konstitusi dan hukumnya.

“Saleh” adalah kebaikan yang dihitung dan disimulasikan sedemikian rupa sampai manfaatnya maksimal dan mudaratnya minimal.
Telah dimuat Kolom Opini, Harian Kompas, Sabtu, 17 November 2012

REPORTASE MAIYAH BANGBANGWETAN OCTOBER 2012


Reportase BangBangWetan 31 Oktober 2012
“Belajar Takeran Rahmatan lil ‘Alamin”

“Kamu pikir Allah hanya membuat kehidupan yang begini saja, ada beribu-ribu lapis dimensi kehidupan dengan teater dan skema keaktoran yang bermacam-macam yang kamu tidak mengerti takarannya. Maka bekal orang hidup adalah rendah hati bahwa sangat banyak yang tidak kamu ketahui dibanding yang kamu tahu”–EAN-



Forum ­­­Bangbang Wetan dengan tema “Takeran” ini dibuka Mas Amin sebagai moderator dengan memanggil teman-teman pengurus BangbangWetan diantaranya Mas Agung Trilaksono, Mas Hari Widodo, Mas Rachman, untuk memberi review pengajian PadhangMbulan yang berlangsung malam sebelumnya. Dilanjutkan dengan memaparkan pengantar mengenai tema yang diangkat BangbangWetan malam ini, yaitu "Takeran". Menurut Mas Hari, “takeran” di sini berasal dari kata "menakar". Dia mencontohkan akhir-akhir ini banyak kejadian seperti kerusuhan Lampung, kejadian Syiah di Sampang, dan lain-lain itu dikarenakan kurang tepatnya kita menakar persoalan.

Sesuai tema tadi,Mas Rachmad, sebagai moderator sesi diskusi selanjutnya, melanjutkan forum ini dengan memanggil Mas Waldo, salah satu sahabat Cak Nun dari Bali yang berpenampilan penuh tato dan tindik, seluruh badannya dipenuhi gelang, anting, dan asesoris lain sehingga terkesan seperti kepala suku Indian, dengan rambut gimbalnya. Mas Rachmad mengajak semua jamaah untuk tidak hanya melihat Waldo dari sisi fisik saja. Bagi pola pikir mainstream, tentu ini adalah hal yang aneh.Bahkan mungkin tidak bisa disangkal bagi banyak orang, bisa dikatakan“haram”dengan mas Waldo berpenampilans seperti ini.Mas Rachmad mengajak kita, dengan bermaiyah, kita berusaha meniati apa saja untuk menimba ilmu darimanapun dan kita buktikan mas Weldo malam ini membalik anggapan bahwa takaran kita terhadap manusia terhormat biasanya mereka yang memakai Jas, berpakaian rapi, takaran manusia ahli surga adalah mereka yang selalu mengenakan surban, celana cingkrang, atau mereka yang mempunyai stempel hitam di Dahinya.
Mas Waldo mengawali dengan, "Assalamualaikum..yang kemudian mengajak Jamaah Maiyah untuk berpikir, “Coba pikirkan jika hidup tanpa nilai, biarkan ukuran nilai apa adanya.Kita pun sudah berlaku musyrik dalam hal bergaul.Sebab kita bergaul dengan kepentingan.Shalat kita pun juga karena kepentingan.Berhala bukan musyrik.Musyrik itu perkara penilaian dan perbandingan.Manusia menjadi menderita karena terombang-ambing dengan kepentingan.Sehingga, nilai sesungguhnya telah hilang atau mati”, ujarnya.

Mas Waldo menguraikan bahwa kita semua kalau dilihat dari luar yang kelihatan hanya tubuh saja, padahal menurut mas Waldo, tubuh ini adalah sebuah kerajaan, yang tentu saja mempunyai Raja yang berkuasa. “Siapa raja penguasa yang berkuasa pada kerajaan kita, nafsumu atau ruhmu?”, Tanya mas Waldo.“Anda tidur saya bangun, sedangkan Anda bangunnya dalam mimpi, sehingga Anda tidak bisa melihat saya bangun, tapi saya bisa melihat Anda sedang tidur. Dan saya tidak bisa membangunkan Anda tidur, apalagi kalau tidurnya itu sedang mimpi enak, kecuali kalau Anda sudah mulai mimpi jelek, begitu Anda sedang mimpi jelek, baru Anda butuh seorang pembangun, seorang penggugah”. Mas Waldo melanjutkan dengan pendapatnya mengenai perbedaan antara guru dan Nabi. Tugas guru menurutnya adalah membangunkan orang-orang  yang sudah seringkali mimpi buruk dalam hidupnya, bukan membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak atau mimpi enak. Sedangkan tugas Nabi adalah memasuki  ke dalam mimpi orang-orang dan berkata “wahai manusia, kita semua masih dalam mimpi yang sementara, apapaun yang kamu dapatkan dalam mimpi akan sia-sia, sebab kebenaran hanya akan bisa kamu dapatkan kalau kamu sudah bangun. Dan bangun itulah akhirat, bangun itulah kenyataan yang sebenarnya”, jelas mas Waldo. Nah dari sini monggo kita periksa diri kita masing-masing apakah kita sudah bangun atau masih di dalam mimpi.

Menanggapi seorang yang bertanya mengenai ciuman tanpa kepentingan, mas Waldo merespon, kalau kita sedang berhadapan dengan telur, maka jangan lantas bayangkan ayam. “Kalau kita ingin menikmati apa saja, jauhkan dari nafsu, kepentingan itu wujud dari segala nafsu, orang yang hidup dalam nafsu tidak akan pernah bersyukur, dan tidak akan pernah bisa menikmati hidup apa adanya, kalau Anda belum paham ini mungkin masih perlu belajar 10 atau 100 tahun lagi. Untuk belajar kadang dibutuhkan cukup 2 menit saja, kadang 100 tahun pun belum tentu bisa, itu tergantung kita picek atau mellek”, terang Mas Waldo.

Waktu Jeda, Mas Rachmad meminta mas Waldo untuk unjuk kebolehan vokalnya dengan berkolaborasi dengan group musikBananaTree, kali ini Mas Waldo melantunkan lagu Metallica yang berjudul Nothing Else Matter.

Pak Toto Rahardjo, salah satu narasumber Bangbangwetan malam ini memulai uraiannya, bahwa kita hidup dalam berbagai peradaban diantaranya peradaban hati, peradaban pikiran, peradaban perut, dan yang menguasai pertimbangan kita itu apa? Menurut pak Toto, problem kita sejak kecil sebenarnya, yang menjadi pertimbangan adalah materi, keserakahan ketidakpuasan, itulah kenapa banyak koruptor yang menawarkan diri menjadi pemimpin. Maiyah mecoba untuk melakukan pembelajaran yang lebih mendalam, tidak sekedar merespon situasi yang ada sekarang, karena kita tahu situasi yang terjadi sekarang adalah akibat dari penguasaan materi, semua di materikan, bahkan naik haji yang seharusnya bisa transendental pun malah jadi materi, bahkan gusti Allah dijadikan materi. Pak Toto mengingatkan, dulu beliau pernah berkata bahwa orang maiyah wajib melakukan tafsir. Selama ini begitu kita mendengar tafsir, selalu kaitannya dengan Qur’an dan Hadist. Malam ini pak Toto mencabut pernyataan tersebut, karena menurut beliau, tafsir itu memilki tradisi, memiliki metode yang memang panjang. Jadi maiyah itu bukan tafsir, kecuali tafsir sehari-hari, sedangkan kalau untuk al-Qur’an dan hadist itu kita wajibnya adalah tadabbur, mengkaji dan merefleksikan. “Tafsir itu akan terkait dengan bahasa, ada metode yang harus dipertanggung jawabkan, dan  mulai saat ini saya cabut pernyataan itu”, jelas pak Toto yang sebelumnya juga mengakui telah melakukan diskusi menganai hal ini dengan Ustad Nursamad Kamba dan Cak Fuad.
Pak Toto melanjutkan, “Bahwa Cak Nun pernah menjelaskan mengenaiilmu katon, itu sebetulnya tingkatnya pada tataran materi, dan inilah yang mempengaruhi peradaban pikir kita, bahkan peradaban batin pun dipengaruhi oleh material. Maka ukuran-ukurannya pun materi, misal berbuat baik bisa hanya karena pertimbangan materi. Dalam keseharian kita sangat dipengaruhi oleh takeran materi. Untuk menjadi pemimpin harus punya duit, filosofi tidak penting, visi tidak penting”.“Karena kita meletakkan diri sebagai majelis ilmu maka apa yang dikatakan mas Waldo malam ini, pasti kita akan ambil sebagai pendalaman ilmu malam ini, misal tadi bilang siapa yang menguasai kerajaan tubuh kita, materi atau ruh kita? Ini adalah bahasa tingkat tinggi yang perlu kita dalami maknanya”, ungkap Pak Toto.

Cak Priyo Aljabar menceritakan pengalamannya bertemu dengan berbagai komunitas atau simpul Maiyah di berbagai daerah. Cak Priyo menceritakan bahwa komunitas Maiyah yang ditemuinya bermacam-macam, diantaranya Komunitas yang mendalami kesenian sastra dan musik, ada juga simpul Maiyah yang menekuni urusan“bedah langit” dengan wirid dan istighosah di daerah Tunggal Karep Tuban, simpul Maiyah di lereng gunung Penanggungan, dan sebagainya. Dengan bermacam-macam karakter yang ada, Cak Priyo berpesan, “Ojok ngadili gae ukuranmu, sesama siswa dilarang mengisi raport teman, Waldo punya karakter seperti itu dengan berbagai caranya, ya itu Maiyah, melingkar tidak ada yang di atas, tidak ada yang di bawah, tidak ada yang di depan belakang, rukun, semuanya sama. Kebersamaan ini yang sebetulnya ingin kita wujudkan” tegas Cak Priyo.
Selanjutnya Cak Priyo meminta group musik BananaTree untuk melantunkan lagu Bon Jovi terbaru yang berjudul Sewu Kutho, dengan aransemen bossanova disambut applaus Jamaah.

Tiba saatnya Cak Nun menyampaikan uraiannya dengan mengajak kita semua untuk mulai menakar apa saja yang kita peroleh dari diskusi malam ini. Cak Nun mulai menjelaskan mengenai kata Ngaji.Ngaji itu berasal dari kata aji, kemudian melahirkan 2 kata benda. yang satu “me-ngaji” yang kedua “men-kaji”. Kalau “meng-kaji” itu berarti dipersepsikan, ditaker, dianalisis, dihitung, dilakukan hipotesis, kemudian diambil kesimpulan. Sementara “me-Ngaji” tidak mengutamakan proses kognitif, proses deskriptif, perumusan, sistematika berpikir seperti halnya “meng-kaji”. “Meng-aji” itu fokus pada apa saja yang bisa meninggikan aji kita. Aji itu berasal dari kata Jawa, sedangkan kalau dalam bahasa Arab, bentuk dari kata Aji  ini di bagi dua, yaitu derajat dan martabat. Derajat adalah “ajine wong urip nang ngarep e wong sing gae urip”, sedangkan Martabat adalah “Ajine wong urip” di antara sesamanya.

Berbeda dengan pendapat Mas Waldo tadi, menurut Cak Nun orang hidup itu  harus  punya kepentingan. Kepentingan itu berasal dari kata penting, itu wajib. Jadi pertama, harus bisa dibedakan, dalam hidup ini yang penting mana yang tidak penting mana. Yang kedua, penting untuk siapa, lebih baik mana pentingmu sendiri atau pentingnya orang banyak. Yang mana yang dinomorsatukan. Kita balik ke wacana Maiyah kita dulu, bahwa bener itu ada 3 macam, benernya sendiri, benernya orang banyak, benernya yang sejati. Benernya sendiri melahirkan egosentrsime, melahirkan egoisme kalau sudah berada dalam struktur kekuasaan akan melahirkan monopoli, melahirkan nepotisme, korupsi, melahirkan “tahlilan di pesantren maupun di tempat kiyai”. Cak Nun menjelaskan Idiom “Tahlilan”, “Pesantren” “Kiyai” sekarang dipakai oleh koruptor untuk mengaburkan istilah yang sebenarnya. Para koruptor sudah menggunakan ideom yang lebih Islami. Kata “Tahlilan” yang dimaksud adalah meeting atau pertemuan, “pesantren” adalah dinas atau kementrian yang mengeluarkan proyek  untuk dikorup, sementara “Kiyai” adalah istilah untuk menyebut anggota DPR atau pejabat tertentu. Dengan cara seperti ini maka semakin mencairkan dan mengaburkan takeran  komunikasi, sehingga ketika kata “Tahlilan” ini disadap oleh KPK misalnya, maka itu tidak akan menjadi fakta hukum.


Jowo Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat.
Cak Nun menguraikan bahwa ada takeran bahasa sastra, takeran bahasa hukum, bahasa budaya, bahasa diplomasi, yang bermacam-macam takerannya. Apa yang dikatakan mas Waldo tadi sebenarnya adalah takeran pencarian diri yang sifatnya sufistik, maka jangan dipahami secara akademis. Ada takeran yang sangat baik untuk kita pelajari yang didapatkan dari Maiyahan Merapi beberapa waktu yang lalu, yakni Jowo Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat. ini tinggal di elaborasi secara ilmu. Kita lihat saja kebanyakan kita menjadi orang Indonesia yang tidak pernah membawa Jawa-mu, disentron dijadikan ejekan, cenderung meninggalkan kearifan yang baik dari Jawa.

Cak Nun melanjutkan uraiannya dengan bertanya pada Jamaah, “Kamu tahu Abu Jahal?”  Dia adalah paman sekaligus musuh Nabi. Kira-kira Dia itu menamakan dirinya sendiri seperti itu, apa orang Islam yang menyebut dirinya menyebut Abu jahal? Sekarang kalau aku menyebut diriku Abu Jahal itu baik apa tidak? Kalau aku memilih untuk merasa diriku buruk, itu apik ta elek? Kalau dalam bahasa jawa itu itu iso rumongso. Terus kalau aku ngarani awakku dewe koyok nabi, aku iku alim, sholeh, itu baik atau tidak? Jadi lebih baik mana,  orang yang menyebut dirinya baik, atau menyebut dirinya buruk?”, tanyak Cak Nun, yang serentak Jamaah menjawab dengan pilihan kedua. Nabi-nabi atau Rasul menyebut dirinya baik atau jelek? Semua Nabi menyebut dirinya dholim, menyebut dirinya fakir. Nabi Muhammad hanya menyebut jabatan resmi dari Allah yakni sebagai utusan Allah, dan yang menyebut Nabi Muhammad itu Nabi atau  Rasul itu tidak lain adalah Allah sendiri, tidak mungkin nabi menyebut dirinya sebagai Nabi.

Mas Weldo pernah menyampaikan kepada Cak Nun di acara Maiyahan Bali, bahwa dengan ia berpakaian dan berpenampilan seperti ini maka tidak ada seorang pun yang berpikir bahwa ia punya kebaikan. “kalau Anda berpenampilan necis, gamis, orang pasti akan berfikir bahwa ia orang alim, orang baik, tidak mungkin menipu, tidak mungkin manipulasi. Dan kalau ternyata orang yang berpakain sorban dan gamis yang indah itu ternyata bukan seperi disangka bahwa dia itu orang baik, maka yang terjadi adalah penipuan. Kalau aku menyebut diriku Habib, sehingga orang menyangka sebagai keturunan Rasulullah itu kan merepotkan banyak orang, sehingga nanti akan banyak orang yang sibuk mencari, browsing di internet melacak silsilah saya, itu kan bikin repot. Makanya disini gak usah merepotkan, tinggal panggil Cak Nun saja sudah cukup, itu saja , tidak usah repot-repot dan itu tidak akan mengandung penipuan, kalau hanya panggilan Cak, itu kan sekedar keakraban biasa”, jelas Cak Nun disambut tepuk tangan Jamaah.

“Makanya begitu sekarang ada yang menyebut saya lebih bahaya dari syiah, saya sangat berterima kasih. Orang yang menjahati kita adalah orang yang berjasa untuk mengambil kearifan diri kita untuk kita terapkan kepada orang yang menjahati kita itu. Jadi gak apa-apa, di Islam itu semua tidak ada masalah”, sambung Cak Nun.Bahkan Cak nun berharap, sekalian saja dianggap lebih berbahaya dari Iblis, karena sebenarnya Casting-nya Iblis sudah jelas dalam teater-nya Allah, tugasnya sudah jelas, dan kita tidak masalah dengan Iblis karena kita sudah punya takeran, Iblis juga punya takeran. Cak Nun menjelaskan bahwa rumusnya Iblis itu jelas, semua akan dirasuki, semua akan dimasuki ke dalam aliran darahnya kecuali orang yang ikhlas seperti kanjeng Nabi.
Lebih dalam Cak Nun mengeksplorasi mas Waldo dengan menyebutnya sebagai monumen keyakinan. Mas Waldo membuktikan bahwa ia berani menanggung resiko yang sangat-sangat besar. Kita tidak tahu sholatnya bagaimana, jangan merasa menjadi petugas-nya Allah dengan menilai negatif terhadap penampilan mas Weldo. ”Sing nduwe iki sopo?, Allah. Terus takeranmu dengan takeran Gusti Allah itu lebih tepat mana? Mau saingan sama Allah? padahal Allah itu punya takeran yang al-Lathief, sangat lembut. Kita kan materi yang kita lihat”

Tadi mas Waldo mengatakan, akherat itu kalau kita sudah bangun, Nabi itu tujuannya masuk dalam mimpinya orang. Dengan pernyataan tersebut Cak Nun berpesan bahwa itu jangan ditangkap sebagai nash, informasi resmi agama.Kalau dia mengatakan Nabi bertugas memasuki mimpi manusia, itu adalah bahasa rohani dan puisi dia, pahami bahasa puisi dan bahasa sastra. “Jamaah Maiyah itu sering bertemu saya melalui mimpi, hampir tiap hari mendaftar mimpi ketemu  dengan disuruh begini, disuruh begitu, kalau kita terapkan pernyataan mas Weldo tadi berarti saya ini kan seorang Nabi?”, kata Cak Nun disambut tawa Jamaah.

“Orang kok berhenti dan dipaku pada meteri, kamu pikir kalau orang sudah ruku’ sujud itu sudah dikatakan sembahyang? Kalau cuma pura-pura bagaimana? bagaimana caranya kamu bisa tahu dia itu sembahyang atau hanya pura-pura saja? Bisakah kamu menembus hatinya? Mengerti kamu niatnya? Lah kamu kok percaya kalau dia sembahyang atau tidak. Jadi letak takeran utama orang sholat itu bukan pada materi, meskipun tanda-tanda pengabdian kepada Allah antara lain melalaui fasilitas materi, tapi materi itu sendiri tidak bisa menjadi takeran”
Suatu ketika ada Kiai dari Jawa Tengah, berkunjung dan sowan kepada Kiai Hamid Pasuruan, setelah sowan dan bermaksudpamit akan pulang, Kiai Hamid menitipkan salam ke Kiai tadi untuk disampaikan kepada seorang gelandangan yang biasanya menempati perempatan di Pasar Kendal. Setelah pulang, Kiai tadi akhirnya bertemu dengan gelandangan yang dimaksud, disampaikanlah salam dari Kiai Hamid tadi. Kontan saja si gelandangan tadi langsung marah-marah dan berkata keras, “Hamid iku yo’opo, aku sengaja menyamar puluhan tahun kok, malah diumum-umumkan, kalau begitu caranya lebih baik aku mati saja”, saat itu juga orang biasa disebut “gelandangan” ini langsung mati ditempat seketika itu juga.Kesimpulannya, Apakah ia disebut gelandangan atau bukan? Gelandangan itu kan perjanjian orang banyak mengenai suatu keadaan yang disebut gelandangan. Padahal ada banyak Waliyullah yang diperintah Allah untuk menyamar menjadi gelandangan.“Kamu pikir Allah membuat kehidupan yang begini saja, ada beribu-ribu lapis dimensi kehidupan dengan teater dan skema keaktoran yang bermacam-macam yang kamu tidak mengerti takarannya. Maka bekal orang hidup adalah rendah hati bahwa sangat banyak yang tidak kamu ketahui dibanding yang kamu tahu”, tegas Cak Nun.

Merespon pertanyaan dari salah seorang jamaah mengenai “ciuman tanpa kepentingan” yang sempat disamapaikan diawal, Cak Nun menjelaskan, “Hidup yang penting itu apa, fisiknya, ruhnya, muatannya atau apa? Maka ketika Anda sudah tua, istri anda juga sudah menua, Anda sudah tidak mendapatkan estetika dan kecantikan seperti 20 atau 30 tahun yang lalu, terus kepentinganmu apa ketika engku tidur bersama istrimu? Maka kamu jangan mengabdi kepada istrimu, kamu jangan mengabdi kepada suamimu,kalian berdua mengabdi pada Allah-Mu, ketika engkau menyetubuhi istrimu bilang Ya Allah aku menggauli istriku karena aku rindu kepadaMu, karena aku rindu kepadaMU, ini untuk-Mu ya Allah. Karena kepentingan kita adalah hanya untuk Allah.Semua bahagia dan deritaku di dunia hanya untukMu ya Allah, tidak ada enak tidak ada tidak enak, semua kita lakukan Lillahi ta’ala.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.., wes engko bengi praktekno”, Cak Nun langsung disambut gemuruh jamaah.

Melanjutkan pembahasan yang tadi bahwa apapun yang datangnya dari Arab itu harus digarap, diramu dengan kebudayaan Jawa, bukan berarti Islam yang dijawakan, tapi aplikasikan dengan ramuan budaya meskipun ibadah mahdohnya sama, tapi ibadah muamalah nya beda. Misal budaya menyambut tamu, memuliakan orang tua di Arab, di Jawa itu beda. Ketika kita menghormati tamu demi mentaati Islam, yang kita bawa kesini bukan arabnya, tapi inti dari menghormati tamu itu kita cari dengan kebudayaan kita sendiri. Yang terjadi selama ini Arab tidak digarap, langsung diterapkan begitu saja, ditelan tanpa diracik, yang pinter ngaji ngenyek yang gak pinter ngaji, yang gak pinter ngaji cara alasan lain untuk ngeyek yang pinter ngaji. Di daerah Jawa Tengah kebanyakan orang melantunkan “alkamdulillagi rabbil ngaalamiin...” dinyek sama orang yang dari Jawa Timur yang bisa melafalkan huruf “Ain” dengan baik. Bilal, salah seorang sahabat yangsangat dicintai Rasulullah karena begitu kuat imannya,Ketika ia adzan dan melantunkan “asyhadualla ilaha illallah..”, ia tidak bisa mengucapkan huruf “Syin”, lidahnya hanya bisa mengucapkan huruf “Sin”. Sahabat Nabi yang protes dengankeadaan itu. Nabi menjawab secara diplomatis, bahwa “Sin”-nya Bilal itu “Syin”. Singkat namun tegas. Sebagaimana dulu pernah kita membahas mengenai bunyi atau suara kokok ayam. Bagi orang Jawa,  kokok ayam disebut “kukkuruyukk”, sementara “kukkuruyuk”nya orang Sunda adalah “kokkorongkong”, dan “kongkorongkong”-nya orang Madura adalah “Kukkurunnuk”.

Dengan cara diplomasi Rasulullah tadi, Cak Nun mengajak kita untuk mencari kearifan Rasulullah, kesantunannya, tingkat keilmuannya, silakan cari sebanyak-banyaknya, supaya kita mempunyai kearifan dan kesantunan, tidak gampang menghujat orang lain. Dulu ulama hanya berjumlah 9 orang yang kita kenal sebagai Walisongo, mengislamkan berjuta-juta orang. Sekarang Ulama-ulama pekerjaannya kebanyakan adalah mengeluarkan orang dari Islam. Kita lihat saat ini betapa seringnya ulama bilang“kafir itu”, “bid’ah itu”, “sesat itu, “halal darahnya itu”.Mengenai fatwa “Halal darahnya”, Cak Nun menanggapi secara retoris, kalau memang ada fatwa seperti itu sebaiknya segera bunuh saja, jikacuma sekedar berfatwa “halal darahnya” tapi tidak pernah dilaksakan dengan membunuhnya, maka Allah akan Marah : ..” kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”(QS. Ash Shaff 61: 2-3). “Maka kita mengharapkan dan merekomendasikan para Ulama yang memfatwkan kepada golongan orang-orang yang “halal darahnya” segeralah bunuh mereka, tak tunjukkan siapa saja yang halal darahnya itu, Kabeh kok dadi Gusti Allah”, sindir Cak Nun.

Disampaikan oleh Cak Nun, ada tingkatan-tingkatan“Takaran” yang harus diperhatikan :
  1. Tingkatan terendah yakni Walayathul Khawas, menyangkut dimensi pada wilayah fisik atau materi, atau bisa disebut ilmu katon. 
  2. Diataskhowas, yakni Walayatul Hifdzi, menyangkut ilmu katon, namun tidak terlihat, seperti halnya  RAM/memori. Kaitannya dengan masalah IT, komputer, teknologi digital, dsb.
  3. Walayatul Khoyal (hardware atau Khowas tadi dan Hifdz/software tadi disimulasikan, dianimasikan dengan khayalan imajinasi dan aspirasi otak dan rohani manusia. Industri atau kapitalisme mengabdi kepada Khowas/materi, termasuk juga wilayah Hifdzi, Wilayah Khoyal ternyata juga diabdian kepada khowas. Bahkan sekarang semua ke khowas, termasuk juga agama, alqur’an, Kiai, Habib, Gus, semua mengabdi kepada khowas. Di tiga wilayah ini (Khowas, Hifdzi, Khoyal) kita sudah terbiasa kalah. Orang tidak punya kecenderungan untuk menguasai di tiga wilayah ini.
  4. Walayatul Fikr, wilayah filosofi dan pemikiran.
  5. Walayatul Fa'al, sebagai tingkatan paling atas/tertinggi.
Orang Jawa tidak mau dan tidak punya kecenderungan untuk berkecimpung di tiga wilayah ilmu katon ini, bagi orang Indonesia ilmu katon ini cuma dibuat mainan. Misal untuk ilmu katon, “kamu kok pilih presiden SBY?” Bagi orang Indonesia memilih SBY itu bukan peristiwa politik. “Kamu kok mau disogok 50 ribu rupiah menjual kedaulatan untuk milih bupati yang nyogok kamu?”Orang Indonesia tidak bisa menjelaskan, tapi yang terjadi pada mereka adalah mereka bukan menjual kedaulatan, mereka dapat uang 50 ribu rupiah diterima, suruh mencoblos ya nyoblos, tidak ada urusannya sama kedaulatan. Orang Indonesia itu kedaulatan opo iku gak mikir, pancasila itu itu benar enggak yo babbah, negara Indonesia itu ada atau tidak ada itu podo ae, pemerintahnya siapa saja  gak ono bedane, Presiden ganti sehari empat kali yo monggo.Jadi tidak ada perisiwa politik, orang indonesia tidak punya keseriusan disitu.

“Orang Indonesia adalah penghuni di wilayah tertinggi, Walayatul Fa’al, mereka menunujukkan kehebatan tidak di dalam pertandingan, tapi menunjukkan kehebatan dalam kehidupan. Kita tidak hebat dalam pertandingan, karena kehebatan kita itu otomatis kita langsungkan dalam kehidupan. Meraka tidak pernah ikut pertandingan balap F1, tapi kalau mau beneran balapan, silakan datang kesini untuk nyopir Bus di Pantura dengan Bus Sumber Kencono kalau berani?”, tantang Cak Nun

Kalau misalkan berlangsung  perang secara resmi, kita tidak pernah bisa serius, tentara kita tidak punya peluru yang cukup untuk sekedar latihan. Tapi kalau tawur, siapa yang lebih berani dari kita? kita adalah jagoannya. Dimana-mana tidak ada yang mempunyai budaya tawur seperti di negara kita, paling mentok tawur antara buruh melawan polisi. Kalau disini, sesamapengurus Masjid, sesama Islam, sesama Pelajar, sesama Mahasiswa saja tawuran. “Tawur kan sahabat kita sehari-hari”, kata Cak Nun,“Anak SMA kok dilarang tawur, terus dikonkon lapo? Tawur adalah Pertentangan yang tidak ditata. Apakah pertentangan antar Parpol itu tertata tidak secara ilmu dan sosiologi? Apakah pertentangan antara Anas dan SBY tertata tidak secara manajemen konstitusi kita? Sing gak tawur iku sopo? Semuanya tawur. Dalam beragama kita tawur, takarannya juga terkadangngawurdengan gampang menyesatkan orang lain”.

Ilmu yang diberlakukan di Indonesia itu adalah ilmunya dari orang-orang Amerika yang tidak punya pengalaman hidup seperti orang Indonesia, mereka tidak punya keberanian hidup sebagaimana keberanian orang-orang Indonesia. Mereka adalah orang yang tidak pernah hancur, sebagaimana kita hancur dan tidak hancur oleh kehancuran itu. Mereka adalah orang yang tidak berani kawin tanpa pekerjaan, sebagaimana Anda kawin tanpa pekerjaan. Mereka tidak punya “bismilllah” yang di Indonesia itu modal utama.Jadi Indonesia itu adalah champion of life. Kita itu penduduk dari wilayatul Fa’al, berasal dari Fa’alul lima yurid, Allah itu maha bekerja, Maha hidup dan menghidupi, jadi orang indonesia adalah juara di dalam hidupnya. Kita bukan juara di turnamen-turnamen. Begitu juga ini acara Maiyahan seperti ini kan sebenarnya juara. Mana ada di seluruh dunia ada acara sampai jam 3 pagi, orang duduk tenang, ikhlas gembira. “Maka ini adalah intinya Indonesia, yang bahkan media koran-koran sekitar sini tidak kenal Anda. Karena Anda adalah Indonesianya Indonesia, yang paling Indonesai dari Indonesia, juara luar biasa”, tegas Cak Nun, “Kita ini juara dalam kehidupan, syaratnya satu, jangan mengungguli mereka, biarkan mereka merasa unggul, karena mereka memang tidak unggul, sehingga kita harus besarkan hatinya dengan berpura-pura menganggap mereka unggul. Anda melihat Indonesia yang harus anda tolong, harus Anda sayangi, Harus Anda besarkan hatinya, Anda yang akan memandu mereka,  memimpin, menyelamatkan mereka semua”.

Takeran Ilmu Kesehatan
Hadir juga sebagai narasumber malam ini adalah dr. Ananto, sebagai seorang dokter beliau menanggapi uraian tadi dengan mengatakan bahwa “takeran” dalam ilmu kedokteran itu disebut dosis, maka untuk tahu dosis, dibutuhkan kajian yang cukup mendalam. Seperti halnya dosis 3x1 itu sebetulnya berlaku untuk orang yang berat badannya 60 kg. Untuk orang yang berat badannya di atas 60 kg, dosisnya tentu beda lagi. “Karena tiap orang berbeda, maka saya harus berhati-hati dengan dosis/takeran di masa mendatang.Ternyata untuk raga pun butuh takaran yang pas. Dan setiap orang berbeda satu sama lain” jelas pak dokter.

Cak Nun menambahi apa yang disampaikan dr. Ananto tadi dan berharap nantinya akan ada hal yang perlu disalahkan atau dibenarkan. Dalam pemahaman post modern, sesudah memuncaknya ilmu pengetahuan termasuk ilmu kedokteran, filosofi dasar ilmu kesehatan bahwa dokter adalah setiap orang atas dirinya sendiri. Dokter secara resmi, adalah asissten setiap orang yang diminta konsultasi mengenai beberapa hal. Tapi yang menakar dirinya adalah setiap orang. Karena dokter itu dzonni, menduga-duga pada setiap orang. Dia tidak qoth’i atau pasti.Menurut Cak Nun, yang bisa qoth’i adalah diri kita sendiri, minum obat perlu tidaknya hanya kita sendiri yang tahu. Kedokteran secara ilmu itu cuma sekian persen, sementara dzonni-nya mungkin lebih besar. Maka dokter harus punya kerendahan hati dan kejujuran pada pasiennya, dan itu sulit kalau kedokteran sudah menjadi bagian dari walayatul khowas, menjadi bagian dari materialisme yang melahirkan kapitalisme dan industri. “Kalau kesehatan sudah menjadi industri, maka dokter akan menjadi alat industri yang memperbanyak orang sakit sehingga pendapatannya meningkat.Itu tidak terjadi kalau kedokteran itu adalah urusan moral. Mengobati orang itu cinta kasih dan moralitas antar sesama manusia. Bahwa yang diobati akan beterima kasih, itu soal moral yang lain yang mengakibatkan penambahan ekonomi bagi si dokter”, jelas Cak Nun.
Cak Nun menceritakan, menurut dokter yang pernah memeriksanya, secara resmi sebenarnya Cak Nun telah terjangkit kolesterol tinggi. Cak Nun bertanya pada dr. Ananto, gejala kolesterol tinggi itu seperti apa? Dokter Ananto menjawab, orang dengan kolesterol tinggi itu biasanya mempunyai badan yang cepet capek, tidak fit, ada beberapa sedikit rasa nyeri.Cak Nun menanggapi, berarti kolesterolnya agak aneh, malah sehat bener, gak penah ngantuk, gak pernah capek, menempuh perjalanan naik bus 13 jam tidak ada masalah, hampir tiap malem Maiyahan sampai menjelang pagi tidak ada masalah. “Iki kolesterol cap opo ngene iki”, kata Cak Nun dengan nada heran. “Saya cuma ingin mengatakan kepada Anda semua, Yuk kita menjadi dokter bagi diri sendiri. Jangan main-main dengan takerannya hidup, Allah memberi contoh air zam-zam. Air biasa tapi diperkenankan dan diperintah Allah untuk menyembuhkan orang yang meminumnya sesuai dengan yang diinginkannnya. Manusia khalifahnya, obat adalah karyawannya, meskipun juga jangan sampai ngawur. Tetep dalam takeran yang rasionalitas, dan Anda harus rasional pada diri Anda, tidak boleh ada sedikit aus pada dirimu, jangan sampai dirimu mengalami proses perapuhan, ini yang terjadi pada manusia modern. Jangan sampai rapuh, yang pertama rapuh pikiranmu, kalau sudah pikiranmu rapuh, maka rapuh juga hatimu, sel-selmu rapuh, adrenalinmu tidak muncul, semangat dan gairahmu tidak muncul, maka kamu akan mengalami perapuhan jasad”, jelas Cak Nun, “Pak dokter ini bener apa tidak?”, tanya cak Nun pada dr. Ananto, beliau menjawab, “Insya Allah benar Cak, sami’na waatho’na”.

Pak Toto Rahardjo merangkum semua yang dibahas dengan menambahkan catatan penting bahwa diluar takaran yang baik itu, selalu terjadi dominasi. Sejak dari tahap yang paling bawah, materi, memori imajinasi, tahap-tahap ini sangat di dominasi oleh peradaban materi.
Di Akhir pembahasan Cak Nun mengingatkan khusus untuk Jamaah Maiyah untuk setidaknya mengingat-ingat urutan judul tulisan beliau yang baru-baru ini muncul di media koran, yakni  secara berurutan : “Allah 2014”, “Nasionalisasi Indonesia”, “Presiden”, “Para Kekasih Iblis”,dan selanjutnya yang akan segera terbit adalah “Persemakmuran Nusantara”. Silakan dipikir sendiri, direnungkan, tidak perlu dibaca isinya secara keseluruhan, kenapa urut-urutannya bisa seperti itu, semoga bisa dipahami maksudnya.

Sebelum melantunkan sholawat bersama-sama, Cak Nun mengingatkanteman-teman yang beragama selain Islam, mohon percaya dan yakin untuk merasa aman kepada kita sebagai  orang Islam, kalau kita melakukan ini, berarti ini adalah ekspresi dari ideologi rahmatal lil alamin, saling menyelamatkan satu sama lain, dan tidak saling menghakimi yang Allah sendiri punya hak menghakimi  kita. Cak Nun mengutip pernyataan Gus Dur, bahwa “NU itu adalah Syiah tanpa Imamah”.“Jadi kalau ada yang khawatir akan ada eksport revolusi syiah di Indonesia itu, saya yakin itu tidak akan terjadi mergo wong Jowo tidak mungkin punya Imamah.Mesti imamme diapusi sama makmumnya, wong Jowo sanggup memimpin dirinya sendiri sehingga tidak perlu imamah seperti halnya di Iran, wong Jowo sangat mandiri.

Informasi kedua, bulan depan kita harapkan sudah bisa melahirkan satu tradisi baru tanpa menafikan tradisi yang sudah ada, yakni sholawat maulid untuk puji-pujian ulang tahun Kanjeng Nabi SAW. “Kita akan bikin sholawat Maulidin Nur, yang kita sholawati adalah Nur Muhammad. Nur Muhammd adalah makhluk Allah yang pertama,yang kemudian ditugasi Allah untuk menjadi A menjadi B, menjadi C, salah satu episodenya Nur ini ditugasi, dikasih casting untuk menjadi Muhammad bin Abdullah yang berlaku hanya 63 tahun. Padahal Allah menciptakan waktu sangat panjang, dan saat ini Rasulullah sedang bertugas di tempat lain, di planet lain, di galaksi lain, tidak sebagai Muhammad bin Abdullah, tapi dengan tata cara dan budaya di sana. Rasulullah tidak pernah berhenti bertugas, Rasulullah bukan meninggal pada tanggal 12 Rabiul Awal sebagaimana yang kita tahu.Yang dimaksud Rasullulah meninggal adalah berakhirnya penugasan Nur Muhammad sebagai Muhammad bin Abdullah dimuka bumi, setelah itu dan sebelumya, Rasulullah sudah dan akan bertugas di tempat lain karena Allah menciptakan alam semesta yang sangat luas dengan makhluk-Nya yang bermacam-macam. Makhluk yang diciptakan pertama kali adalah Nur Muhammad dan karena Allah bahagia menciptakan Nur Muhammad ini maka Allah kemudian menciptakan seluruh jagat raya alam semesta dan makhluk-makhluk berikutnya. Nanti mungkin akan ada perkembangan dunia sholawat yang luar biasa di Indonesia dan itu tidak dilakukan oleh masyarakat Islam di dunia manapun. Mudah-mudahan ini merupakan tanda bahwa umat Islam di Indonesia dititipi Allah kebangkitan Islam di masa yang akan datang. Kebangkitan Islam bukan kebangkitan yang menindas umat lain, tapi yang mengayomi umat lain ”Kita akan menciptkan tradisi sholawat Maulidun Nur, bukan untuk menyaingi siapa-siapa, ini Mamayu Hayuning Bawono, menambah keindahan Islam, manambah keindahan kehidupan.

Terakhir pesan Cak Nun, “Seluruh pembicaraan mengenai Takeran ini terletak pada fatwa utama Cak Fuad tadi malam di PadhangMbulan, bahwa Jamaah Miayah mulai hari ini mohon dengan sangat untuk lebih melakukan kehati-hatian dan pemikiran, penghitungan kembali ketika menyebut atau melakukan pemahaman terhadap sejumlah idiom atau istilah yang penting. Kalau kamu dengar kata kiai, pikirkan lagi, kiai itu apa, begitu juga kata ustadz silakan dipikir ulang ustadz itu harusnya bagaimana, siapa dia, tugasya apa, dari mana asal usulnya, jangan gampang-gampang meng-ustadkan orang, jangan gampang-gampang tidak meng-ustadkan orang, begitu juga Gus, Kiai, Habib, Musrsyid, Ulama, itu dipikir kembali. Kalau Cak tidak masalah. Tolong ambil jarak epistimologis dari setiap idiom-idiom yang saat ini sudah kehilangan takeran di masyarakat. Karana selama ini yang menciptakan takeran bukanlah orang yang berhak menciptakan takeran, misalnya siapa yang mengakui seseorang menjadi Kiai atau bukan, seharusnya yang mengakui adalah umatnya. Siapakah yang mengijinkan seseoarang orang menjadi imam, tidak lain adalah makmummya.  Nah selama ini karana ada industrialisasi dan kapitalisme maka yang menentukan siapan ulama atau bukan itu bukan umat, tetapi pemerintah dan industri. Mudah-mudahan setelah pulang dari sini, Anda bisa lebih cerdas, lebih santun lebih lapang, sebisa mungkin hindari perdebatan, kalau perdebatan membawa manfaat silakan diteruska, tapi kalau tidak hentikan saja”.

“Umur-umur rata-rata orang Indonesia adalah seumuran Anda, yakni 27,5 tahun,  sehingga Anda sebagai mayoritas penduduk Indonesia, dan Anda adalah orang yang akan harus kerja keras setelah 2015, kerja keras dalam arti Anda yang memimpin kematangan di Indonesia, yang akan menjadi tanah-tanah perdikan yang luar biasa makmurnya, membikin mercusuar untuk seluaruh dunia, dan Islamnya adalah Islam yang diidamkan-idamkan oleh semua manusia di dunia, adalah Islam yang diolah, digarab, dan diruwat oleh Islamnya Indonesia”.

Hasbnaaall wani’mal wakil, Ni’mal maula wani’man Nashiir..
[redBbW-Adhon-Zia]

11/11/12

SAYAP SAYAP KERBAU


Sayap-Sayap Kerbau

Di tengah padang yang terbuka luas, dua orang musafir berdebat tentang sebuah titik hitam yang tampak nun jauh di depan. Yang seorang menyatakan, titik itu tak lain seekor kerbau. Sementara lainnya sangat meyakini, itu seekor banteng.
Riuh rendah mereka berdebat dengan argumentasinya. Karena tidak ada titik temu, satu-satunya jalan yang mereka sepakati adalah bersegera mendatangi titik itu ke tempatnya.
Maka, mereka pun berjalan menyusuri padang, sambil terus berdebat, beradu wacana, mempertandingkan acuan, referensi dan pengalaman. Sampai akhirnya mereka hampir tiba di titik yang dituju. Namun, sebelum mereka melihat persis apa gerangan ia, titik itu tiba-tiba melesat, terbang dari tempatnya, melayang-layang ke angkasa.
“Burung!” kata salah seorang, “Apa saya bilang”. “Tidak bisa!” sahut lainnya.
Keduanya berlari mendekat, meskipun si benda terbang itu melesat makin jauh dan tinggi. Akhirnya, mereka berhenti dengan sendirinya dengan napas terengah-engah.
“Kerbau!” kata orang kedua.
“Kerbau bagaimana?” orang pertama membantah, “Sudah jelas benda itu bisa terbang, pasti burung!”
“Kerbau!” orang kedua bersikeras, “Pokoknya kerbau! Meskipun bisa terbang, pokoknya kerbau!”
Saya doakan dengan tulus ikhlas semoga Allah melindungi Anda dari kemungkinan memiliki teman, saudara, istri, rekanan kerja, direktur, bawahan, pemerintah, penguasa, pemimpin atau apa pun, yang wataknya seperti si pengucap kerbau itu.
Kalau nyatanya Anda telanjur memiliki sahabat kehidupan yang habitat mentalnya seperti itu, saya hanya bisa menganjurkan agar Anda bersegera menyelenggarakan ruwatan bagi nasib Anda sendiri. Atau, tempuhlah cara yang lebih relegius: puasa empat puluh hari, salat hajat tiap malam, mencari wirid-wirid paling sakti yang memungkinkan Anda terlindung oleh para malaikat Allah dari spesies manusia semacam itu.
Cobalah kata “kerbau” itu Anda ganti dengan kata lain. Umpamanya reformasi. Kata “terbang” bisa Anda ganti dengan kata lain, yang relevan terhadap reformasi. Ucapkan kata-kata semacam tokoh kita itu, “Meskipun saya mempertahankan agar segala sesuatunya harus tetap mapan, stabil dan buntu, tapi yang penting pokoknya saya ini pendukung reformasi!”
“Meskipun saya bisa sampai ke wilayah yang serba menggiurkan ini, serta duduk di kursi yang penuh wewangian ini berkat proses dan mekanisme nepotisme dan feodalisme, tapi yang penting pokoknya saya antinepotisme”.
“Meskipun terus terjadi ketertutupan, pembungkaman dan pemusnahan, tapi pokoknya ini keterbukaan dan demokrasi”.
“Meskipun saya berbuat tidak adil, tapi pokoknya saya anjurkan agar saudara-saudara berbuat adil”.
“Meskipun habis-habisan saya melanggar hukum, tapi pokoknya saya ini penegak hukum”.
“Meskipun sebagai pihak yang diamanati oleh rakyat dan digaji oleh rakyat, saya tidak pernah minta maaf kepada rakyat atas terjadinya kebangkrutan negara dan krisis total, tapi yang penting pokoknya saya bukan pemerintah yang buruk”.
“Meskipun kita kandas di landasan, tapi yang penting pokoknya ini adalah tinggal landas”.
“Meskipun harga bukan hanya naik tapi lompat galah, yang penting pokoknya ini bukan kenaikan melainkan penyesuaian”.
Memang tidak ada makhluk Tuhan yang cakrawala kemungkinannya melebihi manusia. Manusia adalah sepandai-pandainya makhluk, namun ia bisa menjadi sedungu-dungunya hamba Tuhan. Ular saja mengerti persis kapan ia harus makan, seberapa banyak yang sebaiknya ia makan, serta kapan ia mesti berhenti makan. Sementara manusia makan kapan saja, menangguk keuntungan tak terbatas sebanyak-banyaknya — seandainya ia tak dibatasi oleh maut.
Manusia itu paling lembut, tapi ia juga yang paling kasar. Manusia bisa mencapai kemuliaan kepatuhan kepada Tuhan, namun ia juga mampu melorot ke titik paling nadir untuk bandel, mokong, mbalela dan makar. Untunglah, Allah itu sendiri adalah khoirul makirin: sebaik-baiknya pelaku makar.
Manusialah mahluk Allah termulia. Ahsani taqwim. Tapi ia juga yang paling hina dan paling rendah. Asfala safilin.
Doa kita hanya sekalimat: “Ya Allah, makhlukMu yang asfala safilin, tolong jangan izinkan punya kekuasaan dan memegang senjata. Amin.”

10/11/12

MARKESOT BERTUTUR DI DUA ZAMAN

www.caknun.com

Markesot Bertutur di Dua Zaman

Jika diminta berbicara tentang “sejarah” Markesot, jujur saja sebenarnya saya bukan orang yang tepat. Maklumlah, pada saat “kelahiran” Markesot, saya masih duduk di bangku SMP. Belum ngehdan mengenal Cak Nun dan Markesot. Maka, saya akan lebih banyak bertutur tentang perjumpaan pribadi dengan Markesot, plus cerita-cerita yang saya dengar dari para senior mengenai sejarah Markesot (dan buku-buku Cak Nun lainnya) dan Mizan. Kemudian, saya akan lebih berfokus pada masa kini dan (kemungkinan) masa depan Markesot, ketimbang berkutat pada masa lalu.

Saya dan Markesot

Seperti yang sudah disebutkan, pertama kali buku Markesot terbit (1993), saya masih SMP. Wajar kalau Cak Nun dan Markesot belum masuk perhatian saya. Seingat saya, perjumpaan pertama dengan Markesot adalah di tahap-tahap akhir masa SMA. Saya tidak ingat bagaimana persisnya proses perkenalan itu. Tapi sepertinya bersamaan dengan mulai tumbuhnya minat saya pada sastra, sehingga Cak Nun, terutama puisi-puisinya, mulai tertangkap radar saya.
Pertama kali membaca, jujur saja mungkin hanya 50% atau bahkan 40% isinya yang bisa saya serap. Banyak pemikiran, istilah, konteks yang maqam-nya di luar jangkauan saya yang masih berpikiran SMA zaman Orde Baru. Tapi, dari hanya 40-50% yang terserap itu, tetap saya temukan pesona Markesot. Yang pertama nyangkut tentulah candaan-candaan dan pengalaman unik yang dituturkan secara ndagel khas Jawa Timuran.  Tapi lebih dari itu, bagi saya, Markesot mampu mengajak kita memandang realitas, bukan sekadar menerima dan mengikuti. Pun memandangnya sering dari sudut yang tak kita sangka-sangka. Eksplorasinya sungguh gila-gilaan, baik dari segi bahasa maupun pemikiran. Pokoknya akrobatis. Efeknya cukup fantastis terhadap saya, anak SMA yang sedang gandrung Saint Seiya, Tiger Wong, dan Kungfu Boy.
Kalau tak salah ingat, buku Markesot adalah juga salah satu dari buku Mizan pertama yang saya baca.
Tak terlintas sedikit pun di benak saya ketika itu, bagai ditarik pusaran misterius, saya akan dipertemukan dengan Mizan, Markesot, dan Cak Nun, belasan tahun kemudian…

Mizan dan Markesot

Setelah saya bergabung ke dalam keluarga Mizan, barulah saya mulai memahami femonena Markesot secara lebih utuh. Sebagai the next generation di Mizan, saya mendengar “legenda” Markesot disebut-sebut para senior saya, generasi salaf Mizan.
Buku-buku Emha boleh dibilang menjadi tonggak atau tanda tahap baru dalam sejarah Mizan. Pada awalnya, Mizan mengkhususkan diri menerbitkan buku-buku pemikiran Islam yang bercorak akademis — kebanyakan terjemahan. Dengan terbitnya buku Emha — tepatnya yang pertama adalah Dari Pojok Sejarah, tahun 1985 — Mizan mulai memasuki ranah sosial-budaya yang lebih membumi di Indonesia.
Dan juga sekaligus tanda Mizan mulai memasuki sikap kritis. Mungkin susah dibayangkan pembaca sekarang, generasi era kebebasan informasi, tapi tulisan Cak Nun pada zaman Orde Baru tergolong sangat berani. Soal keberanian ini menyimpan sebuah cerita menarik dalam sejarah Mizan. Ketika akan menerbitkan sebuah buku Cak Nun, Mizan sempat menemukan kesulitan menyettingnya. Kenapa? Pada saat itu, setting buku belum menggunakan komputer, masih manual menggunakan mesin setting. Mizan belum punya alat itu, sehingga setiap kali mau menerbitkan buku harus mengorder ke jasa setting. Nah, para setter yang membaca naskah Emha, langsung keder, tidak berani, dan mengembalikan naskahnya ke Mizan. Berpindah-pindah, berkeliling ke semua jasa setting yang ada di Bandung, hasilnya sama. Tidak ada yang berani. Akhirnya Mizan memutuskan membeli mesin setting sendiri. Demi menerbitkan buku Emha.
Tapi toh keberanian itu berbuah manis. Alkisah, seorang kepala toko di Jakarta memasang spanduk besar mengiklankan Markesot Bertutur, sangat besar sampai-sampai menutupi seluruh muka toko, termasuk papan nama toko itu. Perbuatan nekad, karena sebelumnya tidak ada yang seberani itu. Alhasil, dia dipanggil atasannya. Bukan untuk dimarahi atau diberi sanksi, tapi dipromosikan. Karena penjualan Markesot terbilang fenomenal saat itu.

Masa Kini Markesot

Tahun 1993. Sekarang 2012. Nyaris genap 20 tahun usia Markesot. Tentu banyak hal yang sudah berubah. Apakah Markesot masih relevan? Masihkah bukunya layak diterbitkan ulang?
Yang jelas, banyak orang merindukan Markesot. Berkali-kali saya bertemu orang yang menanyakan apakah bisa membeli buku Markesot. Mizan pun termasuk yang merindukan sosok seperti Markesot. Dulu, gelanggang kepenulisan di Indonesia dipenuhi esais-esais ulung. Rasanya, kini ada kelowongan sosok esais tanguh di Indonesia, terutama yang mampu memberikan tafsiran-tafsiran sosial-budaya yang mencerahkan sambil disuguhkan secara komunikatif. Maka, selain sebagai obat kerinduan, hadirnya kembali markesot ini semoga bisa memancing tampilnya Markesot-Markesot baru.
Tentang pertanyaan relevansi Markesot pada masa kini, saya menemukan jawabannya saat mempersiapkan penerbitan ulang bukunya. Mau tidak mau saya pun membaca ulang Markesot, karena terlibat dalam proses pengecekan ulang. Dan dengan otak saya yang sekarang, mungkin 80-90% yang bisa saya tangkap.
Anehnya, meski usianya nyaris 20 tahun, buku ini kok rasanya begitu pas membidik permasalahan-permasalahan zaman sekarang. Meski tentu ada perbedaan konteks dan perubahan situasi, dalam beberapa hal hakikat permasalahannya tetap sama. Dulu yang dibahas masalah Perang Teluk, ternyata sampai sekarang Amerika tetap ugal-ugalan di sana, malah merembet ke Afghanistan dan terus-terusan ngincer Iran. Mentalitas pejabat maupun masyarakat Indonesia yang disindir Markesot juga relatif masih sama. Artinya, ada kemungkinan bahwa meskipun Markesot lahir di suatu kurun waktu dan bereaksi pada konteks situasi tertentu, pertanyaan dan jawabannya sesungguhnya membidik suatu tema yang abadi. Atau, kemungkinan yang lebih memprihatinkan, sebenarnya kita, Indonesia, pada level hakiki belum banyak berubah selama 20 tahun ini….

Masa Depan Markesot

Kita tentu sepakat, nostalgia tidak cukup. Lebih penting lagi adalah memandang masa depan. Sejarah penting. Melestarikan dan mewariskan itu penting. Tapi, mengutip salah seorang guru saya, melestarikan dan mewariskan itu jalan di tempat. Kita perlu berjalan maju. Dan jalan itu adalah pengembangan.
Oleh karena itu, setiap kali Mizan menerbitkan ulang karya lama, perhatian utamanya bukan untuk mengenang. Tetapi untuk membuka zaman baru. Dengan terus hadirnya karya lama yang penting, rantai pemikiran masyarakat tidak terputus. Maka, harapan terbesar Mizan dengan kembalinya Markesot, selain menjumpai pembaca-pembaca lamanya, adalah tumbuhnya generasi baru pembaca Markesot. Dan dari generasi baru ini akan tumbuh Markesot-Markesot baru, atau bahkan yang melebihi Markesot.
Kehadiran kembali Markesot di zaman yang berbeda ini menggelitik rasa ingin tahu kita juga. Bagaimanapun, ada perbedaan-perbedaan signifikan dibanding masa kelahiran Markesot. Bagaimana sikap Markesot pada era kebebasan informasi, bukannya era pembatasan segala hal? Bagaimana sikap Markesot terhadap era IT? Apakah Markesot juga akan facebookantwitteran,BBMan? Dan masih banyak lagi kemungkinan yang membuka peluang untuk eksperimen-eksperimen menarik.
Tentu, masa depan Markesot tidak mesti berwujud Markesot. Generasi baru pembacanya bisa saja menyerap “kode genetik”-nya dan menciptakan tokoh baru. Bagi saya, Markesot memiliki kesamaan gen dengan tokoh-tokoh semacam Nasrudin Hoja, Abu Nawas, Si Kabayan, Pak Lebai Malang, atau termasuk mungkin punakawan. Tokoh-tokoh jester, tokoh-tokoh folklore yang seolah konyol tapi sebenarnya memberi kritik-kritik sosial dan terhadap cara berpikir kita. Mereka adalah tokoh-tokoh immortal, abadi. Setiap generasi baru membuat interpretasi baru dan cerita-cerita baru berdasarkan karakter-karakter itu. Markesot pun berpeluang menjadiimmortal, baik tetap dengan nama Markesot maupun dalam penitisan-penitisan baru. Markesot bisa jadi akan berusia lebih panjang dari kita semua….
Bandung, 4 November 2012

REPORTASE MAIYAH PADHANG MBULAN 30 OCTOBER


Reportase PadhangMbulan 30 Oktober 2012 - Sepenggal Jejak Maiyah Untuk Indonesia

oleh: Buletin maiyah jatim 

Sepenggal Jejak Maiyah Untuk Indonesia

Suasana PadhangMbulan kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya, nampak di sekitar pelataran komplek makam Sentono Arum mulai ditanami beberapa jenis tanaman, pohon, sebagai progam penghijauan yang sudah dicanangkan bulan lalu. Lek Hammad mengawali dengan memberi informasi mengenai program penghijauan ini, dengan mengungkapkan masih sangat diperlukan banyak tanaman lagi dari partisipasi Jamaah, setidaknya  akan ada 5000 jenis tanaman yang akan menghijaukan lingkungan tanah padhangMbulan ini diantaranya tanaman sayur, tanaman obat, pohon buah dan sebagainya. "Dengan program penghijauan ini, minimal pada malam padhangmbulan seperti ini hidup kita bisa lebih hijau, hati kita bisa lebih teduh dalam memandang berbagai macam persoalan”, tegas Lek Hammad.

Selanjutnya Cak Fuad menguraikan ayat-ayat yang berkaitan dengan Idul Adha. Selama ini kita tahu bahwa ayat yang menyuruh kita untuk berqurban adalah QS Al-Kautsar. Adapun Azbabun Nuzul QS al-Kautsar ini, pada saat Rasulullah menerima surat tersebut, beliau seolah-olah seperti pingsan, begitu sadar beliau langsung tersenyum, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa al-Kautsar adalah pintu  surga yang khusus disediakan untuk beliau. Namun ayat yang spesifik perintah Qurban adalah  QS. Al-Hajj : 34 sampai ayat 37. Inti dari  ayat-ayat tersebut adalah untuk menegaskan bahwa berqurban itu hendaknya dilakukan Lillah, hanya untuk Allah, berbeda dengn agama tradisi lainnya dimana banyak ditujukan agar meredam amarah penguasa atau tuhannya. Dan yang diminta Allah ketika kita berqurban bukanlah daging qurban itu sendiri, melainkan ketaqwaan, kepatuhan atau keikhlasannya. Adapun ciri-ciri orang yang Patuh (mukhbitin) dalam ayat tersebut yakni :
1. Apabila disebut nama Allah hatinya bergetar
2. Sabar
3. Mendirikan sholat
4. Senang bersedekah. 

Cak Fuad mengutip kisah M. Natsir, salah satu tokoh pejuang dari Masyumi : "Di Indonesia pada saat jaman kemerdekaan, banyak sekali orang tua yang berlaku layaknya Nabi Ibrahim yakni  mendorong anaknya ke medan perang, sedangkan anak muda pada saat itu juga dikatakan sebagai Ismail, yang sama sekali tidak mempunyai rasa takut. Coba kita bandingkan pada jaman sekarang?”, tanya Cak Fuad. Dalam hal mencontoh Nabi, Cak Fuad menyerukan kepada kita untuk dipilah dulu, mana yang bagian agama mana yang hanya sekedar tradisi. Misal ketika nabi Makan. Nabi selalu berdo'a sebelum makan itu adalah bagian dari Agama, sedangkan ketika Nabi  yang selalu makan dengan tiga jari itu bisa jadi karena memang pada saat itu yang dimakan adalah kurma, roti, dan sejenisnya. Bisa jadi kalau seandainya Nabi diturunkan di Jepang, maka tradisi makannya mungkin juga memakai sumpit.   
“Hakikat Qurban disamping disebut al-Qur'an al-Hajj tadi untuk membentuk sikap jiwa tunduk kepada Allah, juga merelakan apapun untuk kepentingan orang lain. Qurban bisa dikatakan sebagai menyembelih egoisme, menyembelih keserakahan. Kebahagiaan kita sebenarnya adalah ketika kita bisa berbuat Ihsan”, jelas Cak Fuad.

Dilanjutkan dengan Uraian-uraian Cak Nun yang menyinggung tentang penggunaan idiom atau istilah-istilah yang saat ini banyak mengalami pendangkalan. Semua kata yang bernilai sudah habis dipakai orang-orang untuk direndahkan. Misal para koruptor sekarang menggunakan kata sandi atau istilah Kiai untuk menyebut anggota DPR, terkait dengan proyek yang sedang di korup. Istilah Pesantren  adalah sebutan untuk badan atau kementrian yang mengeluarkan proyek. Istilah Tahlilan adalah meeting atau pertemuannya. Sehingga ketika para koruptor yang menggunakan istilah-istilah itu melalui SMS, maka itu tidak akan bisa dijadikan fakta hukum yang bisa menjeratnya. “Ada fenomena yang Allah melegitimasi langsung yakni, summum bukmun umyun fahum la yarji’un (mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan bisa kembali), La yarji’un itu kan tidak bisa disembuhkan”, jelas Cak Nun.

Fenomena lain, yakni Kebanyakan isi TV bukan hanya tidak mengakui Indonesia, tapi juga bahkan menghina, seolah-olah merekalah yang meng-klaim dirinya paling nasionalis. Coba liat sinetron-sinetron, seolah-olah ada aturan tidak tertulis dalam skenario budaya sinetron yang  kebanyakan mengharuskan bintangnya adalah yang berwajah luar, bukan yang berwajah jawa. “Itu rasisme, nasionalisme, apa proteksi atau apa? Kalau dikatakan rasisme, sebetulnya rasis itu sendiri ilmu yang menolong kamu, atau malah justru yang menipumu? Sebentar-bentar kok dibilang rasis.”
 Misal ungkapan “Dasar chinaa”, kita tahu orang china itu sejarahnya beda dengan pribumi, dia berasal dari luar, hatinya berbeda, psikologinya berbeda, kumpulan-kumpulan dan tradisinya juga berbeda, maka istilah “Dasar china” itu kan memang bener adanya, dan itu bukan rasis. Misalkan lagi Apakah kalau Rahmatan lil ‘Alamin, Nabi yang untuk seluruh umat manusia itu apakah tidak boleh dibedakan antara manusia Asia, manusia Eropa, ini kulit putih, kulit hitam, apakah dikatakan rasis? Kan tidak jelas juga sebenarnya. “Jadi Setiap kata-kata seperti rasisme, HAM, primordial, pluralisme, neoliberalisme itu kalau bisa jangan dipakai dulu, lebih baik pelajari dulu”, pesan Cak Nun.

“Kita sudah ratusan tahun disesatkan oleh berbagai kesalahan kata-kata, idiom, istilah, dari masalah yang menyangkut politik, budaya, agama, hingga apa saja, maka produknya adalah keseleo otak. Sudah tidak bisa membedakan mana pohon, mana akar, beda antara kaspe, jemblem, dan gethuk. Tidak bisa membedakan agama sama mazhab.  Madzhab dianggap Agama, Kaspe dianggap Jemblem. Wong saiki rumangsane panen seggo, bukan panen pari”.
Menurut Cak Nun, kebodohan orang yang "keseleo otak"nya ini  dimanfaatkan oleh orang yang mempunyai kekuasaan dan  ingin menguasai kekayaan Indonesia, menguasai minyak, dengan cara melakukan adu domba orang-orang yang keseleo otaknya tersebut. Maka ada yang lewat langsung dari Amerika ke Polri, terus densus 88, yang tugasnya mencari seggo karak, pokoknya kalau ada karakberarti itu teroris, langsung saja ditangkap, meski karak itu tidak melakukan apa-apa. Padahal di dalam hukum, yang seharusnya disalahkan itu adalah perbuatan, bukan identitasnya. Kira-kira karak yang diam itu salah apa tidak? Tentu saja tidak salah, tapi kalau karak itu dilempar ke wajahmu,  perbuatan itulah yang salah, bukan karaknya. Dalam konteks Densus 88 dan terorisme saat ini, semua orang bisa bilang, ini lho teroris silakan ditangkap, dan hingga saat ini tidak ada yang kritis terhadap hal ini. Kok ada penangkapan terhadap terorisme, identitas kok ditangkap. "Maka dari itu Jamaah PadhangmBulan jangan sampai keseleo otak, jangan sampai keseleo hati, dan mental, meskipun untuk sementara kita harus ikhlas  tidak bisa diberi kemungkinan menyembuhkan orang-orang yang keseleo tadi. "Wong aku dewe ae, mencari kesempurnaan sikap kanjeng Nabi hingga sekarang saja masih belum sampe, lha kok dipaksa suruh mempelajari apa itu syiah-sunni, ahlul bait, dan lain-lain. Coba mulai sekarang Jamaah Maiyah mengambil jarak intelektual, tafakkur dengan penggunaan idiom-ideom seperti Habib, Gus, Kiai, Ulama, Da’i, kalau bisa itu jangan dipakai dulu, dipelajari dulu”.

“Penipuan-penipuan seperti itu sangat banyak, dan Kita yang disini minimum jangan mau dijadikan kelinci yang mau dijadikan percobaan dan rekayasa mereka semua. Sebetulnya ada juga jalur penipuan lain, seperti dari jalur dari kedutaan Amerika langsung melalui jaringan berbagai foundation-foundationnya, jalur kesenian, mahasiswa, ormas, buruh, dan satu-satunya yang tidak bisa mereka sentuh adalah Maiyah”, tegas Cak Nun. Cak Fuad menambahkan bahwa banyak hal yang kita bicara namun tidak faham, jadi oleh karena itu dalam banyak hal kita harus belajar dulu baru bicara.  Beliau mengutip Imam Syafi’i : "Pendapat saya ini benar, tapi mungkin ada salahnya. Pendapat si B ini salah menurut saya, tapi mungkin saja ada benarnya”. Jadi masih terbuka ruang untuk terus mencari kebenaran, dan itu tidak bisa ditemukan dalam suatu perdebatan. Kebenaran bisa ditemukan kalau orang mau berpikir sendiri, berdiskusi dan mohon petunjuk kepada Allah. Jangan gampang-gampang menuduh ini syirik, tapi jangan gampang juga menuduh ini itu bukan syirik, ini bid'ah. Mari kita coba pelajari dulu semuanya. Kalaupun ada perbedaan, pilah dulu mana yang wilayah khilafiyah (pertentangan yang sifatnya prinsipil) mana yang sekedar ikhtilafiyah (perbedaan biasa).

Cak Fuad juga mencontohkan sikap media kepada polisi, beliau bertanya kepada jamaah, “media itu kira-kira 100% percaya tidak kepada polisi kalau membahas soal korupsi?” kebanyakan menjawab tidak. “Tapi kenapa media 100% percaya pada polisi kalau menyangkut masalah terorisme? Tidak ada keraguan, tidak ada filter informasi, bahkan blow-up sedemikia rupa, maka kita jangan terbawa, kita harus cerdas memilih dan memilah informasi-informasi itu”, pesan cak Fuad.

Terkait dengan masalah rasisme yang sempat disampaikan Cak Nun tadi, Cak Fuad memberi contoh pada jaman Nabi,  ketika peristiwa  khotbatul wada Rasulullah mengatakan bahwa Tidak ada keunggulan atas bangsa Arab atas bangsa non Arab, dan juga tida ada keunggulan atas bangsa non Arab, atas bangsa Arab. Jadi yang dikatakan “tidak ada” itu keunggulan, bukan perbedaan. Kemudian Nabi juga marah pada Abu Dzar yang memaki Bilal ketika mereka bertengkar, dengan memanggil Bilal,Ya Ibna Saudak, Wahai anak dari perempuan hitam. Maka nabi marah mendengar ucapan Abu Dzar tersebut, dengan menanaggapi dan berkata “kamu ini adalah orang yang masih memunyai sifat jahiliyah, yang menghinakan manusia berdasarkan warna kulit”. Konteksnya pada jaman Rasulullah seperti itu, apakah itu dapat disebut sebagai rasis, karena suatu istilah itu maknanya juga berkembang dari satu waktu ke waktu berdasarkan perkembangan situasi dan kondisi.


Jowo Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat


Selama ini kita terkesan malu jadi orang jawa, jowone ga digowo, kalau di senetron orang jawa selalu direndahkan, mendapat peran sebagai pembantu dengan logat medokyang dipaksakan. Arab ditelan begitu saja, misal belum berangkat umroh saja sudah berpakaian seperti Abu Jahal. Tapi itu tidak apa-apa, Hak Asasi Manusia. Konsep Hak Azasi Manusia itupun sebenarnya menurut Cak Nun adalah ideologi Anti Allah yang luar biasa.  Hak Asasi Manusia adalah ideologi untuk melakukan apa saja termasuk juga agar untuk tidak apa-apa kalau dianggap hewan. Dalam pengertian Cak Nun, justru yang menjadi  visi utama kita adalah Kewajiban Asazi Manusia. Jadi perilaku kita harus dalam batas manusia, jangan berlaku non manusia, jangan berlaku syetan, jangan berlaku malaikat, jangan berlaku hewan, jangan berlaku tanaman. Ada baiknya menjadi tanaman, tapi tanaman tidak punya dinamika, tidak punya pemikiran, tidak punya kreatifitas.  Maka yang paling tepat adalah Wajib Azasi Manusia, bukan Hak Asasi Manusia. Bahkan di Amerika sendiri, Hak Asasi Manusia tidak pernah diterapkan. Itukan sebenarnya salah satu cara mereka untuk menipu kita, mereka tidak pernah punya budaya lokal, mereka adalah orang yang berkumpul dari berbagai macam negara yang disana mereka tidak punya akar. Semua orang Amerika tidak pernah punya akar, mereka adalah orang yang tercerabut dan mencerabut dirinya dari akar, dan berkumpul menjadi satu, kemudian membikin idiologi dunia. Kalau globlaisasi datang  dari Amerika maka harus segera di-ruwat, dalam arti lakukan upayadetoksifikasi, racun-racunnya harus dihilangkan. Begitu juga Arab juga harus digarab. Tidak malah menjadi orang Arab. Islamnya orang Arab itu berbeda dengan Islamnya orang Jawa, meskipun secara prinsip, akidah, akhlaknya sama, tapi output kebudayaan Islam itu jelas beda. Misalnya saja Konsep “Birrul Walidain”.  Kita adalah bangsa yang paling punya kelembutan hati untuk menerapkan "Birrul Walidain" itu, kita punya budaya sopan santun bahasa dan budaya kepada orang tua yang tidak dimiliki Amerika bahkan Arab sekalipun.  Kita juga punya mendem jerro mikul duwur, semakin tua semakin dijunjung. Di Amerika tidak ada, begitu umur pensiun, langsung dikumpulkan ke panti Jompo, dan itu adalah siksaan bagi orang-orang tua di Amerika. “InysaAllah kita di PadhangMbulan dan Maiyah ini,adalah sebagai upaya untuk mencari kesejatian hidup dengan melakukan pengambilan jarak atau transendensi dari penipuan-penipuan yang luar biasa, terhadap kekonyolan-kekonyolan hidup”, urai Cak Nun.

Sebagai contoh ketidaktepatan lagi, Cak Nun mengungkap  budaya tawur, kenapa masalah tawuran hanya fokus pada kasus tawuran anak SMA. Bahkan ESQ menawarkan pihak SMA yang terlibat tawuran untuk ditraining. Kecil kemungkingkinan mereka akan tawuran lagi dalam waktu dekat. Justru yg perlu di training adalah semua SMA lainnya yang berpotensi tawuran. Padahal tak ada satupun dari kita yang tidak tawur. Presiden SBY dan Anas tawur.  Demokrat dan Nasdem tawur, DPR tawur. Bahkan di dalam pikiran kita selalu berkecamuk dan terus-menerus berlangsung  tawur. “Maiyah minimum tidak ikut tawur, meskipun belum bisa, minimum mendamaikan orang yang tawur. Di Maiyah itu tidak ada ajaran, yang ada hanya latihan-latihan, atau dalam istilah tasawuf disebut riyadloh, riyadhotul ilm, ridhotul fikr, riyadhotul ruh, bukan ajaran, bukan fatwa, apalagi agama. Kita bersama-sama berriyadhoh supaya bisa mengambil keputusan yang tepat di dalam kehidupan kita, di bidang apa saja”.

Mas Anang dari Tulungagung, pada sesi tanya jawab kali ini beliau  sharing mengenai banyak hal mengenai perbedaan-perbedaan, diantaranya mengenai Orang salafi yang sering membawa doktrin-doktrin tertentu. Cak Fuad menanggapi bahwa yang tidak disadari kadang-kadang kita juga sering membawa doktrin kepada orang lain. Salah satu kesalahan kita diantaranya, kita terlalu sering men-generalisasi atau memberi stigma pada orang yang beda paham dengan kita. Kita lihat dulu pendapatnya apa, jangan langsung memberi label sebelum kita pelajari semuanya. 

Cak Nun merespon  mengenai tafsir Liberal yang ditanyakan salah satu jamaah, sederhana saja : "kalau kepada orang lain, saya lebih baik mencari kebaikan daripada kejelekannya. Sementara pada diri sendiri, saya lebih baik mencari kejelekan daripada kebaikan". Soal bid'ah, Cak Nun menjelaskan, itu hanya berlaku pada wilayah ibadah Mahdoh (wajib), sedangkan di wilayah ibadah muamalah (interaksi sosial) tidak berlaku. Ada juga yang membedakan bid'ah Hasanah (yg baik) dan bid’ah dholalah. Siapa yang berhak menentukan ini Hasanah atau Dholalah? Ukurannya lebih kompleks lagi. Cak Nun cenderung menghindar dari pembagian hasanah-dolalah atau sayyiah sebab itu akan menjadikan kita repot, siapa nantinya yang akan menentukan? Bupati? Ulama? majelis tarjih? bahstul matsa’il? Apa dasarnya kita harus taat pada lembaga itu? Apa dasarnya kita harus taat pada majelis ulama? Apa dasarnya kita taat pada bahsul masta’il? Padahal dalam al-qur’an, yang mutlak kita taati adalah Allah dan Rasulullah, athi’ullah, waathiurrasul. Tapi kalau ulil amri, seperti pemerintah, ulama, MUI, boleh kita tawar, debat atau kita rundingkan kembali. Cak Fuad menambahkan bahwa bid'ah itu bisa jadi karena karena hal-hal diluar ibadah mahdoh  dianggap sebagai bagian dari ibadah.

Mengenai tulisan Cak Nun yang akhir-akhir ini mulai sering muncul lagi di media, beliau mengklarifikasi, “Saya menulis bukan karena saya ingin nulis, tapi karena memang diperintah, kalo saya diperintah nulis maka saya harus bergabung dalam desain itu. Misal di Gatra saya menulis Allah 2014. Nah supaya orang tidak berpikir pragmatis maka tulisan saya yang ke dua judulnya Para Kekasih Iblis, tapi jangan dilihat iblisnya, lihatlah muatannya apa saja, sebenarnya yang saya maksud adalah kebudayaan yang semuanya sahabat iblis, ya bisa termasuk media, TV, kecuali TV yang shooting disini, lha gak mungkintho iblis mau shooting disini”, ujar Cak Nun yang disambut tawa Jamaah. Terkait tulisan Cak Nun mengenai "Para Kekasih Iblis" ini, beliau berpesan:  "Anda harus bersyukur berlipat-lipat karena menjadi anak buahnya Kanjeng Nabi. Dalam suatu peperangan yang harus kita ketahui dari lawan adalah bagaimana strategi perangnya. Padahal dalam situasi peperangan, tak ada satupun musuh atau lawan  yang mau membocorkannya. Bersyukurlah, karena Iblis bersedia membocorkan "strategi perang"nya kepada Nabi, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya atau tidak”.

Di Kompas yang pertama Cak Nun tulis adalah Nasionalisasi Indonesia, diseluruh bagian isi tulisan  itu tidak ada yang menyinggung masalah Nasionalisasi Indonesia kecuali judulnya saja, dan tak ada satu orang pun yang tanya, kira-kira apa hubungan antara judul dengan isi, ternyata tak ada yang berani bantah. Sebetulnya yang ingin Cak Nun cantolkan buat semua pembaca kelas menengah dengan tulisan Nasionalisasi Indonesia, menyiratkan suatu hari nanti Nasionalisasi ini harus terjadi, bukan hanya nasionalisasi Freeport, nasionalisasi Newmont, nasionalisasi Tambang lainnya, tapi juga Nasionalisasi Indonesai secara keseluruahan, kita rebut kembali Indonesia dari kekuasaan global.

Tulisan Cak Nun yang selanjutnya akan segera muncul dalam waktu dekat yakni Persemakmuran Nusantara. Persemakmuran itu kalau istilah asingnya commonwealth. Inggris, Australia, Malaysia, Selandia Baru itu Commonwealth of British. Kalau dalam istilah Sunan Kalijogo itu dinamakan  sebagai Tanah Perdikan.

Sedikit mereview sejarah, Kenapa ki Ageng Mangir tidak pernah taat kepada Mataram? Menurut Sunan Kalijogo, Kraton Demak itu bukan Kesatuan, tapi Tanah Perdikan, jadi kalau Majapahit dipimpin oleh Prabu Brawijaya, semua wilayah yang ada dalam kekuasaannya berada dalam Kesatuan Majapahit, semua harus mengabdi ke pusat, semua wajib kirim upeti, sistemnya monolik, seperti Tumpeng(mengerucut). Tapi kalau Demak itu bukan dipimpin oleh seorang Prabu, melainkan seorang Sultan, makanya sisitemnya Ambengan, berupa Persemakmuran.

 Oleh Sunan Kalijogo ketika itu, Pangab-nya Mojopahit dijadikan Pangab Demak, sementara anaknya Brawiajaya V yang jumlahnya 43, yang anak pertamanya bernama Raden Patah dijadikan Sultan Demak, sementara saudaranya yang lain dijadikan kepala Tanah Perdikan di berbagai wilayah dari NTT sampai Sumatra, diantaranya Betoro katong, Adipati Jatinom, Adipati Purworejo, Ponorogo, Madiun, dan lain-lain, semuanya adalah anak Brawijaya V. 

Ada transformasi atau peralihan dari negara kesatuan Mojopaphit, menjadi negara persemakmuran Demak, yang menimbulkan ambiguitas sedikit ketika beralih ke Pajang karena Mas Karebet atau Sultan Hadiwijawa (Pendiri sekaligus Raja pertama Pajang) bukan seorang pejuang nilai, Dia adalah orang yang sangat baik, tapi hanya menikmati kebudayaan dan dirinya sendiri sehingga tidak mempertahankan ideologi Persemakmuran itu, jadi Ia tidak ingat bahwa yang harus dipelihara adalahAmbengan, jangan sampai ada Tumpengan lagi. Begitu Pajang beralih ke Mataram atas ketidakwaspadaan Mas Karebet atau Sultan Hadiwijowo ini, sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada pangeran Benowo, tapi malah kepada Jebeng Sutowijoyo, berdirilah kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sutowijoyo yang menggelari dirinya bukan Sultan, tapi juga bukan Prabu, karena sudah tidak bisa besar lagi seperti Mojopahit dulu. Ia mengambil kata yang sangat tidak tepat dalam budaya jawa, yakni gelar Panembahan. 

Raja Mataram pertama namanya Panembahan Senopati. Padahal kalau di Jawa, Panembahan itu  bukan Raja, seperti halnya Begawan, itu juga bukan Raja. Ia memakai gelar Prabu tidak berani, memakai gelar Sultan juga tidak mau, akhirnya Ia mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari setting Walisongo, mau pindah ke Hindu-Budha tidak bisa karena sudah terlanjur masuk Islam, tapi ikut Islamnya juga gak tenanan, akhirnya ikut mitologi Nyai Roro Kidul yang berlangsung hingga sekarang. Jadi kerajaan Mataram, Jogja, Solo itu adalah terusannya Mojopahit dengan kualitas yang rendah. Selama kerajaan Mataram berlangsung, terjadi perebutan terus menerus antara Walisongo dan Kejawen. Cucu Panembahan Senopati yaitu Sultan Agung mencoba mengembalikan lagi konsep Ambengan, tapi di-tumpengkan lagi oleh Amangkurat, dan ditengah-tengah pertikaian itu kemudian Belanda datang.

“Jadi kenapa saya tiba-tiba menulis mengenai Persemakmuran Nusantara? kita sudah mengalami sistem negara Kesatuan sampai hampir 70 tahun dan tidak ada tanda-tanda bahwa kita akan berhasil dengan sistem ini. Bukan berarti saya akan membuat persemakmuran  Nusantara Indonesia, tapi arahnya akan kesana itu. Kalau tidak tercapai kan tidak masalah tho,  wong cita-citamu sendiri tidak pernah tercapai itu kan sudah biasa”, Urai Cak Nun yang disambut riuh tawa Jamaah.

Mas Eko Nuryono yang selama ini menghimpun semua tulisan-tulisan Cak Nun, menyampaikan, saat ini ada upaya pemberangusan SDM Indonesia secara sistematis lewat semua lini.  Kita sangat ditakuti oleh negara barat akan kekayaan potensi yang kita miliki, dengan cara SDM kita diberangus, dan SDA kita dirampok habis-habisan.Kita tidak pernah diberi panggung di kancah Internasional, karena kita bisa jadi panglimanya dunia. Kita sengaja tidak diberi panggung, tidak diberi ruang, dan kita tidak punya kemampuan mengorganisasi, sehingga kita saling sikut-menyikut, saling curiga satu sama lain, tidak mengoptimalkan potensi diri, dan hanya asyik  dengan persoalan-persoalan remeh. Menurut Mas Eko, Cak Nun sudah menangkap gejala itu dengan mengambil jarak terhadap berbagai kekonyolan-kekonyolan, salah satunya  dengan menulis buku "Indonesia Bagian dari Desa Saya". Upaya pengambilan jarak atau transendensi terhadap persoalan-persoalan kekonyolan itu dilakukan agar kita tidak terjebak disana. Mungkin ketika awal-awal Maiyah berdiri, orang akan curiga maiyah akan dibawa kemana, tapi sejarah akhirnya membuktukan bahwa stigma-stigma negatif itu patah semua. Reformasi dipercaya banyak orang bisa membawa perubahan namun tokoh-tokohnya tidak ada yang bisa diharapkan. Orang-orang sudah frustasi dengan negara, frustasi dengan lembaga politik, frustasi dengan para tokoh. Mereka mau bersandar kemana. Di konteks inilah, mas Eko Nuryono melihat tulisan Cak Nun memberi semacam oase, memberi spirit, memberi harapan. Spirit maiyah sudah saatnya disebar. “Sudah saatnya kita harus bergerak keluar”, tegas Mas Eko.

Cak Nun merespon apa yang disampaikan Mas Eko tadi bahwa apa yang dilakukan Maiyah atau Cak Nun sendiri, itu bukan untuk berkuasa di Indonesia atau untuk menjadi apa-apa, kita disini hanya menjalankan tugas dari Allah, menunjukkan jalan untuk Indonesia, terserah, mau dipakai atau tidak. Sebisa mungkin kita sudah menunjukkan dengan batas-batas akal fikiran kita, sudah menunjukkan jalurminadzdzulumati ilannuur-nya Indonesia itu. Yang dimaksud Mas Eko tadi, kalau yang Cak Nun tulis atau dimuat saat era reformasi tahun 2000-an itu, orang-orang masih mencurigai Cak Nun secara politik, tapi setelah lewat reformasi lebih dari 14 tahun, orang-orang sudah tidak  bisa punya alasan untuk mencurigai Cak Nun lagi, sehingga mereka bisa menerima fikiran-fikiran minadzulumat itu secara murni. Jadi tulisan-tulisan ini oleh Allah diijinkan lahirnya setelah orang tidak bisa membuktikan kecurigaan-kecurigaan itu.
 Kedua, sekarang penerbit Kompas dan mizan menerbitkan lagi buku-buku Cak Nun sejak 30 tahun lalu yang ternyata tanpa dirubah sehuruf pun tetap relevan dengan keadaan sekarang. Dan ini akan terbit secara berkala setiap 4 bulan. Kalau di Gatra danKompas minimun 2 minggu sekali. “Jadi sekali-kali Jamaah Maiyah silakan melirik-lirik ke belakang, biar tahu jejak yang kita berikan, bukan jejak Emha Ainun Nadjib, tapi jejak Maiyah ikut serta menunjukkan jalan buat Indonesia, atau Allah suruh perintah kita apa saja, kita standby aja”, ungkap Cak Nun.

Yang ketiga ini rahasia sedikit. Orang masih meletekkan aliran, dan sentimen keagamaan menjadi pertimbangan politik. Dengan terpilihnya Jokowi maka terbukti bahwa parpol sudah di-legitimate.Jokowi dengan PDIP ditawur oleh seluruh parpol yang lain, meski  semua parpol itu tetap kalah. Artinya parpol itu sudah tidak legitimate atau tidak punya dukungan massa. Dan menangnya Jokowi bukan karena PDIP juga, meski seandainya Ia diusung oleh parpol lain, Ia akan tetap menang. Orang sudah bosan dengan masa kini dan tidak percaya pada masa depan. Maka orang-orang  lari ke masa silam, coba lihat sekilas kok potongane seperti embah-embah kita dulu, klunak-klunuk, seperti potongan orang jaman dulu. Jadi orang Indonesia memilih pemimpin Itu bukan urusan politik, begitu tangguhnya kita sehingga tidak bergantung pada baik tidaknya seorang pemimpin.  Orang sedang tidak berpolitik, masyarakat kita tidak sedang berkalkulasi, tidak ada negara tidak apa-apa, toh nanti kita bikin aturan-aturan sendiri. Itu saking hebatnya bangsa Indonesia. Sementara pemimpin yang diatas terus menerus terjebak oleh lobang yang sama.

Kenapa dulu Sukarno kok kelihatannya dekat dengan PKI kemudian membukarkan HMI, Masyumi? Kenapa Ia terkesan memusuhi Islam? sampai hari ini kita tetap jengkel sama Bung Karno soal itu. Kita lihat latar belakangnya, ketika dulu rapat Masyumi berlangsung di rumah Menturo sini, -keluarga Cak Nun semuanya Masyumi, termasuk kiai Wahid Hasyim juga Masyumi. Bung Karno itu pendiri gerakan Non-Blok, satu-satunya pemimpin dunia yang sering disebut dalam pidatonya Imam Khomeini hanyalah Bung Karno. Aspirasinya Bung Karno bukan Uni Soviet, tapi aspirasinya adalah  Non-Blok, sementara Masyumi pada waktu itu tidak mau sama PKI, tidak mau sama Komunis, tidak mau sama Soviet. Ternyata Masyumi pro Amerika. Seadainya Masyumi waktu itu tidak pro Amerika, tidak pro Uni Soviet, tapi mendukung non-Blok, mungkin Bung Karno akan kokoh dan tidak akan terseret untuk salah.  Bung Karno sendirian, tidak punya teman, diberontak oleh sayap ektrim seperti Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, dan sebagainya. Untuk mengatasi pemberontakan itu,Bung Karno dipaksa menanadatangani  surat eksekusi terhadap Kartosuwiryo, yang notabene sahabat karibnya Bung Karno sejak kecil. Bung karno mau tidak mau, gak teggen,  Ia sendirian ditinggal Bung Hatta, ditinggal M. Nastir, ditinggal Kasman Singodimejo, dan temannya yang lain. 

Selama seminggu lamanya Bung Karno menangis, enggan menandatanganinya, tidak kuat hatinya meski akhirnya mau menandatangai surat eksekusi tadi. Sekarang bayangkan Kalau Kartosuwiryo yang menang, apakah Dia akan menangisi eksekusi Sukarno? Wong Bapaknya sendiri dikafirkan, bahkan kadang dihipnotis untuk di cuci otak. Jadi sebenarnya kita salah sejak itu, dan kesalahan itu tidak Kita sadari benar-benar, kita tidak punya guru bangsa yang menjelaskan semuanya secara jernih, nuwun sewu, Gus Dur sepanjang hidupnya hanya benci pada yang berbau Masyumi, HMI,  ICMI, dan kita senang dengan kebencian-kebencian diantara kita, maka kita bikin Maiyah ini untuk menyembuhkan semuanya. “KalauIndonseia tidak bisa ditolong oleh Maiyah, maka Indonesia kecil kita adalah Maiyah ini."  Disini kita tidak ada masalah, Non-blok banget toh kita ini, pengajian tidak aturan, tidak ada hiasan, tidak ada slogan, tidak ada kaligrafi, coba cari di belahan dunia manapun ada pengajian seperti ini, "dikonkon nyumbang ae gak ono”, sindir Cak Nun.

“Gerakan Maiyah tidak akan diberi peluang, tidak usah oleh Amerika, Wahabi, Israel atau apapun, gerakan Maiyah tidak akan diberi peluang otomatis oleh mainstream dan atmosfir masyarakat Indonesia. Maka saya tidak cemas meski dulu Jamaah PadhangMbulan Jumlahnya mencapai ribuan, sekarang hanya tinggal sedikit, saya tidak cemas sama sekali, karena inilah yang sejati, inilah yang bener, inilah yang di jalan rasioanal, perkoro Indonesia menerima atau tidak ya silakan, tapi tetep tak tunjukkan jalannya. Kenapa kita bikin negara tiba-tiba copy paste  dari Amerika. Termasuk undang-undangnya semua copy paste. Kan mestinya bikin gettuk dari kaspe, bukannya malah diserahkan ke Romo Mangun (Guyonan untuk ikon KFC)”, ujar Cak Nun dengan nada canda.
“Ayok kita khusnudzhon, jaga perdamaian, jaga kemashlahatan, jaga rahmatal lil’alamin, dan itulah Maiyah”, tegas Cak Nun yang dilanjutkan dengan do’a penutup.

[red-pb-adhon]