assalamu'alaikum

Assalamu'alaikum

Semua yang ada disini adalah hasil Reportase dari dulur dulur Jamaah Maiyah yang ada di manapun Baik dari Kenduri Cinta(KC) Obor Ilahi(OI) BangBang wetan (BBW) Mocopat syafaat (MS) gambang Syafaat (GS) dan maiyah maiyah lain yng sulit sayaa sebutkan,
Blog ini juga memuat syair ataupun puisi Terutama Milik Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).
Blog ini Juga menampung saran dan kritik juga tidak berkeberatan apabila ada saudara atau pengunjung atau teman bahkan musuh sekalipun yang ingin menuangkan ide dan tulisan tulisanya...

30/09/11

Catatan Pengajian Padhang mBulan September 2011 (2) Emsyuhada


BELAJAR TIDAK SALAH DALAM HAL KECIL, AGAR SUKSES MENAPAKI YANG BESAR

Foto diambil dari Album Komunitas Gesa JMT

MUNGKIN karena masih dalam suasana Idul Fitri, pengajian Padhang mBulan September ini, tafsir al-Qur’an kembali tidak disuguhkan secara spesifik kepada para jamaah seperti bulan sebelumnya. Cak Fuad justru menampilkan presentasi menggunakan LCD monitor terkait peristiwa halal-bihalal maupun ucapan selamat hari raya yang diterimanya selama lebaran. Hal itu sengaja dilakukan, karena ada beberapa hal yang menurut Cak Fuad perlu dikoreksi dan dibenahi. Memang hal tersebut terkesan sepele. Tapi Jamaah Maiyah adalah manusia yang bersedia terus belajar memperbaiki diri, bahkan terhadap hal-hal yang paling  kecil sekalipun.

Tampilan pertama adalah kiriman kartu lebaran dari Pusat Bahasa dan Panji Gumilang (Az-Zaitun) berbunyi SELAMAT IDUL FITRI 1432 H. Kata Cak Fuad, Itulah kalimat baku yang mestinya digunakan ketika mengucapkan selamat hari raya. Sebab, tak jarang masih ada sebagian orang yang menggunakan pilihan kalimat SELAMAT HARI IDUL FITRI atau SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1432 H. Secara bahasa, Idul Fitri itu sudah menunjukkan hari raya, maka untuk efektifitas kata cukup ditulis dengan SELAMAT IDUL FITRI 1432 H.

Kiriman BBM dari teman maiyah Jakarta merupakan tampilan selanjutnya, berupa poster dari sebuah Paguyuban di Bogor bertuliskan SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA, 1 SYAWAL 1432 H. Hal yang sama juga terjadi pada sebuah spanduk yang bergambar foto Megawati dengan Kepala Bantengnya. Itu semua menurut Cak Fuad adalah ayat-ayat Allah. Bagaimana tidak! Kalau untuk urusan yang kecil dan remeh-temeh semacam itu ternyata masih salah dan keliru, bagaimana bangsa ini mau menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Maka, orang maiyah adalah orang yang cermat dalam segala sikap dan perilaku, agar tidak gampang terpeleset pada jurang kekeliruan maupun kesalahan sekecil apapun.

Tampilan ketiga berupa spanduk yang dikutip isinya: HORMATILAH ORANG BERPUASA dan HORMATILAH BULAN RAMADHAN. Ini mengingatkan saya pada tulisan Gus Mus beberapa tahun silam. Bahwa orang berpuasa tidak gila hormat. Bulan Ramadan tidak pernah minta dihormati, apalagi dengan cara-cara dangkal seperti yang dilakukan oleh para pelaku industri di televisi. Cak Nun juga sering mengatakan bahwa orang berpuasa adalah manusia yang tidak gampang masuk angin, sehingga dengan lantang ia akan berkata: Wahai penjual makanan, bukalah warungmu lebar-lebar siang hari. Bahkan, wahai para PSK, datanglah kepadaku tiga kali sehari jika itu yang kau inginkan. Tapi jangan kecewa jika aku ternyata tak tergiur dengan goda dan rayuanmu, karena aku sedang menjalankan ibadah kepada Tuhanku.

Masih banyak slide yang ditampilkan oleh Cak Fuad, diantaranya gambar sepotong kue RAISIN dengan tulisan SAMPLE (yang dimaknai oleh orang maiyah, bahwa bagi yang memakan tersebut akan gak duwe isin dan sempel),  Launching Nahdlatul Muhammadiyin di Yogjakarta tanggal 9 Ramadlan 1432 H, gambar sebuah buku berjudul Dahlan Asy’ari yang mengungkapkan bahwa kedua tokoh tersebut adalah dua orang sahabat dengan seorang guru yang sama, ialah Syaikhona Kholil Bangkalan, dan lain sebagainya.

Yang agak mengundang tawa adalah tampilan slide berupa berita yang marak di internet sesudah penetapan 1 Syawal oleh pemerintah RI. Si pembuat berita menuliskan, bahwa telah terjadi kesalahanru’yah oleh pemerintah Arab Saudi yang telah menetapkan 1 Syawal pada hari selasa. Hiial yang terlihat sesungguhnya bukan hilal, tapi planet Saturnus. Bahkan, untuk kesalahan tersebut, pemerintah Arab Saudi ditulis telah membayarkan DAM dalam jumlah yang cukup banyak. Isu tersebut dilontarkan sekedar ingin menegaskan bahwa yang benar adalah penetapan pemerintah RI. Berita tersebut lantas dibalas oleh mereka yang berlebaran pada hari selasa dengan menayangkan gambar seseorang melihat hilal dengan bantuan teropong. Lucunya, penutup lensa teropong ternyata belum dibuka. Tak pelak, jamaah pun tergelak dengan keadaan itu.

Gambar tersebut ditayangkan oleh Cak Fuad bukan dalam rangka ingin mengunggulkan golongan yang satu dengan melemahkan golongan yang lain. Dengan tegas ia berkata agar  jamaah tidak men-seriusi, apalagi sampai membawanya pada situasi batin yang paling dalam.  Ia hanya sekedar ingin mengajak jamaah untuk menertawakan diri sendiri. Bahwa, dalam kehidupan ini sesungguhnya banyak tingkah laku konyol yang kadang tidak disadari. Sesekali, manusia perlu melakukan sublimasi, dengan menertawakan kebodohan dan kekonyolannya sendiri.

Hal kecil yang juga penting untuk diperhatikan adalah ucapan selamat hari raya dengan pelafalan yang salah. Itu dibuktikan dengan banyaknya ucapan selamat yang masuk ke Hpnya Cak Fuad melalui pesan singkat. Minal ‘Aidin wal Faizin (yang pertama adalah dal, z adalah zai) ditulis Minal ‘Aidzin wal Faidzin(kedua-duanya memakai dal). Yang benar seharusnya yang pertama. Ada juga yang menuliskanA’idzin (huruf pertama hamzah, yang kedua ‘ain)padahal yang betul adalah ‘Aidzin (huruf pertama ‘ain, huruf kedua hamzah). Hal tersebut sepele tapi sekaligus penting. Sebab dalam bahasa arab, kesalahan satu huruf baik kata maupun harakat akan mempengaruhi pengertian ataupun maknanya.

Banyak hal ditampilkan Cak Fuad dalam rangka mengkritisi kesalahan-kesalahan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan naifnya, kesalahan-kesalahan kecil itu tak hanya dilakukan oleh masyarakat kecil dengan kadar keilmuan rata-rata, seorang tokoh besar Indonesia dengan gelar profesor doktor pun melakukan hal yang sama. Bagaimana kata Lauhul Mahfudz (huruf terakhir menggunakan dhot) ditulisLauhul Mahfud (huruf terakhir ditulis dengan huruf dal). Hal tersebut ditemukan Cak Fuad dalam paparan makalah profesor doktor yang bersangkutan, ketika mengikuti seminar internasional beberapa waktu silam dengan peserta perwakilan negara-negara dari seluruh dunia.

Lebih luas, Cak Fuad kemudian mengkritisi arogansi perilaku keberagamaan yang dilakukan sebagian umat islam, dan sulitnya mengubah budaya keberagamaan yang kadang tidak tepat. Sebuah cerita sufi dari Jalaluddin Rummi dituturkan. Alkisah, di sebuah masyarakat yang mayoritas non muslim, adalah muadzzin yang begitu giat melakukan tugasnya tiap kali waktu shalat wajib tiba. Sayangnya, suara maupun irama adzan-nya sangatlah buruk. Ketika diperingatkan agar tidak mengeraskan suaranya, si Muadzzin justru marah. Ia merasa tersinggung. Bukankah adzan adalah syiar islam? Bukankah melakukan tugas memanggil untuk shalat lima waktu adalah pekerjaan mulia? Demikian yang menjadi pemahamannya.

Suatu hari, datanglah seorang laki-laki kristen mencari muadzzin tersebut ingin memberinya hadiah. Masyarakat tentu saja kaget, apa gerangan yang terjadi? Lelaki tersebut kemudian bercerita bahwa ia memiliki seorang anak gadis yang bersikeras masuk islam karena akan menikah dengan seorang laki-laki muslim. Berbagai cara dilakukan agar si anak membatalkan niatnya, namun tak pernah berhasil.

Suatu waktu, tiba-tiba saja si anak berubah pikiran dan membatalkan niatnya masuk islam. Apa gerangan penyebabnya? Ternyata ia jengah dengan suara adzan yang dilakukan oleh muadzintersebut. Tentu saja si lelaki senang bukan kepalang. Ia ingin memberikan hadiah karena telah merasa “diselamatkan” hidupnya oleh muadzin yang bersangkutan. Pelajaran yang bisa diambil dari cerita tersebut sederhana: itulah kenyataan yang memang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Meski kadang tidak disadari, sebuah kesalahan kecil ternyata dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan yang lebih besar.

Di penghujung uraiannya, Cak Fuad menunaikan janjinya atas pertanyaan jamaah yang belum terjawab secara tuntas pada pengajian bulan sebelumnya, ialah perbedaan pengertian antaraTadabbur dan Tafakkur. Meski belum bisa dijelaskan secara tuntas karena terbentur waktu, secara garis besar dijelaskan bahwa kedua kata tersebut berbeda, meskipun secara etimologis memiliki persamaan. Dalam al-Qur’an, kata Yatadabbaru  hanya dikaitkan dengan al-Qur’an, sedangkanTafakkur dihubungankan dengan hal-hal yang menyangkut alam semesta. Tadabbur adalah annadlaru fi awaqibi al-umur, melihat sesuatu yang fokusnya ke belakang. Sementara tafakkur adalah melihat dalil-dalil, argumen-argumen yang berhubungan dengan alam semesta, peristiwa-peristiwa, diri manusia sendiri, atau sang Pencipta, dan lain sebagainya untuk ditafakkuri atau dipikirkan.

Pilihan kata Tadabbur yang lebih dikaitkan dengan al-Qur’an bukan tanpa sebab. Dalam ilmu Nahwu Sharaf dijelaskan, Tadabbara mengikuti wazan Tafa’ala, memiliki arti bahwa sesuatu harus dilakukan secara terus menerus, bersungguh-sungguh, memerlukan stamina untuk melakukannya, melihat makna yang tidak tampak (dbalik teks), serta mencari hikmah atau pelajaran yang terkandung didalamnya.

Artinya, untuk mempelajari al-Qur’an tidak cukup dilakukan secara sporadis tanpa ada istiqomah di dalamnya. Al-Qur’an selalu menawarkan hal-hal yang baru jika dipelajari secara serius, terus-menerus, dan bersungguh-sungguh. Energi besar pun dibutuhkan untuk mempelajari al-Qur’an karena skala waktunya panjang. Yang tak kalah penting, ketika mencerna ayat-ayat al-Qur’an, seseorang tidak boleh hanya terpaku pada teks, atau bahkan menyembah teks (makna tersurat). Jika hal itu dillakukan, sangat terbuka kemungkinan manusia tak akan mampu mengambil hikmah, karena tak bersedia  mengurai makna dari yang tersembunyi dibelakangnya (makna tersirat).

Walhasil, dalam setiap pilihan kata memang tersirat makna. Selanjutnya, bagaimana harus menjalani kehidupan ini dengan segala pernak-perniknya? Semuanya tergantung pada diri kita. Sebab, yang menentukan adalah diri kita sendiri, bukan orang lain(*)

Tidak ada komentar: