assalamu'alaikum

Assalamu'alaikum

Semua yang ada disini adalah hasil Reportase dari dulur dulur Jamaah Maiyah yang ada di manapun Baik dari Kenduri Cinta(KC) Obor Ilahi(OI) BangBang wetan (BBW) Mocopat syafaat (MS) gambang Syafaat (GS) dan maiyah maiyah lain yng sulit sayaa sebutkan,
Blog ini juga memuat syair ataupun puisi Terutama Milik Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).
Blog ini Juga menampung saran dan kritik juga tidak berkeberatan apabila ada saudara atau pengunjung atau teman bahkan musuh sekalipun yang ingin menuangkan ide dan tulisan tulisanya...

25/08/11

Generasi Yang Menyadap Rembulan



Jaring Nirwan Arsuka
Kelak jika ia telah tersadar, bahwa nanti akan lahir manusia dari tubuhnya, ia tercekam lagi oleh rasa longsor yang menggigilkan, dan terperangah oleh penalaran yang dibikin kekal dalam ingatan.

Terlahir kali longsor itu meyeretnya, adalah saat ia melewati puncak percintaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun dengan sang hujan, yang dengan lembut menjadi kelabu, dan akhirnya melulur batas langit dan bumi, saat langit merah lembayung adalah ketulusan langit pada hijau daratan dan biru lautan. Ia ingat, rasa sakit itu bermula dari rasa cinta terpendam dan tumbuh geramnya kerinduan saat langit memeluk eloknya cakrawala. Rasa sakit itu akibat mencintai komponen alam semesta yang asyik dan sibuk bermimpi dalam tidurnya.
Dahulu ia kira gerimis anugerah yang elemental, tak mengandung apa-apa kecuali kebahagiaan, mungkin lebih tepatnya, kehidupan. Ia merasakannya diantara rinai turun saat ia beristirahat dari alat tenun warisan nenek moyangnya dan ketika ia pulang menyusuri jalan aspal setapak yang melewati kecamatan tempat kelahirannya, dengan pokok-pokok lontar agak kejauhan yang menjulang ke alngit. Sebagian besar kenangan kanaknya terkait dengan hujan, ricik air kali, awan berarak, uap tanah mengepul naik meliputi seluruh cakrawala. Gelombang yang selalu berdebur di kesadarannya yang ditimbulkan dari koor katak-katak bersautan.

Itu adalah kurun ketika ia asyik dengan dirinya sendiri, seperti siput kecil yang damai dalam cangkang berulirnya sendiri yang lancip. Percintaan itu terus ia bawa sampai ke ibu kota. Ia pun tenggelam menuju jantung materi, rasi bintang, dan berbagai hal tentang semesta. Sampai suatu saat ia sadar, bahwa percintaannya dengan hujan adalah pengalaman standart yang ditemuinya pada semua tukang lamun. Saat ia bertanya pada tukang lamun, apa arti tentang hujan? maka dijawablah dengan puisi yang berlarat-larat. Ia pun merasa dirinya mulai tercabik. Saat sebentuk penghianatan dan ketidaksetian kekasih membagi cintanya ke milyaran kebun, seolah membokonginya terus menerus dari belakang. Setelah puas menyumpahi seluruh hujan-seluruh salju dan bintang jatuh yang pernah terlihat di bumi juga ikut terlampiasi, ia kembali meraih kejernihannya. Dan ia mengejek dirinya, mengejek ketamakannya, memonopoli kekasih yang begitu serempak membahagiakan semua manusia.

Yang pasti, sejak saat itu, tiap kali gerimis turun, dan waktu serasa lamban dan rona ungu menjalar tumbuh pada jutaan manusia, ia mulai bertanya untuk apa semua ini? Mungkin memang agar manusia kian menghargai kehidupannya dan cinta mereka pada sesama, pada kedegilan dan ketakterdugaannya, pulih kembali. Dan kehidupan pun bisa  berlangsung, selama mungkin. Tapi untuk apa? Agar hujan dan langit dan jagat raya terus menerus memamerkan ketulusannya dan kebesarannya, hujan ternyata bukanlah ketulusan tapi semacam muslihat yang dirancang sebaik mungkin agar manusia meneruskan kehidupannya, sebagai bidak dan budak yang setelah melamunkan hujan, akan seterusnya melamunkan langit, menyelidiki alam semesta dan segala rahasianya. Kian dasyat penyelidikan itu, akan kian bagus bagi hujan dan langit, sebab itu akan memberi mereka pentas yang kian luas untuk membentangkan diri. Sejak itu seakan busur halilintar meledak dikepalanya. Ia melihat kehidupan dibumi dengan lain.

Tiap kali lamunan dasyat terbit, tiap kali pikiran mekat, tiap kali master peace, maka saat itu bola cahaya terlontar keluar dari bumi. Sebagian besar bola cahaya imajinasi dan pikiran itu karena terlalu membumi dan memanusia, terlempar lalu membentuk busur dengan terhuyung-huyung balik lagi menabrak paras bumi. Ada pula diantara bola cahaya itu yang mengobit, menempuh lingkar imajinasi dan menarik jarak dengan gravitasi bumi dengan segala aspek “sejarah umat manusia”. Sementara jumlah yang lain meluncur keluar dan memancar, menerobos,  masuk jauh ke dalam langit dan mungkin muncul di ruang waktu yang lain. Imajinasi yang kuat melambung dan sanggup melepaskan diri dari ikatan primordial dengan bumi dan manusia ini, biasanya lahir dari orang yang tidak dipedulikan sesama makhluk. Seperti matahari, bumi juga punya “blank spot” kawasan yang penghuninya mengidap kelumpuhan imajinasi-penduduk, yang bercinta seperti manusia dan berhayal seperti kadal. Sebagian besar cahaya imajinasi itu kerlap-kerlip redup. Tapi mereka yang redup ini memberi latar pada sejumlah cahaya yang mencorong dan bertahan melintasi abad demi abad.

Dilihat dari sensor panas imajinasi, maka yang tampak bercahaya dalam tata surya ini bukan “Matahari” melainkan “Bumi”. Diseluruh bimasakti hanya ada satu cahaya yang selama sekian ribu terlahir mulai bersinar, dan dengan belahan yang tertentu jadi lebih terang ketika hujan dan malam mulai turun. Cahaya itu adalah buah dari ‘algoritma’ yang dikonstitusikan dalam kode genetik manusia untuk merealisasikan diri setinggi-tingginya lewat alam dan lewat realisasi manusia itu, alam justru menghamparkan kebesarannya. Begitu cahaya semesta raya itu –teks maha besar itu, akan menuliskan dirinya-. Ia melihat bumi sebagai bongkahan planet yang dulu disebut ibu pertiwi atau dewi gaia, tak lain dari tekstikel tunggal yang akan terus merebakkan milyaran sperma ke dalam keluasan rahim alam semesta. Sperma itu master piece, itu saling memperkuat dan saling mendorong untuk membuahi semesta dan membuatnya melarikan diri sendiri.

*****
Lewat otaknya yang diberikan alam, manusia menumpuk pengetahuan ilmiah yang luar biasa. Tapi pemupukan yang luar biasa dasyat itu, senantiasa dihantui rasa gamang akan kebenaran konstitusi dan kelengkapan itu sendiri. Dengan penegasan bahwa semesta plotonik matematika tak dapat direduksi menjadi aksara berhingga simbol-simbol dan satu gugusan terbatas aksioma dan kaidah-kaidah inferensi, teorima Godel menunjukkan pengetahuan yang konsisten tak pernah lengkap, pengetahuan yang lengkap-pun tak konsisten.

Bagaimana pula manusia yakin, pengetahuannya yang ia timbun tentang kelahiran alam semesta, padahal jarak ruang-waktu yang luar biasa besarnya membuatnya mustahil menyaksikan jagat raya dilahirkan. Mana mungkin manusia dapat menuntaskan pengetahuan tentang alam semesta dengan segenap isinya, padahal ia tahu mustahil mengetahui semesta jika ia terperangkap dalam obyek itu, sementara manusia tak mungkin berada di luar alam semesta yang dihidupinya ini.  Dan kelak, jika suatu saat ditemukan teori maha semesta tentang geologi jagat raya dan semua yang terjadi di dalamnya, peran imajiner superrumit disimpulkan punya kemampuan pengorganisasian data, penjelasan gejala dan peramalan keboleh jadian peristiwa yang benar-benar hebat dan belum pernah dimiliki dunia sekalipun.

****
Bayangan tentang kemungkinan hari depan manusia dan pengetahuannya, sering melintas bayangan tentang masa silamnya. Ingat kalimat Stephen Jay Gould : bahwa manusia bukanlah hasil akhir dari sebuah proses evolusioner yang bergerak maju dan dapat diramalkan, tapi merupakan sebuah –after thought- kosmik yang kebetulan saja. Bagai selonjor ranting halus, mungil, dari belukar kehidupan yang menjulur sangat panjang, yang jika di tanam ulang dari benihnya, tak mungkin bisa menumbuhkan lagi ranting kemanusiaan seperti semula.

Ketika dikabari oleh pembelajar jagat biolog bahwa ia memang mempunyai akar yang cukup jelas sebagai tanaman, namun rapuh, dalam riwayat alam semesta ia juga dilanda rasa longsor berkepanjangan. Sulit juga membantah para ilmuan jujur yang menjelaskan ala statistik. Mereka bilang, ”hidup ini sekedar  aksiden, cuma mampir minum, syukur bisa mabuk”.  Kemungkinan munculnya kehidupan cerdas di bumi ini bukan main kecilnya, melainkan nol besar. Jikalaupun bisa cerdas, bukanlah hal yang istimewa, hanya sepele, seperti gerak hujan dan comberan yang tanpa di intervensipun selalu mencari tempat yang lebih rendah. Tetapi dihati kecilnya ia sudah bergumam bahwa hidup ini bukanlah hal yang tidak berharga, asal mensyukurinya.

Pengakuannya sebagai manusia tetap meronta tanpa henti. Ia merebut haknya sebagai andil penanaman saham atas pentakdiran dirinya. Saat ia menjadi orang terpandang dan terkenal, keadaan itu ia pelintir jadi penopang bahwa kehadiran itu memang bukan kebetulan, tetapi memang ada rancangan besar kelak sebagai preferensi subyektif secara nalar alamiyah. Dengan kata lain manusia memang seperti ranting rapuh dari semak belukar rambatan evolusi dan sekaligus perantara bagi reproduksi persilangan kosmos. Andai saja manusia mau berfikir sedikit, mungkin Tuhan akan deg-degan, sebab Tuhan akan terkesan lebih kreatif memunculkan gejala-gejala penDisoverian terhadap kemajemukan baru.

Akhirnya ia menyadari bahwa perdebatan antara kaum kreasonis dan kaum evolusionis bukanlah hal yang berguna, sebagai satu-satunya hal yang esensial bagi umat manusia. Arti kehidupan sungguh tak ditentukan dari masa silam, tapi oleh masa kekinian dan kedepanan. Hidup ini ditangguhkan  adalah untuk memuaskan rasa ingin tau, menguasai lingkungan yang berujung dari terbentuknya kebudayaan dan peradaban warna alam semesta dan akhirnya berkongsi dalam pelarian diri kosmos.

Untuk sekedar menjadi riang, wajarlah jika memaknai hidupnya sebagai satu titik dalam geometri. Dalam proses geometrian inilah ia merasa berada diantara berjuta-juta burung putih yang terbang membubuang ke sebuah elevasi puncak langit.

Tetapi perlu disadari, riwayat alam semesta tidak penting adanya tokoh. Para tokoh hanyalah bidak. Tanpa Enstein pun akan ada yang merumuskan teori relativitas. Tak ada Newton pun teori ‘kalkulus’ tetap dikerjakan Leibniz. Tak ada Darwin, toh ada Wallace. Tetapi juga tidak boleh menyepelehan sebegitunya. Andai tak ada Buthoven, Picasso, juga tak ada karya individu yang menyentuh manusia dengan simfoni kesembilan-nya-, dan guernica-nya. Punjuga jika tak ada Gus Dur dan Emha Ainun Najib, tak akan ada manusia Indonesia yang mengerti tentang ke ummatan dan ke Indonesiaan. Meski tidak semuanya, kebanyakan tokoh-tokoh lain hanya mandek konsistensinya sebatas tujuan tercapai.

Manusia dan peradabannya lahir dari rahim rohman dan rohim, manusialah yang melakukan pembongkaran rahasia kosmos. Ia dibekali baju kesanggupan atas kesetiaannya menemani Tuhan tatkala sendiri di kesunyian. Dalam proses kesetiaan cinta di ruang sunyi inilah terjadi saling  menumpahkan hasrat yang kadang membuatnya tak ‘butuh’ Tuhan. Ia merasa Tuhan yang butuh di temani. Tetapi anggapan demikian hanyalah sekedar spekulasi reflek diri manusia sendiri. Sebagaimana kuantum, penciptaan yang demikian hanyalah representatif dari sisi pengamat, yang pasti berubah jika posisinya berganti obyektifitas dan subyektifitas cinta.

Dengan mengerti bahwa sedikit sekali apa yang manusia tau dari rahasia kosmos ini, tengah damai pula bahwa kawan yang hendak ia ‘psikoanalisa’ tersebut memang selalu tampil lebih dahsyat dari apa yang diperkirakan, barulah ia menertawakan dirinya.

Semua tahu jika jagat raya ini dibenihkan dari kuantum. Ia pun bernafas dengan Helium dan disebarkan berdasarkan inflasi kosmos yang terus mengembang dari ketergantungan menyicil waktu. Kelahiran pemikir baru akan berulah dan berbaju sama dengan pendahulunya. Ia bergemuruh hasrat untuk merubah dunia, dan bahkan ingin merombak tatanan maha dahsya. Dengan harapan agar mereka tak lagi menjadi budak kosmos. Hasratnya yang membadai di antara kebisuan membuatnya merasa di antara kabut waktu yang mengambang, milyaran benang cahaya kunang-kunang yang saling tenun, santet, dan pertarungan waktu terbang menelan matahari, lalu menelan jagat raya dan menalarkan berbagai semesta baru dalam jumlah yang tak terhingga.

Semoga kita adalah kuncup bunga di antara pilihan antara “iya” dan “jadi”.




*) Sabrank Suparno. Petani. Jama,ah Padhang mBulan. Tinggal di Desa Dowong, Desa Plosokerep. Kecamatan Sumobito-Jombang. Atau di web: www. Sastra Indonesia .com

Tidak ada komentar: