assalamu'alaikum

Assalamu'alaikum

Semua yang ada disini adalah hasil Reportase dari dulur dulur Jamaah Maiyah yang ada di manapun Baik dari Kenduri Cinta(KC) Obor Ilahi(OI) BangBang wetan (BBW) Mocopat syafaat (MS) gambang Syafaat (GS) dan maiyah maiyah lain yng sulit sayaa sebutkan,
Blog ini juga memuat syair ataupun puisi Terutama Milik Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).
Blog ini Juga menampung saran dan kritik juga tidak berkeberatan apabila ada saudara atau pengunjung atau teman bahkan musuh sekalipun yang ingin menuangkan ide dan tulisan tulisanya...

28/08/11

Reportase maiyah PB agustus (Dari sumur Padhang Mbulan IV/ Emsyuhada)


SEBAGAIMANA dituturkan di awal tulisan, pengajian Padhang Mbulan Agustus kali ini agak berbeda dari biasanya. Kalau pada bulan-bulan biasanya, makanan pokok berupa kajian tafsir tak pernah jeda dihidangkan oleh Cak Fuad, tafsir AlQur’an untuk bulan ini tak disuguhkan. Cak Fuad hanya diminta oleh Cak Nun untuk memberikan pondasi ilmu dengan menjelaskan tiga hal antara Taqlid (Adopsi), Ittiba’ (Adaptasi), dan Ijtihad (Kreatifitas), sebelum kemudian diproyeksikan ke masalah-masalah yang lebih luas dalam kehidupan.


Sebelum Cak Fuad memenuhi permintaan Cak Nun, pengasuh pesantren bulanan Padhang Mbulan itu memberikan respon atas beberapa hal yang disampaikan Cak Nun dalam pengantarnya. Tentang Indonesia yang digadang-gadang oleh Mesir umpamanya, yang oleh Cak Nun diungkapkan bahwa Indonesia akan mengalami kebangkitan-kebangkitan dan menjadi pemimpin dunia, Cak Fuad melengkapinya dengan menceritakan pengalamannya secara empirik sesuai wilayah yang digelutinya dalam bidang bahasa.

Pada pertengahan Juli silam, diselenggarakan Seminar Internasional Bahasa Arab ke-7 yang diikuti 24 negara di Yogjakarta. Menurut Cak Fuad, orang-orang Arab, maupun orang-orang yang memiliki perhatian terhadap Bahasa Arab di seluruh dunia, justru mengharapkan Bahasa Arab akan bangkit dari Indonesia. Alasannya sederhana, jika seminar itu diselenggarakan di Saudi Arabia, negara-negara yang tidak sehaluan, apalagi bersebrangan, dipastikan tidak akan bersedia datang. Sementara di Indonesia, mayoritas perwakilan masing-masing negara hadir baik dari orang islam, maupun perguruan tinggi non islam yang memiliki perhatian terhadap bahasa Arab.

Padahal di Indonesia, Bahasa Arab sendiri justru disia-siakan. Contoh kecil yang dituturkan Cak Fuad. Bahwa pada zaman dulu, di Indonesia ada istilah Politik Bahasa Nasional yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa tahun 1975. Justru dalam rumusan itu Bahasa Arab sama sekali tidak disebut. Yang dinamakan Bahasa Asing adalah bahasa-bahasa selain Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah meliputi Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Jerman, Bahasa Mandarin, dan lain-lain. Tapi kenyataan tersebut tidak menyebabkan Bahasa Arab punah di Indonesia, Bahasa Arab justru dikembangkan sendiri oleh masyarakat.

Contoh lain yang dikemukakan Cak Fuad adalah para Tenaga Kerja Indonesia yang akan diberangkatkan ke luar negeri. Para PJTKI selalu mempersyaratkan kemampuan bahasa sesuai dengan negara-negara tujuan yang akan didatangi. Giliran akan dikirimkan ke Arab Saudi, persyaratan bahasa itu justru tidak ada. Kalaupun toh ada, kursus yang diberikan hanya sekedar formalitas dan tidak ditangani secara sungguh-sungguh. Maka, banyak peristiwa-peristiwa mengenaskan terjadi, gara-garamiskomunikasi akibat bahasa yang tidak saling mengerti.

Tentang label islam seperti yang dikemukakan oleh Cak Nun, Cak Fuad menceritakan bahwa hal tersebut memang keniscayaan dalam masyarakat. Penggunaan status islam itu terjadi juga di kalangan intern Maiyah. Misalnya saja, di salah-satu grup Maiyah di dunia maya pernah ditayangkan istilah Pijat Syar’iah. Di Malang, nama-nama roti pun menggunakan istilah-istilah islam. Ada roti Madinah, roti Hidayah, roti Barakah, bahkan ada perusahaan roti baru yang menggunakan label As-Sunnah dalam produknya.

Begitulah kenyataan yang terjadi di masyarakat. Entoh begitu, negara-negara di dunia ternyata banyak mengharapkan sesuatu dari Indonesia.

Pada tahap selanjutnya, Cak Fuad kemudian melaksanakan tugasnya memenuhi permintaan Cak Nun dengan menjelaskan tiga hal: Taqlid, Ittiba’, dan Ijtihad. Menurut Cak Fuad, dalam pemahaman masyarakat Indonesia, tiga istilah tersebut lebih banyak dipergunakan terbatas dalam soal-soal fiqih.Taqlid adalah sikap manusia mengikuti amalan-amalan ibadah tanpa mengetahui dasar-dasar hukumnya, meniru tanpa reserve, sama sekali tak ada aktifitas berpikir kecuali melaksanakan apa yang diikuti tanpa peduli dasar pijakan ataupun benar-tidaknya. Sedangkan Ittiba’ sedikit meningkat lebih tinggi, ialah mengikuti madzhab tertentu dan mengetahui dasar hukumnya. Jadi ada upaya bagi orang yang bersangkutan ketika mengikuti sesuatu dengan mempertanyakan pijakan-pijakan hukumnya.

Sementara Ijtihad  memiliki tingkatan yang lebih tinggi. Ialah kemauan seseorang untuk mencari secara sungguh-sungguh, tidak saja sekedar dasar hukum, tapi melakukan pengkajian yang mendalam atas semua keniscayaan yang ada. Syarat yang paling utama dalam Ijtihad  adalah harus bersungguh-sungguh. Ini dinisbatkan pada ayat Qur’an yang artinya “barang siapa yang berjihad di jalan Allah, maka Allah akan menuntun ke jalan-Nya”. Jihad dalam ayat tersebut sering diartikan sebagai perang. Padahal menurut Cak Fuad, jihad tidak hanya sekedar itu. Jihad bisa dimaknai secara lebih luas dengan sebuah upaya mencari kebenaran dengan bersungguh-sungguh. Alhasil, jika seseorang bersedia mencari kebenaran dengan bersungguh-sungguh, Allah pasti akan memberikan tuntunan dan menunjukkan ke jalan-Nya.

Pada tataran lebih lanjut Cak Fuad menjelaskan, bahwa ijtihad adalah sebuah keadaan ketika ditemui kasus-kasus tertentu dalam islam yang belum diketahui dasar hukumnya, dan para ulama berusaha mencari sumbernya dengan berpatokan pada al-Qur’an, as-Sunnah, dan sumber-sumber hukum islam yang lain. Cak Fuad memberikan contoh kongkrit, beliau pernah ditanya tentang  orang sakit yang dipasang berbagai alat ditubuhnya. Jika alat tersebut dilepas, maka yang bersangkutan akan meninggal. Maka pertanyaannya kemudian, bagaimana hukumnya melepas atau tidak melepas alat-alat tersebut? Jika hal tersebut tidak pernah dilakukan di zaman Nabi, dilakukanlah ijtihadIjtihad yang dilakukan tak bisa hanya sekedar oleh ahli-ahli agama, tapi juga melibatkan ahli-ahli kesehatan atau dokter  untuk mengetahui secara benar kegunaan dan fungsi alat-alat tersebut.

Pada tingkat selanjutnya, jika ada permasalahan hukum yang tidak pernah ditemukan dalam masa Nabi, dan sudah diijtihadi oleh para ulama, seseorang tinggal melakukan ittiba’ dengan setidaknya mencari, apakah dasar hukum yang digunakan itu benar atau tidak. Namun dalam prakteknya, hal tersebut tak mungkin dilakukan pada satu persatu masalah. Oleh karena itulah, seyogyanya seseorang tidak gampang mengatakan pada seseorang yang lain taqlid, dan hal itu mesti salah. Sebab, jangankan ijtihad, bahkan melakukan ittiba’ pun membutuhkan waktu yang relatif lama. Apalagi dalam ber-ijtihad juga diperlukan beberapa syarat tertentu yang tidak semua orang bisa memenuhinya.

Begitulah, penjelasan  tersebut didengarkan secara serius olah Jamaah. Ketika Cak Fuad mengakhiri uraiannya, Cak Nun meresponnya dengan mengemukakan beberapa hal, sebelum mempersilahkan Kiai Tohar (Baca: Toto Raharjo), yang mendapatkan panggilan baru Gus Dob memegang mikrofon. Ungkap Cak Nun, apa yang dijelaskan Cak Fuad mengenai tiga term itu menyangkut pada wilayah mana ia harus diterapkan. Tentang kapan seseorang harus taqlid. Pada sejauh mana ia mungkin ittiba’ atau bahkan ijtihad.

Jika pada ibadah mahdlah, pada hal-hal pokok dan tertentu, seseorang memang harus taqlid. Namun tidak demikian dalam hal ibadah muamalah, atau pada wilayah-wilayah lain seperti soal musik, kebudayaan, cara membuat desa atau negara, mengatur masyarakat, dan lain sebagainya. Sebisa-bisanya seseorang harus ijtihad dan tidak sekedar meniru agar menemukan formula yang tepat dalam kehidupannya.

Namun yang terjadi pada masyarakat Indonesia justru terbalik. Ketika harus taqlid dan tinggal meniru, mereka melakukan ijtihad sedemikian rupa. Namun saatnya bebas berijtihad, mereka justru  meniru secara membabi-buta dan sama sekali tak melakukan kreatifitas apa-apa. Cak Nun memberikan contoh. Dunia pertelevisian sesungguhnya menawarkan wilayah kreatifitas tak habis-habis. Oleh para pelakunya ternyata hanya disikapi dengan meniru, menjiplak, mencuri, dan lain sebagainya.

“Lagu perdamaian itu yang mempopulerkan pertama kali adalah Nasyida Ria. Satu kalipun tak pernah tampil di televisi. Baru ketika dinyanyikan oleh Gigi, televisi baru bersedia menampilkan. Tidakkah itu pencurian atas hasil karya seseorang?” kritik Cak Nun,” Lagu Ya Badrotim iku nek wis diindonesiakno, Ramadhan kali ini penuh dengan Ya Badrotim. Padahal Adib sing nyanyekno bertahun-tahun silam, sama sekali televisi tak mau mengeksplorasi. Mengapa hal itu terjadi? Karena pekerjaan mereka memang hanya meniru dan nyolong nang wong ndeso-ndeso.

Terkait hal itu, Cak Nun meminta kepada Mas Toto Raharjo untuk mengeksplorasi dengan memberikan contoh-contoh riil dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa perilaku taqlid, meniru, dan segala macamnya sebagaimana disebutkan diatas, sesungguhnya telah menjangkiti semua orang. Dan hari-hari ini, hal tersebut sudah sampai pada puncak kegelapan, karena berada pada tahap yang sangat membahayakan.(*)

(Bersambung)

Tidak ada komentar: